Seperti biasa, tradisi anak rantau setelah puasa: mudik ‘ mulih udik ’ atau lebih akrab dikenal pulang kampung. Alhamdulillah kali ini saya berhasil mengantongi tiket kereta eksekutif untuk pulang ke Tegal—beli sebelum puasa bahkan, karena khawatir kehabisan. Sedikit lega. Namun, entah mengapa, saya sedih. Mungkin karena suatu alasan—yang tidak bisa saya ceritakan di sini. Selain itu, biasanya sih ada yang nganter. Sekadar menemani sampai Stasiun UI atau Stasiun Gambir. Kali ini nggak ada. Dulu ada cerita lucu, hmm, agak mengesalkan mungkin—lebih tepatnya. Pernah ada yang nawarin jemput saya di kosan, dan ikut nganter sampai Stasiun UI. Cuma, waktu itu dia sangat ngaret. Padahal, jadwal kereta nggak bisa ditoleransi. Saya terpaksa naik ojek sampai Stasiun UI. Waktu itu, dia sama sekali nggak bisa dihubungi, pada saat-saat genting sekalipun. Begitu saya naik kereta, beberapa menit kemudian, dia baru sms saya, ngasih tahu kalau dia udah sampai Stasiun UI. Hih! Ini tuh, macem judul
semuanya terangkum dalam pandora emas penuh warna, penuh dengan koma, namun akan diakhiri dengan titik oleh Sang Sutradara.