Langsung ke konten utama

Cerita Papandayan (4): What Happens, Jakarta - Garut?


Sumringah adalah ketika gw dan Dita sampai di depan Terminal Kampung Rambutan (TKR). Wina udah sampai sana duluan, doi nunggu kami sembari makan dan lalalili. Menurut Mba Nanda—senior pendaki—kita nunggu aja di depan terminal, nggak usah masuk. Telepon-teleponanlah kami dengan Wina.

Dia bilang “di dalem aja sekalian, Dha. Nanti malah nggak dapet tempat duduk yang enak kalo nunggu di luar, karena udah keburu penuh.” Ya bener juga sih. Apalagi gw butuh duduk di depan alias tepat di belakang sopir biar nggak mabuk. Mabuk cinta. Cih!

FYI, yang belum akrab dengan sikon TKR, pasti bingung. Beuh, ini terminal luasnya mayan bok. Kalau kita tengak-tengok ketauan bingungnya, mampus lah kita, habis itu dompet, hp, dan barang berharga lain nggak kerasa ilangnya. Akhirnya sok-sok an lah kami jalan terus menuju ke dalam terminal. Pokoknya ngikutin arah jalan orang-orang yang—pakaian, gestur, dan tampangnya—cukup meyakinkan. Dan, kalaupun mau nanya sesuatu, tanyakanlah hal-hal yang mau ditanyakan kepada para penjual makanan/minuman di kedai pinggiran, niscaya akan lebih aman. Hahaha. Berasa Bang Napi syariah deh ini :D

Kami bertiga janjian ketemu di depan Indomaret di dalam TKR. Jauh juga nyari Indomaret-nya.
Gw : “Bang, Indomaret di sebelah mana ya?”
Abang : “Lurus aja neng. Tadi temen-temennya udah pada dateng kok, bawa tas gede.”
Hah, temen-temennya? Ahahahaha. Gw iya-in aja lah ini. Pas sampai di depan Indomaret, ternyata emang banyak orang ber-carrier duduk-duduk di sana. Wuih, ramenyo! Makin seneng lah karena gw pikir, perjalanan ini pasti seru.

Alhamdulillahnya lagi kebagian tempat duduk paling depan. Iya, depan sopir. Ya keleeeus! Udahlah, ini mah nggak diridhoi dari segi mananya coba?

Usut punya usut, gegosipan om sopir, kenek, dan antek-anteknya, jalur menuju Garut macet total. Hal ini disebabkan Rancaengkek buanjir, tjuk! Si sopir terus berusaha mencari jalan keluar agar kami semua tidak terkena macet.

Dia terlihat menelepon rekan-rekan seperjuangannya berkali-kali lewat smartphone kecenya (*ini penting). Mereka sih ngobrolnya dalam bahasa Sunda, lengkap dengan dialek dan aksennya. Intinya mah mastiin kalau jalur utama Jakarta—Garut benar-benar tidak layak dilalui. Ya gimana mau layak. Kata abangnya nih, kita berangkat jam 10 malam, sampai Garut jam 11 pagi. Makanya doi cari jalur alternatip (*pake p) yang lebih manusiawi.

Ternyata oh ternyata, sopirnya ngambil jalur simpang Buah Batu, lewat Jl. Moh. Toha, Majalaya (Bandung). Superwow! Kalau kata Wina dan Dita: daebak! Hahaha. Tapi emang sepanjang jalan, sopirnya nggak pernah kehabisan akal untuk ‘lewat mana’. Kalaupun lewat jalur x, y, z, si sopir pasti woro-woro dulu ke para penumpang, biar penumpangnya nggak kaget.

Alhasil, kami semua sampai di Terminal Guntur – Garut jam 3 pagi. Daebak!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan

Sedikit Tentang Nulis

Beberapa hari lalu, gw sempat mencoba memulai untuk menulis cerpen. Meskipun tema yang ditawarkan masih seputar cinta-patah hati, tetep aja, buat gw nulis cerpen itu butuh ide yang kaya, juga referensi yang cukup. Mungkin gini, nulis itu gampang, nulis apapun. Nulis cerpen juga bisa kok ngasal. Nah, kalo yang ngasal-ngasal mah gw bisa. Huahahaha. Yang butuh perjuangan itu nulis yang idealis, kaya ide, alurnya logis, dan enak dibaca. Walaupun gw udah kenyang teori-teori sastra, dalam hal ini nulis nggak banyak butuh teori. Ibaratnya, teori itu hanya menyumbang 5%. Justru 95% sisanya adalah kreativitas penulis dalam mengontrol dan mengolah, juga memilih kata yang tersedia di dalam otak kita. (*yang setuju, RT yaaa!) Huahahahaha.. Nggak semua penulis (‘orang yang menulis’) bisa langsung tarakdungces lancar bikin kalimat pertama di awal. Ada juga yang memang butuh mood bagus biar idenya mulus. Ada juga yang harus diputusin kekasihnya dulu, baru bisa ngalir nulisnya. Ehm, tapi gw buk