Sumringah adalah ketika gw dan Dita sampai di depan Terminal Kampung Rambutan (TKR). Wina udah sampai sana duluan, doi nunggu kami sembari makan dan lalalili. Menurut Mba Nanda—senior pendaki—kita nunggu aja di depan terminal, nggak usah masuk. Telepon-teleponanlah kami dengan Wina.
Dia bilang “di
dalem aja sekalian, Dha. Nanti malah nggak dapet tempat duduk yang enak kalo
nunggu di luar, karena udah keburu penuh.” Ya bener juga sih. Apalagi gw
butuh duduk di depan alias tepat di belakang sopir biar nggak mabuk. Mabuk cinta.
Cih!
FYI, yang belum akrab dengan sikon TKR, pasti
bingung. Beuh, ini terminal luasnya mayan bok. Kalau kita tengak-tengok ketauan
bingungnya, mampus lah kita, habis itu dompet, hp, dan barang berharga lain
nggak kerasa ilangnya. Akhirnya sok-sok an lah kami jalan terus menuju ke dalam
terminal. Pokoknya ngikutin arah jalan orang-orang yang—pakaian, gestur, dan
tampangnya—cukup meyakinkan. Dan, kalaupun mau nanya sesuatu, tanyakanlah hal-hal
yang mau ditanyakan kepada para penjual makanan/minuman di kedai pinggiran,
niscaya akan lebih aman. Hahaha. Berasa Bang Napi syariah deh ini :D
Kami bertiga janjian ketemu di depan Indomaret
di dalam TKR. Jauh juga nyari Indomaret-nya.
Gw : “Bang, Indomaret di sebelah mana ya?”
Abang : “Lurus aja neng. Tadi temen-temennya
udah pada dateng kok, bawa tas gede.”
Hah, temen-temennya? Ahahahaha. Gw iya-in aja
lah ini. Pas sampai di depan Indomaret, ternyata emang banyak orang ber-carrier
duduk-duduk di sana. Wuih, ramenyo! Makin seneng lah karena gw pikir,
perjalanan ini pasti seru.
Alhamdulillahnya lagi kebagian tempat duduk
paling depan. Iya, depan sopir. Ya keleeeus! Udahlah, ini mah nggak diridhoi
dari segi mananya coba?
Usut punya usut, gegosipan om sopir, kenek, dan
antek-anteknya, jalur menuju Garut macet total. Hal ini disebabkan Rancaengkek
buanjir, tjuk! Si sopir terus berusaha mencari jalan keluar agar kami semua
tidak terkena macet.
Dia terlihat menelepon rekan-rekan
seperjuangannya berkali-kali lewat smartphone kecenya (*ini penting). Mereka sih
ngobrolnya dalam bahasa Sunda, lengkap dengan dialek dan aksennya. Intinya mah
mastiin kalau jalur utama Jakarta—Garut benar-benar tidak layak dilalui. Ya gimana
mau layak. Kata abangnya nih, kita berangkat jam 10 malam, sampai Garut jam 11
pagi. Makanya doi cari jalur alternatip (*pake p) yang lebih manusiawi.
Ternyata oh ternyata, sopirnya ngambil jalur
simpang Buah Batu, lewat Jl. Moh. Toha, Majalaya (Bandung). Superwow! Kalau kata
Wina dan Dita: daebak! Hahaha. Tapi emang
sepanjang jalan, sopirnya nggak pernah kehabisan akal untuk ‘lewat mana’. Kalaupun
lewat jalur x, y, z, si sopir pasti woro-woro dulu ke para penumpang, biar
penumpangnya nggak kaget.
Alhasil, kami semua sampai di Terminal Guntur –
Garut jam 3 pagi. Daebak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar