Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2013

............

Setiap jengkal, mengurai jeda Mengucapkan selamat pagi pada asmara Meluruhkan dosa semesta Berlari menuju langit malam Menyergap gumpalan kabut yang tak pernah surut Seketika itu, kita tak lagi berjabat rindu Lalu, kaupanggil jua potongan subuh pada tubuh yang lusuh Membangunkan alam dari buai larut Memintaku segera berdebat dengan kenyataan.

Kehilangan Mei

Kurasa, aku lebih tabah dari hujan di bulan Juni. Segala lara ditimpa atas rasa. Bersembunyi dibalik langit-langit Tuhan. Tak mengenal musim. Tak menjejak bulan. Tak melawan matahari. : aku kini.                                                                                       seperti Sapardi--aku kehilangan Mei.

Jelma - Menjelma

Perempuan itu—cuma kadang-kadang—susah dimengerti. Selebihnya baik-baik saja. Saya juga perempuan, tapi juga kadang menjelma lelaki. Bahkan, lebih terlihat kuat dibanding lelaki asli. Tak percaya? Aku juga. Jadi, jangan percaya! Itu kuncinya. Gampang. Sederhana.

Kau Pada Kertasku

Surat-suratmu yang dulu, kini menguap bersama angin. Katanya, tak sehat kalau terlalu meretas masa lalu. “ah, masa?” “mengapa kau tak percaya saja?” Sudahlah, ini bukan urusanmu lagi. Tentunya, ingatan tentang goresan huruf-hurufmu pada kertas bergaris masih melekat. Kau boleh saja tertawa hidup-hidup! Tentang kekasih. Tahbisan kata yang belum sempat kausampaikan. Atau mungkin memang sepertinya sengaja dipendam. Karena kita punya banyak alasan. Untuk tak saling serang. Untuknya. Untuknya. Jalan kecil pun punya jeda antardindingnya. Ya, mungkin kau tak lebih tau dariku—lagi lagi tentang mungkin. Karena aku tak terlalu percaya pada pasti. Mei saja berani kau khianati, Kasih.

Kau Harus Dengar!

Sudah saya katakan sebelumnya, dunia semakin bising; semua orang ingin didengar; setiap orang (kadang) ingin dirinya dianggap penting pada koloni-koloni masing-masing. Entah, lebih baik kita sama berdoa supaya tanah, air, juga udara tak ikut-ikutan pening. Manusia mana yang tak murka? Saban yang bernyawa punya rasa. Haus puji, dan puja. Terlena; lupa; lupa yang sangat lama, sedikit-sedikit hati jadi beku—bahkan tak terasa. Terasing, benar-benar hanya perlu muncul atas nama diri sendiri—tanpa orang lain. Belum sudi, katanya. Pelan-pelan sadar, bahwa Tuhan sengaja memberi dua telinga: agar manusia lebih banyak mendengar; berpikir dengan mendengar; bertindak dengan mendengar; melihat dengan mendengar; meraba dengan mendengar; memahami sesuatu dengan mendengar; peka sekitar dengan mendengar. Padahal, kau tak perlu susah-susah untuk mendengar. Sederhana. Tak butuh biaya tambahan untuk lebih mendengar. Listen more, learn more . Padahal, firman Tuhan sangat jelas tertulis

Begini

Dunia sudah terlampau bising, sedang aku lebih padu dengan telingaku. Gema suara di tengah udara malam tadi menggagalkan sebuah sakralisasi. Bingung. Lalu, murung. Pelik. Lalu, ingin mati. Ya, cukup begini.

Tentang Malam Yang Kalut

Sebelum terpejam, aku terbiasa diterkam. Pikiran-pikiran busuk lari tanpa tujuan. Juga gagasan-gagasan manis menjanjikan tak hentinya selesai. Otak cuma menghadirkan rentetan data yang telanjur disimpan. Apalagi tentang kenangan, tak sedikitpun berantakan. Masih rapi. Meski saat ini tak lagi menyatu seperti dulu. Obituari dan tragedi sekadar saksi, saksi bahwa selama perjalanan menuju rimba raya sempat tersendat. Mampir sejenak di pemberhentian. Kemudian, tak berapa lama melanjutkan untuk pulang diam-diam—mungkin saja.

Teka Teki Pagi

Pagi tadi, ada bongkahan gelisah menggelayut pada dinding tubuh Entah apa Bangun, buru-buru merapal namanya Khawatir atas ketakutan yang terlampau panjang Seperti ada seseorang yang mengejar Menginginkan sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa itu Segera kulayangkan pesan pendek pada mereka Meminta meyakinkan bahwa aku akan baikbaik saja seperti biasa Namun, belum kutemukan jawabannya.