Rumahnya cukup jauh. Sebenarnya aku menyimpan mimpi untuk berada di sana. Benar-benar ketakmungkinan yang tak mungkin, apalagi saat-saat setelah hari raya seperti ini-sekarang. Dia masih ada. Bersua denganku lewat jalan yang ia mau. Allah-ku dan Allah-mu saling tau, kalau kita telah memuja rindu setahun-dua tahun lalu. Papan yang telah lama ditulisi namamu pasti masih ada kan di sana ? Aku ingin sekali menyentuhnya, mencium kening yang belum usang dimakan ilalang, ah! Pasti aku senangnya bukan kepalang. Idulfitri sebentar lagi akan lari, makanya orang-orang sekitar sini saling menyalami. Mungkin saja salamnya tertera pada surat-surat yang agak renta, lusuh, atau mereka sampaikan di antara reruntuhan teknologi duniawi—yang sekarang merajai. Then, mulailah aku mencari nomor-nomor tersembunyi di ponsel kini, dan cukup menahan napas saat tiba di fonem-mu. Kali ini aku berjanji tak lagi mempersembahkan air mata haru-biru yang dulu pernah menjadi saksi bisu, karna menurutku kau
semuanya terangkum dalam pandora emas penuh warna, penuh dengan koma, namun akan diakhiri dengan titik oleh Sang Sutradara.