Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2014

Cerita Papandayan (5): What Happens, Next?

Berhubung tulisan sebelumnya cuma sampai “ touch down Terminal Guntur”, kali ini gw akan ngelanjutin terusannya. Pasti penasaran dong dengan What Happens berikutnya? Hahaha. Ya kalau nggak penasaran, gampang, tinggal close aja tab nya. Kelar! Kami bertiga sebenernya udah tau, apa yang mesti dilakukan setelah tiba di terminal: naik angkot menuju Cisurupan. Yang jadi masalah adalah, kami hanya bertiga. Sementara kapasitas angkot kurang lebih 10-12 orang. Maka dari itu dibutuhkan ‘kenalan’ demi perjalanan yang lebih lancar. Gw, Dita, dan Wina lalu merapat ke samping Mesjid sekitar. Kenapa? Karena dingin banget ternyata bok. Hahaha, bukan hanya itu, para pendaki lain juga ngaso di situ, jadi kami cukup aman dan lahan kenalan semakin lebar. Mulailah Dita ngajak ngobrol sepasang anak manusia yang kami curigai-mereka-sedang-pacaran. Maksudnya, mereka jalan kemari hanya berdua, sengaja untuk menghabiskan waktu bersama yayang. Huhuy! Usut punya usut, teman Dita ternyata teman

Cerita Papandayan (4): What Happens, Jakarta - Garut?

Sumringah adalah ketika gw dan Dita sampai di depan Terminal Kampung Rambutan (TKR). Wina udah sampai sana duluan, doi nunggu kami sembari makan dan lalalili. Menurut Mba Nanda—senior pendaki—kita nunggu aja di depan terminal, nggak usah masuk. Telepon-teleponanlah kami dengan Wina. Dia bilang “ di dalem aja sekalian, Dha. Nanti malah nggak dapet tempat duduk yang enak kalo nunggu di luar, karena udah keburu penuh. ” Ya bener juga sih. Apalagi gw butuh duduk di depan alias tepat di belakang sopir biar nggak mabuk. Mabuk cinta. Cih! FYI, yang belum akrab dengan sikon TKR, pasti bingung. Beuh, ini terminal luasnya mayan bok. Kalau kita tengak-tengok ketauan bingungnya, mampus lah kita, habis itu dompet, hp, dan barang berharga lain nggak kerasa ilangnya. Akhirnya sok-sok an lah kami jalan terus menuju ke dalam terminal. Pokoknya ngikutin arah jalan orang-orang yang—pakaian, gestur, dan tampangnya—cukup meyakinkan. Dan, kalaupun mau nanya sesuatu, tanyakanlah hal-hal yang mau

Cerita Papandayan (3): Kenapa Nggak Yakin?

P ada tulisan gw sebelumnya, gw kan sempat ragu ke Gunung Papandayan karena beberapa hal teknis: gw bukan pendaki lah, belum pernah lah, dan lain-lain. Nah, ada alasan lain yang bikin gw nggak yakin. Pertama, temen gw—Citra, anak pencinta alam, yang minjemin gw carrier; daypack; sepatu; senter; plus buku panduan pencinta alam—berkali-kali ngomong ke gw kalau dia khawatir. Dia tau kalau gw jalan bersama orang-orang yang belum pernah naik, gw nge-lead, dan kabar terakhir yang dia dengar: ternyata gw tetep jalan bertiga dengan cewe-cewe ajaib nan perkasa. “ Duh, Kak Idha, kok gw khawatir ya .” – Citra. Kedua, gw sama sekali nggak ngasih tau orangtua gw kalau gw mau pergi—apalagi naik gunung. Gw nggak izin ke mereka—bahkan—karena gw tau, gw nggak akan diizinin jalan. Namanya orangtua, pasti maunya yang aman-aman aja untuk anaknya. Mana akhir-akhir ini lagi banyak kabar gunung batuk. Beuh, gw bisa dislepet jarum neraka sama ayah dan ibu gw nanti :’( Ketiga, Kamis malam sebelum

Cerita Papandayan (2): Drama

Kali ini gw nggak akan membahas teori drama dalam bahasa Indonesia, apalagi ngasih kuliah beberapa SKS ke pembaca tentang jenis-jenis drama dan periodisasinya. Ya siapa juga yang mau-maunya dikasih kuliah sama lo, Dha?! Oke, lupakan. Anyway, masih ingat kan tulisan gw yang judulnya Why Not? Nah, insya Allah akan gw lanjutkan. Syukur-syukur ada yang nunggu, kalau nggak ada ya nggak apa juga, terima aja Dha! Bungkus. Kok judulnya Drama sih? Karena trip Papandayan ini banyak banget dramanya. Gw sampai bingung, pusing, migrain, rindu. Eh, yang terakhir mah typo ding :’)) Awalnya gw seneng karena respons anak-anak di grup whatsapp Krakatau oke banget. Pas gw data, ada 17 manusia yang ‘ngacung’ untuk ikut. Dari 17 itu, ada anak-anak Krakatau, beberapa temannya teman, dan lain-lain. H-7 sebelum berangkat, Zakiyah sempat bilang gini: “kok ini nggak ada info lanjutan Papandayan ya?” saat itulah gw masuk dan langsung menyerang doi dengan dua pasang martil di tangan: “belum, Zak