2.9.13

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68!

Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah.

Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. Medan semacam ini cocok untuk pemula—seperti saya. Awalnya cukup deg-degan karena saya takut ketinggian, tapi lama-lama sirna juga.

Sejujurnya, kekhawatiran saya disebabkan oleh beberapa hal: pertama, saya udah lama nggak berolahraga (lari, atau olahraga yang menunjang endurance); kedua, ya karena ini adalah kali pertama naik gunung. Beberapa teman dalam rombongan sih udah pernah ke Semeru, Slamet, Sindoro, dll. Wow aja gitu! Ahahaha. Saya mah masih cupu. Doyan jalan sih, tapi bukan naik gunung. Nah, kenapa saya ikut? Karena ada beberapa teman saya yang ikut—setidaknya ada temennya. Trus, Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu tinggi, jadi saya pikir, saya pasti bisa. Selain itu, saya sih tergoda karena letak gunungnya dekat hamparan pantai, plus karena tidurnya di tenda. Hahaha. Kangen berkemah!

Trip Krakatau kali ini digawangi oleh Mba Nanda (senior saya di SINTESA). Beberapa tahun ini, dia memang sudah jalan ke mana-mana. Berbekal tulisan di blognya, saya pun memutuskan untuk mencoba bergabung. Kebetulan tanggalnya pas hari kemerdekaan, dan budgetnya juga murah. Nanti di tulisan selanjutnya akan saya rinci detilnya, siapa tahu bloggers tertarik dan punya rencana ke sana. Sempat maju mundur ikut atau nggak, tapi saya sih nekat aja, toh beberapa yang ikut juga udah ada yang berpengalaman. Jadi, kalau ada shit happened insya Allah aman, pikir saya.

FYI, kami naik dua kali. Berburu sunset, dan esoknya berburu sunrise. Hmm, saya mau pengakuan dosa dulu nih. Hehehe. Pas jalan pertama—berburu sunset, kerasa banget ngos-ngosannya. Padahal baru sepertiga jalan. Rasanya tuh macem empat kali running paket GPMB. Salah sih, nggak pemanasan dulu di hari-hari sebelum naik. Maklum, udah nggak MB hampir tiga tahun, jadi ya napasnya pendek lagi. Dulu rasanya saya tuh kuat banget, tahan banting—fisik maupun mental. Itu dulu, sekarang mulai menurun daya tahan tubuhnya. Ah, yasudah. Intinya saya nggak akan mengulang kesalahan untuk kali kedua kalau nanti naik gunung lagi. Mungkin ada juga tipe orang yang nggak butuh pemanasan—seperti yang saya bilang tadi, ada juga yang butuh—tipe seperti saya ini.

Saya suka pantai, tapi saya juga takut air, hahaha. Ada kejadian hampir tenggelam pas snorkeling, dan itu cukup membuat saya shock. Alhamdulillahnya ada yang nenangin dan nolongin, aaaaaah makasih :’) “siapa Dha yang nolongin?” ada deh, nggak akan saya sebut namanya :p “lebay lo Dha!” ya gimana, tapi seriusan waktu itu takut banget. Mana airnya asin! *ya iyalah, kan air laut*

Nah, ini baru permulaan alias mukadimah. Cerita berikutnya insya Allah ada lagi. Jangan khawatir, so… stay tune! Hahaha. 

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...