Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

Bandung (lagi?)

Awal tahun lalu, gw ke Bandung. Tepatnya Februari 2011, singgah di rumah Sabrina (Baritone MBUI) untuk beberapa hari. Tak lain dan tak bukan hanya untuk jalan-jalan. Mengunjungi beberapa museum, mampir ke Gita Wibawa Mukti, dan belanja. Boleh dikatakan sedang bimbang terhadap sebuah pilihan waktu itu, tapi gw nya malah lari dari kenyataan. Hahaha. Selanjutnya, tengah tahun menjelang puasa, gw ke sana. Singgah di rumah Reina (Trumpet MBUI) sekitar tiga hari. Nah, kali ini memang ada tujuan. Singkatnya, dalam rangka mau ketemu seseorang. Lebih tepat disebut kopdar sih (*setop, sampai sini saja). Alhasil, gw mengawali puasa pertama di Bandung. Sahur, tarawih, juga atmosfer puasa ala Bandung. Cukup seru. Kemudian, akhir tahun menjelang tahun baru, gw pun ke Bandung lagi. Tujuan utamanya liburan, sekaligus menikmati momen-momen pergantian tahun baru di sana. Gw, Vieza, Uswah singgah di tempat Kakak Tami (temen Uswah). Mengunjungi Braga, Gedebage, Museum KAA, Sugarush, juga Potluck

Mengaduh Tuhan

Meninggalkan zona nyaman, mencicipi tempat baru, mencium aroma menantang, juga langit yang tak sama. Hal ini sama sekali bukan dambaan setiap orang saya rasa. Hangat, terjaga, merasa aman, dekat, tentu tak langsung dapat bersahabat begitu saja. Ya kan? Klasik: butuh waktu. Cuma kita dan Tuhan yang tahu tentang kapan. Seperti saat ini, saya pontang-panting cari pegangan. Lama. Berhari-hari bahkan. Terbawa mimpi. Selalu muncul di sela-sela otak kiri. Mempertanyakan, kapan akan diputuskan? Kemudian, hanya bermodal kenekatan, saya memulai perjalanan. Awalnya bingung memilih tikungan. Di tengah jalan sempat beberapa kali bertanya ke sana kemari. Tepat! Belum ada satu pun jawaban yang memuaskan. Lalu saya memandang ke udara sebentar, memerhatikan laju dan klakson kendaraan yang tiap detik menganga lekat pada peluh dan penat. Empat jempol saya siapkan untuk seseorang yang telah bertahan selama setengah abad menyapu jalanan. Masih pantaskah saya mengucapkan “aduh” pada Tuhan? *

Pertemuan Pada Babak Ke Sekian

Selamat! Semoga Tuhan selalu dekat, aamiin. (your M) Kali terakhir kubaca suratmu di Kansas (Kantin Sastra). Cuma ucapan itu yang cukup lekat di otak. Di saat kepulan asap sampai pada kerucut atap, saat orang-orang lalu-lalang saling bercinta dengan kudapan di kiri kanan tangannya, dua tahun lalu, kau menantangku bermain kartu. Andai saja sekarang masih bisa, sayangnya kaululus lebih dulu. Satu Mei. Suka tak suka, usia telah berkurang satu. Aku heran, mengapa orang-orang selalu mengucapkan “ selamat, dan semoga panjang umur ” di hari ulang tahun? Bukankah mati dalam usia dini katanya lebih suci? Aku setengah mati setengah hidup selama enam tahun. Menunggu, menanti kabar dari seseorang yang kusebut ‘teman dekat’. Kemudian, aku mengingat-Mu semalaman ketika rindu telah sampai di ujung hulu. Terima kasih untuk tidak menjauh, meski tak juga dekat. Kau berjalan ke utara, aku ke selatan, begitu seterusnya. Sama sekali tak pernah berpapasan di kilometer ke sekian. Memberanikan d

