28.12.11

Tunaikan, Tuntaskan!

Bismillah,


Hmm, ini udah tanggal berapa pemirsa? Dua delapan-28-XXVIII. Namun, ini adalah bulan Desember. Mari tarik 4 buang 8, lalu tarik 8 buang 16, trus tarik selimut buat tutup muka. Semoga yang masih punya utang-piutang segera lunas ya, aamiin. Maksudnya bukan karena banyak yang utang ke gw, tapi memang begitu adanya. Utang apa pun. Dari utang materi, seperti uang receh, uang kertas, uang logam, uang plastik, uang monopoli, sampai uang dalam bentuk emas. Kemudian, utang buku, baik sebagai peminjam maupun yang meminjamkan, setidaknya saling mengingatkan aja lah. Seperti yang kita tau, manusia itu tempatnya lupa. Makanya, harus saling mengingatkan :) ah, betapa damainya hidup.

Selesaikan tugas-tugas yang masih belum selesai *kalo gw sih masih ada makalah uas—tarik selimut, tidur* yang masih belum terpecahkan teka-tekinya, monggo kerso dipunrampungaken nggih. Serius nih gw, nyesek itu nggak enak. Hidup lo bagai dikejar cacing tanah. Mengapa? Lo sebenarnya sadar lagi dikejar-kejar, tapi sayangnya yang ngejar cacing tanah, ya mana bisa berhasil ngejar lo! Akibatnya, se-dikejar apa pun, tetep aja agak nyantai ya, huahahha. Manungsa.. manungsa..

Menjadi seseorang yang lebih baik itu bukan sebuah khayalan belaka, bre. Pada hakikatnya menjadi baik ini adalah sesuatu yang gampang-gampang-susah/susah-susah-gampang. Ya nggak? Hmm, sederhana sekali, tapi selalu ada ‘pemberat’ yang bikin hal-hal ini belum terlaksana. Ingat lima perkara sebelum lima perkara:

Sehat sebelum sakit; kaya sebelum miskin; muda sebelum tua; lapang sebelum sempit; hidup sebelum mati.
Hmm, pada dasarnya gw hanya ingin mengajak (yang namanya ajakan, boleh ngikut, boleh nggak, jadi suka-suka anda aja), selama kita belum butuh oksigen untuk menopang napas, detak jantung nggak perlu monitor, dan tubuh ini masih kuat berdiri-berjalan-duduk dengan normal-seperti biasanya, mari tuntaskan kewajiban yang belum ditunaikan, halah, haha. Kesannya itu kayak apaaa gitu ditunaikan, uang kali?! Apa mahar?! Huaa, sensitip. Udah ah, nggak mau membahas lebih lanjut tentang mahar. Idiiih, siapa juga yang mau membahas itu coba!

26.12.11

Seperti Inikah Kau dan Aku?



Lebih baik aku menyimpanmu dalam bagasi waktu, seperti aku menyimpan tulisantulisanku pada lorong biru, meskipun napas ini selalu merindukan rasa yang tak kunjung pilu, daripada aku harus memberi ruang pada  elemen lain untuk sekadar merasakan cintamu.

Aku belum ingin mengenalkan sosokmu pada dunia-yang-masih-sensitif-dan-penuh-pecundang itu. Ini namanya tak sudi. Sungguh.

Biarkan hanya napasku yang selalu menyelami aroma tubuhmu. Bahkan selama ini kau tak pernah mengeluhkan apa pun, dan meminta lebih bukan? Yang cukup itu, ya, yang sejauh ini telah berhasil kita ciptakan.  Kau dan aku sama-sama menyajikan kenyamanan dalam diri masing-masing. Menjalar ke setiap tubuh, lalu selebihnya semu. Hanya itu.

Kau tidak terlihat sedang membuatku cemburu, begitu pula aku. Hakikatnya, kita melakukan sesuatu—yang tak bisa dirasakan bersama—saat itu juga, jadi untuk apa masih mengharapkan kebohongan-kebohongan lalu, dan menjadikannya sebuah nafsu?

Ada Masa yang Mengelabui Kita



Menulislah tentang apa yang kamu suka. Menulis bukan untuk ‘berharap dilihat oleh orang lain, kemudian mereka membaca tulisanmu, lalu mereka memujimu’, bukan. Luapan ekspresi yang tertahan di sela-sela otakmu itu, yang perlu diburu.  

Pasti akan ada masanya—teman-teman yang kamu percaya dan selalu ada untukmu di saat kamu butuh itu, tak ada. Mereka belum hadir dalam kegelisahanmu untuk sedikit saja meredam amarah itu. Makanya, mungkin kamu bisa memulai berteman dengan lembaran-lembaran tak berhalaman, atau mungkin belajar memupuk cinta pada pena yang mulai kau korupsi waktunya.

Sesederhana itu.
: bercinta melalui rasa yang tak biasa dengan cara yang berbeda. Pasti akan ada masanya kau merasa terlalu nikmat dengan itu semua.

Dari Kailasa Untuk Bara (7)



“Hubungan kita cukup lama ya Bar, lalu apakah kau tak ingin kita…”, belum sempat kuselesaikan pengakuan ini pada Bara, ada seseorang yang kucintai—selain Bara—datang. Aku tak sanggup memaksa lidahku untuk berkata lagi. Masihkah kau ingat saat kali pertama pertemuan disengaja itu? Aku—lagi-lagi—hanya menanyakan lewat suara hati, perihal ini pada Bara. Mungkin aku belum benar-benar berani lebih dari itu.

Barangkali aku tak cukup yakin jika kau memang pernah memanggilku, memanggilku sesuai namaku. Sekadar iseng sih waktu itu, menyebutmu Bara tanpa persetujuan darimu. Kalau aku tak salah, dua tahun sudah masa-masa sulit ini kita seberangi. Adakah kau merasa lelah? Hmm, jangan kau tanyakan hal ini padaku ya, tapi. Bahkan, jawabanku pun belum tentu memuaskanmu. Sudahlah, aku rela kau tinggalkan jika memang menurutmu aku belum cukup berhasil hadir dalam lini kehidupanmu.

Hanya beberapa hal yang masih kental dalam ingatanku, Bar. Bagiku, di sampingmu saat kau terkapar tak berdaya meregang nyawa adalah momen saat aku bisa memandangmu lebih lama dari biasanya. Aku tahu, ini ironi. Bagaimana tidak? Untuk menggenggam jemarimu-memberi sedikit kekuatan-agar kau terus bertahan pun, aku masih belum bisa. Aku belum siap, Bar. Ketakutan-ketakutan semacam inilah yang sampai saat ini masih berkelakar di otakku. Masih mau menyalahkanku, Bar?

