Langsung ke konten utama

Cerita Papandayan (6): Menuju Pondok Seladah

Perjalanan ini pun dimulai. Yaelah dari kemarin juga udah dimulai sih, haha. Eh, tapi kali ini menurut gw perjalanannya bener-bener dimulai. Menurut orang-orang kebanyakan, dari basecamp menuju Pondok Seladah itu cuma 2 jam. Okelah, deket nih brarti, pikir gw.

Baru beberapa meter jalan, udah jepret sana-jepret sini. Biasa, kelakuan orang kota liat pemandangan alam dikit aja bawaannya pengen foto, trus upload di socmed. Yeahahaha. Btw, jangan harap di sini ada sinyal. Setjanggih apa pun ponsel lo, kalo baterainya penuh tapi nggak ada sinyal mah, jadi nggak asjik. Soalnya nggak bisa upload. Ya memang cuma itu permasalahannya :D



Meskipun jalur awal termasuk jalur yang mudah, medannya tetep nanjak lho ini. Yang jarang olahraga, yang berumur dan jarang olahraga siap-siap aja mulai ‘capek’. Gw aja agak ngos-ngosan—tapi gw tahan, gengsi mak!

Beberapa ratus meter pertama, kita melewati sedikit pepohonan di kanan kiri jalan, bebatuan, dan kawah. Nah, ini yang paling menarik. Kawahnya masih aktif, jadi belerang pun setiap saat mengepul di udara. Makanya kita sangat butuh masker di sini. Masker atau slayer atau kain apa pun untuk menutup hidung. Masker bengkoang boleh nggak Kak? Boleh sih, abis itu lo meninggal pelan-pelan tapi :/



Ritual wajib tak pernah ketinggalan. Foto-foto. Sembari kami beristirahat, minum, ngemil cokelat, dan atur napas, kami juga aktif mengecek sinyal. Dan, di antara kawah belerang ini ada sinyal pemirsa, ada sinyaaaaaal! Kesempatan buat upload banget. Gila juga ya ini anak-anak modern. Mungkin kelak bakal ada perumpamaan: aku nggak butuh apa pun, aku cuma butuh sinyal -__-

Tantangan di jalur ini adalah, kita nggak bisa istirahat dan berdiam terlalu lama karena aroma belerangnya sangat menyengat. Sayangnya gw kelewat ngos-ngosan, jadi gw sering break sendirian, duduk di bebatuan sekadar minum dan narik napas panjang. Sedangkan, temen-temen yang lain udah kepalang duluan. Untungnya ada satu lelaki yang notice ke gw. Mungkin dia kasihan ngliat gw engap. Jadi, selama jalan dia membiarkan gw berjalan di depan, dia belakangan. 



Bahkan, gw sempat iseng menawarkan carrier gw ke Bang Rud. Maksudnya biar dia bawain carrier gw. Hahaha. Tujuan gw mah awalnya bercanda, tapi dia nanggepin serius. Pas ditimbang-timbang carrier gw dengan tangannya, sepertinya doi nggak sanggup. Ya iyalah, orang belasan kilo. Akhirnya gw cuma menawarkan tenda gw dipindah ke tasnya. Fuh, mayan sih agak entengan. Namun, lagi-lagi gw bertanya ke doi, yakin nggaknya bawain tenda gw. Abisnya nggak enak juga kan, gimana pun ini tetep tanggungan yang mesti gw bawa sampai tujuan.

Namanya cowo, biasanya kan kebanyakan gengsi, jadi ya tenda gw akhirnya dibawain. Alhamdulillah. Thank you, Bang!

Setelah melewati kawah belerang, kami menyebrangi sungai kecil, juga tanjakan batu yang cukup sempit dan curam. Saran gw, nggak usah tergesa-gesa kalo pas di sini, selow aja. Yang paling seru adalah, di medan ini kita bisa ngeliat lanskap hamparan hijau dan kawah dari atas. 



Nah, seperti apa kelanjutannya? Ada di tulisan berikutnya. See you!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68! Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah. Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. M