Saling Simpang Biar Tak Gamang

Selasar gedung satu akhirnya jadi tempat singgah, sekadar ingin duduk bersila sembari menunggu rintik reda. Di dalam tasku tak ada headset rupanya. Ah! Ada-ada saja. Kemudian, segera kucari teman setia pembangkit jiwa. “Nah, ini dia!” Terima kasih, Pablo Neruda, aku siap menyelami sajak yang kaucipta. Kukatakan sekali lagi bahwa aku mencintaimu Maka pukullah aku jika kau tak suka Hari-hari yang kulampaui hanya berbatas dinding dan malam Sepi memintal leher dan mencekik penantian bulan Aku mencintaimu Langit dan bumi inilah saksinya Dan lemparlah jika kau tak suka Karena aku pun tak sengaja mencintaimu (Sasina) Tuhan selalu punya rencana: mempertemukan kita di waktu-waktu yang tak terjaga. Ya, seperti sekarang. Bukannya kita baru saja saling sapa tadi siang? Lalu, saat ini kautepat lurus di depan mata. Berjarak memang, tapi cuma sejengkal. Kau masih seperti dulu: berdua dengan gitar seksimu. Pun aku: dengan kaos hitamku. Mau tak mau, kali ini aku yang harus

Surat Kaleng Waktu Itu

Iseng-iseng buka 30HariMenulisSuratCinta . Berawal dari sadar: bahwa gw pernah membuat satu kesalahan, atau lebih tepatnya disebut ketidakbijakan mengontrol emosi. Ya begitulah, semuanya tumpah. Surat kaleng—yang setelah dibaca kembali, membuat gw geli, sampah setengah mati—kokoh terpahat pada blog yang dapat dinikmati orang-orang. Memang sih, nggak semua orang tahu siapa yang nulis surat-surat kaleng yang terpampang di sana, tapi bagi manusia yang diberi kemampuan lebih, layaknya detektif bayaran kelas atas, kemungkinan akan tahu siapa si empunya tulisan. Mana di situ ada akun orang yang dituju pula! Usai sudah ketentraman hidup, siap-siap menulis prahara baru yang makin pelik. Tapi nih ya, di sisi lain juga gw berpikir: nggak akan ‘seru’ kalo hal itu nggak terjadi . Suatu hari nanti, lima tahun kemudian, sepuluh tahun ke depan, duapuluh tahun yang akan datang, mau tak mau, suka tidak suka, terpaksa atau nggak, pasti kita punya cerita sambungannya. Sedikit sama/sama sekali b

Sedikit Tentang Nulis

Beberapa hari lalu, gw sempat mencoba memulai untuk menulis cerpen. Meskipun tema yang ditawarkan masih seputar cinta-patah hati, tetep aja, buat gw nulis cerpen itu butuh ide yang kaya, juga referensi yang cukup. Mungkin gini, nulis itu gampang, nulis apapun. Nulis cerpen juga bisa kok ngasal. Nah, kalo yang ngasal-ngasal mah gw bisa. Huahahaha. Yang butuh perjuangan itu nulis yang idealis, kaya ide, alurnya logis, dan enak dibaca. Walaupun gw udah kenyang teori-teori sastra, dalam hal ini nulis nggak banyak butuh teori. Ibaratnya, teori itu hanya menyumbang 5%. Justru 95% sisanya adalah kreativitas penulis dalam mengontrol dan mengolah, juga memilih kata yang tersedia di dalam otak kita. (*yang setuju, RT yaaa!) Huahahahaha.. Nggak semua penulis (‘orang yang menulis’) bisa langsung tarakdungces lancar bikin kalimat pertama di awal. Ada juga yang memang butuh mood bagus biar idenya mulus. Ada juga yang harus diputusin kekasihnya dulu, baru bisa ngalir nulisnya. Ehm, tapi gw buk

Nginggris

Dari dulu, gw memang paling anti dengan sesuatu yang “ keminggris ”. Mulai dari DVD dengan terjemahan Inggris, termasuk buku referensi kuliah yang berbahasa Inggris? Tentunya. Cukup menghambat: film-film bagus dengan terjemahan Inggris, terpaksa tertunda atau pada akhirnya batal gw tonton. Cuma, kalo literatur kuliah sih nggak mungkin batal dipelajari. Meskipun kadang harus “nyewa” jasa penerjemah, lalu nanti si penerjemah harus melaporkan ke gw dengan mendongeng. Hahaha. Empat tahun lalu, waktu masih bocah (*lah, sekarang?), salah satu alasan yang nggak terlalu dominan milih Sastra Indonesia ya karena nggak mau ketemu sama yang “ keminggris ”. Setelah beberapa tahun, ternyata oh ternyata, banyak juga buku pendukung yang non-Indonesia. Mulailah memaksa diri untuk pelan-pelan mengonsumsi tulisan-tulisan Inggris yang agak bikin muak. Simpel, dulu alasannya ya bener-bener karena nggak mau aja, udah cuma itu, titik. Kalo awalnya udah nggak ikhlas, ya nggak akan dilakukan sampai tiba