Bonus Akhir Tahun

Bismillah,
Gimana kabar, bre? Masih asyik dengan bayangan dan kepingan hari-hari GPMB? Hihi.

Ya! Lebaran umat marching band di Indonesia turut memeriahkan dan menutup minggu-minggu penghujung tahun 2011 gw dengan cukup apik. Fuhh, gimana nggak? Unit kesayangan gw tahun ini hanya berpartisipasi sebagai penikmat kompetisi persahabatan kemarin. Kenapa gw namakan kompetisi persahabatan? Karena di dalam kompetisi-yang-sangat-bergengsi-itu terselubung makna yang luar biasa dalam. Beuh! Bukan hanya persahabatan, tetapi juga memunculkan aroma percintaan di antara pasukan. Huahaha. Bayangin aja, biasanya setelah GPMB berakhir, jejaring sosial lebih rame, entah karena banyak yang mengunggah foto, bahkan sampai berkenalan-dan-dapet-temen-baru lewat media sosial.

Mungkin di era 2000-an, salah satu jejaring yang cukup terkenal dan akrab di telinga adalah mIRC (bener nggak ya tulisannya gini? Cmiiw*). Media kenalan dan ngobrol dua arah atau lebih melalui internet. Serasa pulang sejenak ke masa lalu, dua tahun ini pun gw melakukannya kembali. Bedanya, media yang gw gunakan udah selepel facebook. Hanya bermodalkan latar belakang yang sama—sama-sama insan marching band—terjadilah peristiwa itu *jeng jeng jeeeeeng!* hmm, tahun lalu belum sempat bertemu karena kami sama-sama pasukan. Yah, tau sendiri kan kalo jadi pasukan itu kehidupannya seperti apa ketika udah sampai  Istora :P *aku terkekaaaaang! Hahaha, piss* ini semua demi ketertiban, kedisiplinan, dan keamanan pasukan. Gw berpikir ‘yaudahlah yaaa, akan indah pada waktunya kok’, terdengar sangat basi mungkin. Setahun itu bukan waktu yang cukup singkat bagi gw untuk seperti sekarang. Sama halnya seperti menunggu, kalo terus-menerus dipikirin yaa bakal terasa lebih lama, dan lambat-laun bisa juga bikin stres ya bok! Hihi.

Alhamdulillah, bagi gw tahun ini ‘jackpot’. Dari yang manis banget, sampe yang pahit-banget-nya gw rasakan. Di tahun ini, ya, tahun ini semuanya ada. Dari yang ngerasa seperti punya pacar, sampe putus-nyambung-nya pun tak kalah dahsyatnya bergelimang di sela hari-hari gw. Wuasiiik dah, sedaap! Hmm, kenapa gw bilang ‘jackpot’? karena tahun ini terjawab sudah beberapa pertanyaan dan masa penantian gw itu. Jujur, seneng banget, dan sangat bersyukur. Seperti ini: lo kena sembelit, udah seminggu nggak pup, padahal saat itu justru porsi makan lo lagi banyak-banyaknya dan cukup variatif, trus hari ke delapan, tiba-tiba pup lo keluar. We o we banget kan?! *duh, gw baru bisa ngasih analoginya macem gitu, maap ya, sisi kekreatipan gw masih ketahan nih*

 Medsos itu emang dari dulu dahsyat ya efeknya. Bedanya, dulu mungkin motivasi kita cuma buat nambah kenalan/temen ngobrol. Kalo sekarang—karena udah kepala dua juga—lebih dalem lagi maknanya, hahahaha.. maksud gw lebih berasa, dan ‘sesuatu banget’ aja *eh, tapi ini beneran loh* jadi merasa kayak punya ‘rekening lain yang sama besarnya’ selain ‘tabungan utama’ *apa sih ini?!* ya begitu. Buat orang-orang yang pernah mengalami fase ini, pasti tau kayak gimana rasanya. Seiring berkembangnya proses belajar kita tentang berbagai macam fase kehidupan di dunia—nyata dan maya—sadar tak sadar, mengarahkan pemikiran kita untuk lebih terbuka, ‘keluar kandang’, dan punya beberapa toleransi untuk hal-hal yang menurut hemat kita memerlukan toleransi. Fiuuh, ya. Begitu.. *antiklimaks nih, Dha*

24.12.11

Jalur Istora, Betapa Cintanya!

Bismillah,

Kali ini gw akan sedikit berbagi. Berbagi apa pun. Pengalaman hidup, asrama, eh, asmara, cinta, rindu, suka, duka, benci, dendam nyi pelet, misteri gunung merapi, tutur tinular versi 2011, hingga noktah merah perkawinan *Eaa, ketauan banget orang zaman dahulu kala*
Berhubung tiga hari yang lalu gw bolak-balik, mondar-mandir Istora Senayan, muter-muter sampai berasa fly in the sky, gw akan berbagi tentang jalur yang sepatutnya dilewati/yang layak dilalui/wajar/galib, khusus gw persembahkan untuk orang-orang yang jarang ke Istora atau yang udah pernah ke sana beberapa abad yang lalu, kemudian mengidap penyakit lupa di abad ini. Yuk Mari! Hmm, daaaaan inilah beberapa alternatipnya: **jeng..jeng..jeng..jeeeeeng! dudungcacas desss!*

Pertama adalah by train, ini buat orang-orang yang mabokan, dan belum bisa menghalau mual di bus:
# Naik dari Stasiun UI (kereta tujuan Jakarta Kota)-turun di Stasiun Cayang, eh, Cawang-lanjut TransJakarta arah Semanggi-turun di shelter Semanggi-lanjut TransJakarta, turun di shelter GBK-nyebrang jembatan penyebrangan, done!
# Naik dari Stasiun Pocin-turun di Stasiun Cawang-lanjut Taxi sampai mampus, hahaha. Ini worst case nya kalo lo sendirian, semua ponsel mati, nggak berani tanya orang sekitar, dan kebetulan dianugerahi uang berlimpah untuk membayar Taxi.
# Naik dari Stasiun UI/Pocin (pondok cinta)-turun di Stasiun Manggarai-jalan dikit ke Pasar Manggarai-lanjut naik Kopaja 66 jurusan Arkeologi, bukan! Arah Blok-M, jangan sampai keliru ya, karena ada dua macam yang bernomor bus sama-turun depan GBK/Senayan-tinggal nyebrang deh *jangan lupa gandengan ya :)
# Naik dari Stasiun UI/Pocin-turun di Stasiun Jakarta Kota-lanjut TransJakarta arah Senayan-turun, lalu nyebrang ke hati lain #Eh?! 

Kedua, naik motor:
# Opsi 1: hubungi teman yang bermotor, adakah yang mau ke sana? Kapan, pukul berapa? Bareng yuk! Ketemu di mana nih kita? DONE!
# Opsi 2: itu tadi opsi pertama adalah teruntuk manusia-manusia yang belum bisa mengendarai motor, oke? Selamat! Nah, opsi kedua ini sih ya harusnya buat orang-orang yang bisa mengendarai motor. Namun, berdasarkan banyak pertimbangan yang ditimbang, keputusan yang harus diputuskan, dan pengalaman pribadi yang belum pernah saya alami, kali ini saya belum bisa membantu, maaf.. *balik badan, kemudian berjalan dengan langkah gontai menuju rel kereta api untuk bunuh diri*

Cukup ya, barangkali ada ceman-ceman yang ingin menambahkan informasi atau mengurangi, bahkan menghilangkan informasi di atas, sila menuju kukel, agar saya masukkan anda ke kandang sapi dekat kosan Galih mentek. Wuahaha. Buat yang nggak tau, maap maap aja nih. Buat yang tau, tapi merasa nggak lucu sama sekali, ya nggak usah maksa ketawa juga. Jangan sok asik. Akika lokal becandanya. Mau sewot? Silakan! GUE NGGAK MASALAH! GUE NYANTAI KOK! *tapi capslocknya kepencet kayaknya tadi deh*

22.12.11

Kamis 'Sesuatu'

Bismillah,


Kamis 22 Desember, Sasina dapet tawaran nampil di acara Petang Puisi Teater Sastra. Hmm, tempatnya di Audit terapung Perpus UI. Begini ceritanya, hujan, becek, dingin di sore itu terlalu akrab dengan kami—Sasina. Jadwal awal seharusnya pukul 4 sore udah mulai tuh acaranya, tetapi karena banyak hal yang dijadikan alasan, akhirnya acaranya mundur—entah sampai kapan, bahkan manajer kami pun belum tau kabarnya. Yaaa, oke, kami bisa memaklumi. Sembari menunggu kabar—ini acara jadi atau nggak—kami evaluasi. Dari awal tahun hingga sudah tiba di penghujung tahun 2011 ini, apa aja sih yang dirasakan selama ini, di antara kebersamaan kita? *sediih*
Sampai petang menjemput, kami masih duduk manis di dekat danau ijo lumut nan bersinar itu (yaaah, jadi nggak indah deh ini).

“mungkin, ini adalah penampilan kita yang terakhir, sebelum bertemu tahun 2012” 
*sediiiih*

Untungnya, gw belum sempet mewek sih ya. Penampilan malam itu dahsyat, sungguh! Gw nggak bohong, serius! Amazing, beautiful, wonderful, handsome, charming, adorable ini apa sih? Mau nyari jodoh? #eh
Yaaaa, pokoknya yang malam itu ada di sana, menjadi saksi bisu merdunya alunan nada-nada harmonis yang terangkum dalam asa kami *apa lagi deh ini?* gw nggak mau menceritakan secara detailnya di sini, khawatir ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, diuntungkan, bahkan yang tidak dirugikan atau diuntungkan. Hahha. Yeah!


***NB: Setahunan bareng kalian itu, se-su-a-tu-ba-nget! Thanks a lot :’)

21.12.11

Dari Kailasa Untuk Cadatha (6)

Cadatha: apa yang kau rasakan tadi?
Kailasa: a..aku..tadi?
Cadatha: ya, tadi.
Kailasa: aku bersyukur karena tak ada aral melintang,
Cadatha: syukurlah. Aku tak sempat menengok sejenak tadi, maaf.
Kailasa: tak apa, aku mengerti.
Cadatha: terima kasih, Sa.
Kailasa: bagaimana kabar nyambut gawemu, Mas? Lancar?
Cadatha: (senyum) aku kira, semua masih baik-baik saja, bahkan aku mungkin sebentar lagi akan melanglang buana.
Kailasa: baguslah kalau memang begitu adanya, Mas.
Cadatha: (senyum—tetap memesona)
Kailasa: …………

       Aku bercerita panjang lebar dengannya, tanpa batas. Tuhan, kau tak sedang menidurkanku, bukan? Bukannya aku tak percaya dengan-Mu, tapi aku hanya berjaga-jaga agar aku tak terlalu khawatir jika ini memang belum nyata. Namun, rangkaian singkat-tapi-tak-juga-panjang tadi benar-benar hadir di depan asa yang selama ini membatasi. Terima kasih karena telah memberib   warna hari ini—di antara hitam-abuabu sejak pagi. 

20.12.11

Accident

Bismillah,

        Biasanya kalo Ayah atau Ibu telepon pagi-pagi ke ponsel saya adalah untuk memastikan, saya udah bangun atau belum. Hmm, atau nggak, menanyakan kabar, dan semacamnya. Namun, tadi pagi Ayah saya telepon pukul 5. Berhubung ponselnya saya atur mode getar aja, jadi nggak kedengeran kalo ada telepon atau pesan singkat. Setelah terkonang oleh saya, ternyata ada panggilan tak terjawab dari Ayah di nomor utama. Saya pun langsung mengirim pesan singkat, dan menanyakan ke Ayah saya “ana apa Yah?” Setelah itu, Ayah saya telepon lagi. Kali ini saya angkat.

F: “Assalamualaikum, Dha”
M: “Waalaikumsalam, kenapa Yah?”
F: “Ibumu kecelakaan semalem sama Azky, jatuh dari motor..”
M: (masih berusaha mencerna kalimat yang diucapkan Ayah) “hhh..”
F: “Iya, trus kaki kanannya nggak bisa buat jalan, makanya semalem langsung dibawa ke Sitanggal”
M: (masih berusaha tetep narik napas yang panjang, biar nggak mbrebes mili) “Trus, sekarang di mana Yah?”
F: “Barusan pulang dari sana, lagi istirahat di kamar, Nok. Masih lemes banget tadi,”
M: “Aku mau ngomong sama Ibu ya, Yah..”

       Entah, saya nggak tau harus bagaimana. Setelah adegan telepon itu, tetep aja mbrebes mili secara lancar tanpa hambatan. Ingin memeluk Ibu rasanya, dan bilang “aku sayang sama Ibu..”

18.12.11

Kembalikan Kami di Persimpangan

Beberapa bulan lalu, alam mencari tau tentang kau dan aku. Begitu pula prajuritnya, air, tanah, udara, dan api. Mereka diutus rajanya untuk menemukan celah yang dapat menyatukan kita. Saat ini, aku di selatan, sedangkan kau di utara. Sesungguhnya aku sama sekali tak memusuhi jarak, bahkan tentang apa pun yang melanda kita.

Di penghujung tahun ini, alam baru saja menawarkan pilihan. Kemungkinan, kau dan aku akan dipertemukan di persimpangan utara-selatan. Aku cukup senang. Kau sendiri bagaimana?

Demikian panjangnya upaya alam demi kita. Namun, semua ini rupanya tak sesederhana merangkai rencana demi rencana. Nyatanya, saat aku ke utara, kau justru berbalik ke selatan karena segudang alasan. Betapa pun indahnya perpisahan yang dulu tak sempat diabadikan, kali ini aku benar-benar tak ingin dipertemukan. Aku tau, setelah itu pasti akan ada perpisahan. Lebih baik kita memelihara jarak, agar tetap saling setia. 

17.12.11

Bukan Penyakit yang Ber-prestige

Bismillah,

Malam Sabtu pada ke mana nih sist-sist, dan bre-bre? Nongkrong di angkringan, atau pada jongkok-jongkok di tepi jembatan, sembari meneriakkan yel-yel kesayangan “kyuuu.. kyuuu..” huahahaha.

Prestige, gengsi, saywor (saywor itu tulisannya kayak gimana ya? Say: ngomong, atau panggilan sayang, wor: nama orang? Ngaco!!) rupanya hal itu nggak hanya berlaku saat ada kompetisi, konser, atau acara-acara apa pun yang bernilai tinggi dan memunculkan gengsi. Inget ya, GENGSI, bukan GENGGES! Nah, yang namanya penyakit juga ada, bre. Coba tebak penyakit apa yang nggak ada prestige-nya sama sekali? Ya! Seratus untuk anda, boleh pulang duluan à lelucon klasik, nggak lucu!

Sehari bisa 7—8 kali bolak-balik kamar besar (kalo kamar kecil kan biasanya buat Pepsi, alias pipis, kalo kamar besar..) ya itulah pokoknya. Kalo lo pas lagi ngendon dan ngerem di kosan/rumah mah masih aman lagi, coba saat lo berada di tempat selain kosan/rumah. Misalnya di kampus, kalo lagi di kelas, izin mulu ke wc. Trus, lagi makan di kantin, kebelet juga. Lagi ketawa-ketiwi bareng temen-temen, kebelet juga. Pas mau ke mushola, masih aja kebelet. Belum lagi kalo pas lo lagi di dalem, dan lagi sakit-sakitnya, di luar ada yang ngantre, ketuk-ketuk pintu karena doi juga kebelet. Intinya nggak nyaman deh, seriusan, nggak leluasa, nggak lega. Lha wong lagi setor kok dikejar-kejar harus cepet kelar?!

Beda lagi saat lo lagi di tempat umum seumum-umumnya, jauh dari jangkauan kosan/rumah, kampus, dan di luar domisili lo. Beuh! Lebih sedih lagi, bre. Apalagi lagi nonton konser idola lo di dalam ruangan, dan lo duduk paling depan, sedangkan toiletnya lumayan jauh—harus naik turun tangga dulu. Trus, dini hari, kira-kira pukul 1 atau 2 lo masih di pinggir jalan mau pulang, nungguin taksi, dan di sekitar lo udah sepi banget, udah gelap. Meeen! Ini penyiksaan lahir batin gw rasa. Sementara kosan/rumah lo harus ditempuh sekitar sejam lebih dari tempat lo nunggu taksi. Belum lagi kalo lo mabokan, alias nggak bisa banget naik mobil berAC gitu *kayak akuh* yah, cukup berdoa dalam hati sambil menggenggam erat benda padat yang bisa lo genggam (misalnya ponsel, ipod, etc.) untuk meringankan rasa sakit lo sementara waktu.

Ngomong-ngomong, maap ya guys, kalo ada yang kurang nyaman dengan pembahasan ini. Just share :) nggak ada maksud apa-apa kok, sungguh. Cuma ingin ngasih saran aja sebenarnya. Saat kita lagi mengidap penyakit tak berkelas ini, sangat diwajibkan membawa oralit. Bawa termos isi air panas, gula, garam, gelas, sama sendok kecil. Piknik kalii! No, no. Bawa obat diare lah tentunya, dan bawalah sebanyak mungkin, jadi bisa dijual saat lo lagi nggak punya duit buat pulang. Hahha. Hmm, bawa air putih pastinya. Tisu, ini penting bre. Wewangian, bisa bawa bunga Melati, atau bunga Lili (soalnya si Mawar lagi diinvestigasi di kantor polisi). Usahakan yang biasanya bawa permen pereda mabok, ditinggal dulu di kosan/rumah, soalnya permen mendukung rasa mules lebih cepat. You know what i mean lah. Kalo perginya sama orang lain (teman biasa, teman akrab, teman nongkrong, teman ngalay, pacar lama, pacar baru, atau pacar orang) bilang dari awal sebelum lo capcus ke TKP tujuan, kalo “eh, aku lagi diare nih sebenernya, tapi demi acara ini, eke jabanin deh”.  Dengan begitu, niscaya orang yang pergi bareng lo mudah-mudahan lebih mengerti dan memahami perasaan lo. Hehe. 

Tentang Keseimbangan Tubuh



Bismillah,
Pemirsa, udah hampir di penghujung Desember nih. Apa kabar wish list 2011? Mari sejenak tengoklah ke belakang! Yuhuu.

By the way, minggu-minggu kemarin itu, gw merasakan beberapa hal aneh. Yes! Seaneh muka lo yang lagi baca, hahaha. *becanda, pemirsa, piss ya* hmm, misalnya kalo lagi jalan kaki, nggak ada angin topan, angin beliung, nggak ada hujan es atau hujan salju, tapi lo jatuh. Kaki lo mendadak lemes, kayak nggak kuat jalan kaki, trus mendadak cenat-cenut (yang ini nggak ada SM*SH nya kok, sungguh!) dan tulang kering/betis lo terasa nyeri. Uwe nda nerti agy dec eang inih?! Masih bisa baca tulisan yg tadi kan? Masih lah, kan aku dan kamu sama-sama anak gehul dekade 90-an. Korban friendsterisasi dan eM-I-eR-Ci, hihi.

Sebenarnya kalo gw selisik lebih jauh, jauuh, sangat jauh sampai tak terhitung lagi berapa ratus kilometer jarak yang tak bosan-bosannya memisahkan kita, juga yang selalu menciptakan rindu di atas rasa, apalagi di sela-selanya. Eaaa. Pulangkan saja, aku pada camerku, atau pacarku, uwoo uwoo.. *oh, situ udah punya pacar emang?!* ini dari tadi mancing mulu deh, ganti paragrap ah, ngambek! *buru-buru ke toalet, emang Jodhi? Huauahau, piss Jod ;p*

Semua ini mungkin karena gw udah lama nggak lari pagi, push-up, sit-up, dan up-up yang lain. Makanya setelah beberapa hari kemarin gw melakukan perjalanan yang sangat panjang—dan agaknya cukup tolil sih—hanya demi suatu hal yang bikin gw sangat excited banget. Ditambah penyakit yang namanya Diare, maknyuuuus! Sampai detik ini, saat gw ngarang-ngarang cerita begini, eh, maksudnya nulis cerita ini, kaki gw masih manja. Padahal ya, udah gw pakein krim nyeri tulang semenjak tiga hari yang lalu secara rutin sebelum tidur setelah mandi dan bersih-bersih, tetap saja bre, masih cekot-cekot. Huh.. kalo ad asaran, boleh laaah! Tukang pijet khusus perempewi, yang nggak jauh-jauh dari Depok, atau bisa juga tempat spa. Haha, kalo ini mah sekalian ngeceng. Pamit ya, pemirsa :)

16.12.11

Menang Kuis



Bismillah,
You guys, whats up bre? Kangen nih, gatel karena gw punya banyak se-su-a-tu yang ingin eke bagi-bagi ke cemand-cemand cemuwah :*

Markimul sist! Berawal dari acara Stand Up Comedy Kompas TV yang bikin gw langsung jatuh bangun alias jatuh cintrong, di saat gw nonton acaranya di tipi, sempet kepikiran “Pengin deh nonton live-nya Stand Up di Usmar Ismail, entah kapan tapi ya?!@#$ Hmm, jauh bree..” btw, gw adalah orang yang nggak suka situasi Senayan dan sekitarnya. Kenapa eh kenapa? Karena eh karena macica muhtar bambang kalong sorelam samsara malampir, ne. Malaysia basket deh eke, eym. *terjemahan dapat dilihat di kamus gaul ala Deby Sahertian* haha. Cuma nyelip aja pikiran macem gitu di otak kanan. Namun, detik berjalan berdampingan dengan jam, juga harimurti yang semakin cepat. Hingga tersisa tiga finalis—Ryan, Akbar, Ernest—gw udah pasrah alias nyerah alias terserah, mau nonton live atau nggak, yang penting gw bisa liat dari tipi mungil eke. Titik.

Malam itu, Ernest close mic. Hiks, “uwe cebel, huft”. So, final minggu depan tersisa Ryan dan Akbar. Malem besokannya—lupa, kapan—saat gw buka twitter, tibatiba Kompas TV ngadain sayembara, kaya Bobo ya? Haha. Iya, haha, nggak lucu tau! Langsung dah gw ikutan. Kebetulan banget malem itu sinyal internet dari henpina lagi agak-agak rada-rada gimana gitu, nggak kaya biasanya, lancar jaya makmur sejati tata tentrem kertaraharja. Gw pun nggak banyak berharap untuk menang, yaudah lah ya, just quiz. Beberapa hari setelahnya, saat gw buka replies twitter, ada mention dari Kompas Tv yang menyatakan kalo gw adalah salah satu pemenang yang berhak mendapatkan undangan nonton grandfinal Stand Up Comedy. Nyesss! Tibatiba gw mendadak lemes banget, bre. Sepicles. Subhanallah, Alhamdulillah. Campur aduk deh pokoknya.

Gw baru tau kalo grandfinal baru diadakan 14 Desember, itu pun di TTA-TMII, Rabu malam. Setelah melewati beberapa tahap yang cukup memusingkan (cailah gaya banget!), gw pun memutuskan untuk mengontak Mba Nadine, orang promo Kompas TV untuk menanyakan tentang cara ngambil undangan. Ea, ternyata undangannya harus diambil di lobby Kompas TV, di Palmerah. Jeduk! Jauh amiiir. Tanpa pandang bulu monyet, langsung googling deh gw. Namun, perjuangan gw mantengin mas-mas google yang nggak ganteng ini selama berjam-jam, sampe mata gw kaga bisa belo, rupanya mas google sedang tidak ingin menolong gw, bre. Cedih deh uwe. Hmm, setelah itu gw ambil tindakan tanggap darurat: sms orang-orang ah, Kompas di mana. Karena gw akan pergi sendiri, tanpa ditemani pacar *kayak punya aja lo, bre!* jadi gw harus banget memastikan siap mental—nyasar, salah turun kereta, salah angkot, salah turun kopaja—takutnya yang gw dapatkan adalah alamat palsu. Eaaa, nggak usah nyanyi!!! PLIS!

Alhamdulillah, sejam sebelum gw memutuskan untuk melancong *sok bencong lo! Eh?!* gw dapet informasi lengkap. YES! Gw yakin, nggak bakal nyasar. Soalnya gw dapet beberapa alternatif jawaban dari temen-temen gw. Mulai dari ngasih saran untuk naik kereta, angkot, ojek, bajaj, sampe jalan kaki, yang terakhir ini opsinya agak-agak rada tolil sih. (Tolil adalah sebutan untuk ketololan yang sedewa-dewanya tolol)

15.12.11

Ryan-Ernest-Daned

Bismillah,
Hei how? Fine, Dear.

Kali ini gw akan merunut perjalanan gw dari awal tentang finalis yang gw sukai, beserta alasannya. (ini mirip soal ujian essay ya!)
Cerita singkatnya, haha. Belum apa-apa, udah main singkat-singkat aja. Eya pokoknya kalo pengin kronologis lengkapnya beserta ekspresi yang tiada duanya, langsung janjian untuk ketemu eke aja. *ini maap ya, banyak COT-nya,*

.:Ryan:.
Yang bikin gw suka adalah—selain emang mukanya lumayan, let see, lumayan, nggak cakep-cakep amat ya—leluconnya nggak klasik, oke, ini masalah selera sih, klasik nggak klasik. Di luar dari alasan itu, dia tau bagaimana caranya mengungkapkan hal kecil, yang nggak dipikirin orang-orang, dia pikirin, dia bikin deh tuh materinya buat stand up. Lalu, dia selalu menyajikan humor segar-fresh from the kulkas, peristiwanya dekat dengan masyarakat, sering kita alami (kita: manusia, hewan, hantu, benda-benda mati, ataupun hal-hal tak benda, red). Satu lagi, yang menjadi ciri khasnya adalah artikulasinya yang tetep jelas, meskipun dinamik nyampeinnya cukup cepat. Dan, pas ketemu langsung, akhirnya gw mengakui kalo pacarnya Alanda Kariza ini memang ganteng. Ouch! Kalo doi masih lajang, beuh! Udah eke sikat , ne. Haha. Maaf ya Alanda, pis loph en gehul. Oh iya, tambahan: cocok lah sama Alanda, sama-sama imut :)

.:Ernest:.
Yang bikin gw jatuh hati sama orang Sunda satu ini adalah suaranya, enak men.. cempreng, tapi nggak gengges. Mirip Ringgo deh, haha. Sama-sama pelit buka matanya, berkulit putih, trus superduper supel banget—yang ini kesimpulan setelah ketemu langsung dan sempet banget ngobrol, dan ngegombal bareng doi. Leluconnya itu seru. Selain emang bertema ’Cina’, pandai mencela orang, entah teman-teman seperjuangan stand up atau orang lain yang tak dikenal, sebut saja Mawar, Melati, Joko, dan kawan-kawannya, bahkan istrinya sendiri, si Meira.

.:Daned:.
Hmm, khusus Daned, jujur karena first impression terhadap doi adalah GANTENG, bre! Sungguh. Lagi-lagi masalah selera sih, ganteng nggak ganteng. Ganteng menurut gw itu apa yah?! *bentar, mikir* gini, nggak terlalu tinggi, nggak terlalu ’kurang tinggi’, cukup ’cowo’ badannya, kharismatik banget, berkulit orang Indonesia deh pokoknya. Leluconnya dia, nggak terlalu lucu sih sebenarnya kalo diselisik lebih dalam, hahahaha *maaf ya Om Daned* tapi sekalinya lucu, emang bikin ngekeks (ngekeks: tingkatan ngakak yang pertama, red). Setelah ketemu doi, wow! Spicles, do moreà apa deh? (maksudnya, ngomong dikit, poto-potonya banyak :D)
Warm banget, aaaaaaaa.. meski tak sehangat mentari pagi jam 8-an kalo berjemur di Pantai Kuta sih. Setidaknya, sehangat air yang biasanya kita pake buat mandi. Nah tuh, kebayang kan? *Om Daned, maaf ya kalo aku ngaco (ciee, aku)* wakakak.

Wassalam.

11.12.11

ADA Band and The 'My Boys' Story



Assalamualaikum. Hai you guys, gw kangen banget nulis, nulis apa pun. Empat hari ini, gw masih inget pulang ke kosan aja udah alhamdulillah banget, gimana nggak? Makan aja gw lupa, serius men, gw serius! Tapi, tenang aja, kalo KAMU, aku selalu inget kok, haha (*KAMU=SKRIPSHEET*) lo kira, KAMU-nya siapa coba? Pacar? Nggak punya ciiin.. gebetan? Ah, jauh banget dari Depok. Ya, ada sih, calon suami, tapi masih disimpen dan dijaga sama Allah J mulai nih, keluar dari tujuan awal! FINE!

Saat gw nulis ini, ADA BAND sedang bersama gw di suatu acara musik di salah satu stasiun tipi paporit eke. Nggak tanggung-tanggung, sang vokalis posisinya berhadapan langsung sama gw tanpa perantara atau makelar manapun. Bahkan, ini terhitung agak private karena emang hanya ada gw dan ADA BAND. Bisa lo bayangkan betapa terbangnya jiwa gw saat ini, ah—tak terdefinisikan. Sungguh, Pedro. Andai kau tahu, atau tempe, syukur-syukur ati-ampela sih, yang nggak gitu banyak lemaknya ß ini apa sih? Sakit jiwa lo ya?!

Lagu-lagu ADA BAND sempet ngehits saat gw SD-SMP-SMA lah kira-kira. Mulai dari radio di Tegal, konser dan acara di tipi, sampai audisi band antarkelas (LIBAS di SMA N 1 Tegal) pun cukup banyak yang bawain lagu-lagunya. Menurut gw—sori, dori, mori, stroberi ya kalo cukup subjektif—liriknya itu ada beberapa yang prosa liris (oke, kata ‘prosa liris’ gw temukan saat udah menimba ilmu di UI sih), dulu mungkin bahasa sederhananya: lagunya ngena banget, romantis, mellow (bukan mewek ya!), ringan-tapi-nggak-murahan, lalu liriknya nggak ‘ngobral’ apa-apa, kecuali ngobral cinta, haha! Becanda ding. Lalu, yang gw suka adalah ada lagu yang mengangkat tentang ibu, ayah, dan asmara—tentunya. Eaaa. Contohnya ini:

“masih jelas terlihat pesona ayumu,
masih jelas terasa getar dawai jiwamu..
inikah surga cinta yang banyak orang pertanyakan, (Surga Cinta)”

“mencoba bertahan sekuat hati, layaknya karang di hempasan ombak,
jalani hidup dalam buai belaka, serahkan cinta tulus di dalam takdir
tapi sampai kapankah kuharus menanggungnya.. (Manusia Bodoh)”

”Tuhan tolonglah sampaikan sejuta salamku untuknya,
kuterus berjanji tak’kan khianati pintanya,
ayah dengarlah betapa sesungguhnya kumencintaimu,
kan kubuktikan, kumampu penuhi maumu (Yang Terbaik Bagimu)”

Secuil dari sekian banyaknya lagu ADA BAND yang cukup akrab di telinga pemirsa mungkin ya, mungkin, karena gw hanya sebagai pengamat biasa, halah! Belum gw teliti lebih jauh berapa persentase yang aktif mendengarkan lagu-lagunya (*nggak usah sok-sok-an mau neliti deh, skripsi aja belum beres! Hiks hiks). Ini mengingatkan gw sama temen-temen-dan-ada-sebagian-yang-dulu-jadi-inceran-gw, haha. Dimas alias samid, Pandu alias sindu, Agus alias *dia apa ya aliasnya, lupa, serius! Ampun Gus,* trus ada Suryo a.k.a Yoyo alias doyok. Empat bersaudara ini, kalo era sekarang mungkin bisa dicurigai Catur Homo (karena ada empat), atau ganda putra dua pasang. Hahaha. Dulu sempet bikin band juga, biasalah ya band musiman. Harian bahkan. Ganti-ganti personel, ganti nama band juga. Beda acara, beda band deh pokoknya. Lucu sih, silakan ketawa. Nggak juga nggak papa, gw nggak akan bunuh diri terjun dari lantai 31 dari Grand Indonesia kok. Santai.

Ah, kalian apa kabar? Udah pada punya gandengan ya pasti? atau belum? yaudah sih, gampang. Masih ada yang setia menunggu untuk digandeng: truk, kereta, gerobak, gandeng aja, daripada nggak ada. Lumayan kan, daripada lumanyun.
*kalo gw dari tadi jayus, trus lo nggak ketawa-ketawa juga, muntah aja, biar gw ada kerjaan, gw rela kok kalo disuruh ngepel lantai/nyuciin baju lo. Maklum, semester tujuh mah kuliahnya dikit, jadi banyak waktu buat ngebabu*

Sumfah, ane kanjen banjet same ente-ente. Maen yuk! Semoga telepati ini sampai ke hati mereka ya, my beloved ‘boys’ used to, when we was closer *semoga nggak ada dosen/ahli bahasa Inggris liat kalimat tadi ya, aamiin*

Dari Kailasa Untuk Cadatha (5)

"Ya Tuhan, aku sedang tak ingin memandangnya, menyapanya, apalagi berbincang dengannya, meski hanya sedetik dalam nyawa maya. Aku lebih memilih pura-pura tak tau-tak melihat-dan seperti orang asing saja, dia di mataku, saat ini."

Namun, Tuhan belum mau mengabulkan permintaan yang satu ini, lagi-lagi aku berusaha mengintip bayangan gagah di sebelah kananku—jujur saja, aku merasa dia semakin dekat dalam sandiwara-hati-khusus-malam-ini. Rasanya ingin sekali mengakhiri peran semacam ini, tapi malam mencegat kami untuk saling menghentikan waktu—walau sejenak.

Ya, pertemuan kami dini tadi: aku sama sekali tak pernah berdoa agar aku dipertemukan seperti ini—padahal sudah menjadi bulanbulanan keinginanku, berharap sesuatu yang membuat kami dekat—tetap saja aku benarbenar tidak menginginkan kejadian ini—lagi.

Terima kasih, kau telah menciptakan adegan yang tidak aku inginkan—tapi aku berharap darimu, dengan adegan lain yang lebih romantis dari dini tadi. Sampai detik ini, masih menjadi mimpi nyata yang terus aku bawa sepanjang pagi hingga tiba dini hari lagi-saat aku memeluk kembali udara yang sempat hilang dilangsir malam. 

10.12.11

ILU-IMU-INU

         Kedua unit kesayangan gw memang tidak pernah memanfaatkan properti yang besarnya segede alam raya semesta antariksa tatasurya lalalala ini untuk mendukung performance mereka saat tampil di panggung mana pun. Mulai dari panggung gembira, panggung nestapa, sampai panggung sandiwara, kami sambangi. Sungguh, jatuh cinta itu ya seperti ini. Gila. Bahkan, gw sendiri aja nggak tau kalo lagi ngomong tentang hal apa—macem ini. Namun demikian, mereka tetep dapet juara, berapa pun. Yang terpenting, mereka masih juara di hati dan jiwa gw. 
#eaaaa ini bukan gombal, sodara, sodara! INI SERIUS!! SEKIAN. TERIMA KASIH.

**kalo kata Om Sudjiwo Tedjo: juri adalah wakil Tuhan :)
By the way, maap benjet kalo judulnya agak-agak bikin migrain seharian, muntah bulanan, sama galau tahunan.

6.12.11

Dari Kailasa Untuk Manggala (4)



(d)
Kalau kamu memang sudah ingin menjauh, sah-sah saja. Toh kita belum menyepakati apa pun sejak pertama ketemu dulu. Tapi aku juga belum tau, seandainya kita sama-sama saling menyimpan rasa. Membiarkan hati kita melayang di udara menempuh ratusan kilometer tanpa lelah, apalagi keluh. Aku tak pernah sekalipun mendengarnya mengaduh. Baguslah kalau begitu.  

Dari Kailasa Untuk Manggala (3)



(c)
Tadi pagi kamu muncul di TL-ku, dan lagi-lagi aku sama sekali belum berani memulai perbincangan—setelah beberapa minggu kita tak saling bicara. Sepertinya kamu sedang tak enak badan, jadi aku terpaksa—dengan sedikit kepasrahan—mengirim pesan singkat ke kamu lebih dulu. 2 menit, 5 menit, 7 menit, aku belum melihat balasan dari kamu. Oke, i’ll waiting your reply until the end, when my ZTE die.

Dari Kailasa Untuk Manggala (2)


(b)
Kemarin malam, aku berniat menyapa kamu duluan lewat sms, sekadar mau ngasih semangat karena kamu udah mulai ujian. Nyatanya, aku nggak sanggup megang ponsel, bahkan mengomandoi saraf motorik saja aku benar-benar nggak sanggup. Justru keringat dingin yang mengucur di dahiku. 

Dari Kailasa Untuk Manggala (1)


(a)
Dear, aku tau, kamu belum tentu suka sama kadoku. Memang sih, masih lama. Usia kamu baru akan nambah di bulan keempat tahun depan, tapi aku udah siapin sesuatu khusus buat kamu. 

Masih Terngiang

Bismillah,

Hari keenam Desember nih. Banyak banget yang ada di CPU gw, tapi pelan-pelan gw cicil pindahin ke flash disk atau hard disk kok nanti.

Anyway, sampai saat gw menuliskan ini di sini, lagu yang dibawakan finalis-finalis Bipop UI Sabtu lalu masih terngiang-ngiang. Terlepas dari kekecewaan gw dari segala apa pun yang ada di sana saat itu dan setelahnya, ada satu hal yang ingin gw bagi.

Pernah nggak sih, lo jadi suka atau ber-humming-humming-ria sepanjang lebih dari 3x24 jam sama sebuah lagu, atau bahkan hanya sepenggal syair? Hmm, atau mungkin sampai googling lirik lagunya dan mengunduh lagu itu? Trus, lo simpen di gadget mana pun yang bisa lo dengerin saat lo merasa butuh untuk ngedengerin itu? Yah, entah ngilangin bad mood, sekadar menemani di saat-saat lo menunggu bikun, atau menunggu seseorang.
*eits, kalo nungguin yang ini, nggak cuma lumutan, kemungkinan efek sampingnya bisa sakit hati or sakit jiwa kalo kelamaan, haha!

Sabtu lalu itu, gw udah kayak juri tau nggak? Mantengin bener-bener dari awal sampai finalis terakhir, gw masih duduk anteng, menyilangkan kedua tangan depan dada sembari listening. Kalo ada yang suaranya aneh, atau fals dikit, nadanya kurang nyampe di not sebenarnya, atau si penyanyi lupa liriknya, trus ada yang cadel, ada juga yang karakter suaranya asik, lembut, empuk-empuk gimana gitu, sampai suara-suara melengking—entah berapa oktaf—yang bikin telinga sakit. Semuanya gw telan matang-matang. Kadang-kadang, setelah penyanyinya selesai nyanyiin lagu, sempet banget discuss sama temen sebelah gw untuk sekadar mengomentari, this is the name of selfsatisfaction, *maap bray, belepotan*.

Belum lagi nih ya, kalo si singer bawain lagunya pake hati. Meeeen! Klepek-klepek banget deh pasti. Bisa bikin gw lalai dengan segala keteknisan yang terjadi saat itu. Meskipun lagu yang dinyanyiin itu adalah lagu yang mungkin menurut kita biasa aja kalo didengerin, tapi kalo dibawain sama doi, beuh! Jangan tanya bagus apa nggak deh. Cara dia nyanyi, gesturnya, dinamikanya, pokoknya smart banget dan tau harus kayak gimana bawain itu lagu. Hey, you got the point, bro! nice.

Bagi gw itu seru. Jangan lo tanya, masihkah gw ingat nama orangnya, nyanyi lagu apa, ekspresinya gimana, dan gayanya kayak apa? Beberapa dari mereka berhasil merebut hati gw, eaa. Haha. Cukup sekian dan terima tengkyu aja dari gw ya :)

***ps: hello sweetie, gw baru tau kalo elo itu anak duaributujuh. Lulus bareng gw aja yuuuk! Hahaha.. Lo tetep juara kok di hati gw, ihiiw. Btw, maklumin aja ya kalo judul postingan yang ini agak-agak dangdut gimana gitu ;p

5.12.11

'Puas'

Bismillah,

Alhamdulillah yah, udah hari kelima Desember. Masih ada 25 hari lagi untuk mengejar wish list yang tersisa sebelum 2011 ini mengakhiri usianya. Semoga segalanya lancar ya tweeps J aamiin.

Hari ini seimbang, seneng banget kalo kaya gini. Ceritanya, Senin kemarin gw merasa kalo gw adalah salah satu orang terbego di kelas Ibrani, karena malamnya begadang demi hal-hal yang—nggak bisa gw ungkapkan di sini—hehe, maaf ya ngeselin. Untuk membayar itu semua, week end minggu kemarin, gw habiskan untuk membabat abis soal-soal Ibrani. Beuh! Sok gaya-gayaan banget kan gw, tapi demi memperbaiki reputasi gw di depan dosen, dan ingin membuktikan bahwa gw serius belajar Ibrani, gw utak-atik tuh soal sekitar sepuluh halaman. Sampe kepala udah hampir berubah jadi kelapa, gw begadang pun karena si Ibrani ini. Pas masuk kelas tadi, jangan ditanya deh gw jumawanya kaya apa. Temen-temen yang lain pada ngobrol, gw langsung buka hasil kerjaan gw semalam suntuk. Cadas nggak tuh, bray?! Haha.

Pukul 13.10, ketua kelasnya telepon si dosen, dan setelah itu bilang gini: ”Teman-teman, bu dosen sakit, jadi hari ini nggak ada kuliah ya, dan si ibu juga nggak nitip tugas apa-apa..” jaaah, langsung gempar sujud syukur hamdalah deh tuh anak-anak di kelas. Maksudnya, mensyukuri karena nggak ada kuliah, tapi kami tetep berdoa juga untuk kesembuhan ibu dosen tercinta. Gitu-gitu ya, kami sayang banget sama dosen Ibrani yang satu ini. Terlalu sabar, dan pengertian. Jujur, gw nggak tau sih harus berekspresi seperti apa untuk merespon pengumuman tadi. Hmm, dinikmati saja lah ya.

Sementara temen-temen gw udah pada keluar kelas, gw masih duduk tenang di kursi. Nggak lama, ada beberapa customer gw dateng nyamperin. Ngobrol-ngobrol, dan lama-lama muncul ungkapan yang sangat mengapresiasi gw sebagai seller. Waaah, gw terharu banget. Nggak perlu gw jelasin panjang lebar lah ya tentang skenario yang dia beberin pada saat itu. Intinya, gw nggak nyangka aja, dia bakal sebegitunya mengapresiasi gw sebagai seller. Sungguh, gw masih terharu, tweeps. Speechless. Bukan karena pujian/sanjungannya, tapi karena gw merasa pelayanan gw selama ini biasa aja, dan menurut gw hal itu memang sudah selayaknya dimiliki oleh seller. Dan dia juga yang menyadarkan gw kalo ternyata sudah sampai sejauh ini melayani orang-orang, my beloved customers in the world (DHA, INI LEBAY!!).

Finally, I got the point, guys. Bukan materi yang bisa bikin bahagia, melainkan hal-hal macem gini—yang tak terdefinisi—yang malah bikin gw hampir mbrebes mili. Makanya, gw selalu ‘nggak mengharapkan sesuatu/apa pun’ setelah gw melakukan hal-hal yang mungkin bagi orang lain ‘itu sangat berarti’. Dibalik itu semua, gw yakin, Allah pasti akan ngasih ‘sesuatu’ yang lebih, yang kita nggak tau, apa bentuknya dan bagaimana caranya nyampe ke kita. 

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...