Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2012

Jejak Yang Tertinggal

Bulan lalu kau di sini. Meninggalkan wangi lewat percakapan singkat setelah kita menepi. Bukan hanya itu. Kemudian, rindu, sengaja kausematkan ke dalam darahku. Biar kita tak saling curi dan tak saling cari: katamu. Aku mengamini, sesederhana itu. Kautanya: kata-kata mana yang sampai sekarang hidup sejahtera di wajahku? Bilamana boleh kujawab: saat kau lantas pergi sebentar mencari sesuatu dan menyuruhku untuk diam saja menunggu di situ.

Memori Pukul Tiga Pagi

(Anggun C. Sasmi – Only Love) All i’m looking for is only love There is only love that i need What i’m looking for is only love There is only love that i seek Nothing is worth fighting only love There is only love that makes me bleed Nothing is worth living only love There is only love that makes me breath “hari ini menunya apa?” “ada ini, itu, dikasih sama si ini. Lo?” “……..(bersambung)” Rasanya tak asing dengan reff lagu itu. Hampir tiap pukul 3 pagi mampir di telinga, katanya sih biar nggak kebablasan sampai subuh. Itu pun tahun lalu. Nyatanya, tahun ini tidak begitu. Ada cita rasa yang beda? Tentu. Dulu cukup manis, bahkan beberapa kali sangat harmonis. Sekarang tidak terlalu, justru kadang timbul tangis. Layaknya deretan nada mayor sepanjang delapan bar, lalu tetiba muncul nada minor pada sela-sela terakhirnya. Kelihatannya bagaimana?! Ya, begitu-begitu saja. Cuma itu yang tertinggal di memori saya. Baiklah, cuma, tapi masih lengket di kepala. Salah saya?

Tamu Jauh

Terima kasih udah dateng kemarin :')

Begini Rasanya

Rasanya muak, tiga kali seharian di Balairung ketemu berbagai macam orang di sana-sini. Bukan tentang ‘ketidaksukaan’ terhadap pertemuan-pertemuan berkualitas itu, melainkan tentang ‘kekurangistirahatan’ mata dan otak menghadapi semuanya. Gw jadi inget, Iko dulu sengaja nggak ikut wisuda karena pasti-akan-bikin-mual-dan-muak. Mungkin salah satunya faktor tadi itu. Sebenernya seneng kok, seneng banget malah. Bahkan, ada yang sampai bikin ‘ nggak bisa berbuat apa-apa ’ karena terlalu campur aduk aja. Mulai dari tanya temen sana-sini, pas gladi bersih gimana, hari H gimana, kira-kira susunan acaranya kayak apa, lalu gw harus bagaimana, dan masih banyak lagi. Lalu, nyiapin sandang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Fuh! Menurut gw, pada bagian inilah yang cukup menguras tenaga, juga otak. Lho kok bisa? Karena gw berusaha biar biaya yang dikeluarkan nggak ‘lebay’, makanya pilah-memilah ini memakan waktu yang cukup panjang. Survei kualitas dan harganya sih yang agak ribet, tapi sejau

Sabar Kabar

Selalu ada kabar untuk orang yang sabar. Mungkin ini lebih tepat. Ah, tapi kan sabar itu nggak mudah. Betul sekali. 100 untuk regu Kancil. Hahaha. Memang begitu adanya, butuh “keekstrasabaran” yang dahsyat—hanya untuk sebuah kabar. 

Masih Ingat?

(Remember – Mocca) “ kalo kangen sama gue, pantengin gambar popeye yang ada di mug aja, Mur! ”              Enam tahun lalu, AG pernah mengatakan kalimat manis itu. Jelas, gue masih ingat betul. Mug putih lucu terdampar di depan pagar, tepat di hari berkurangnya usia gue. Tiap pagi jadi semangat nge-teh deh. Siangnya, gue bela-belain pulang lebih awal, yaaa sengaja, biar bisa nyeruput es teh manis setelah makan siang selesai. Lalu, sorenya. Biasanya gue nungguin es cendol di halaman rumah, nenteng mug di tangan kanan. Rutinitas yang nggak pernah ada bosennya. Dulu belum ada ponsel. Anak SMP/SMA mana punya. Paling banter, cuma anak direktur bank nasional yang megang barang tersier macam itu.              Sekolah kami berbeda, AG lebih memilih kejuruan dibanding gue yang memilih sekolah umum biasa. Dari sini, jarak pun tercipta. Namun, buat kami, saling menyurati adalah obat rindu paling ampuh yang sangat kami nikmati. Dimulai dengan semangat menggebu saat menulis surat, la

Lewat Kompetisi

             Dua tahun. Waktu yang cukup panjang untuk saling tegur sapa dalam dunia, maya maupun nyata. Tuhan sengaja merencanakan ini semua lewat dunia maya. Padahal, sebetulnya kami pernah simpang siur—lalu benar-benar bertemu—pada kompetisi dua tahun lalu. Kalau aku, tak perlu ditanya masih ingat atau tidak. Justru kamu, mungkin mengingatnya butuh waktu?              Satu-satunya saksi bisu kita cuma tempat itu. Lebih tepatnya: di bangku belakang, agak ke tengah, warna kuning—kalau tak salah. Dia yang seharusnya bicara; yang punya bukti nyata, agar tak sekadar terka tentang kita.              Kemudian, selang beberapa bulan, kuulang lagi memori-memori yang masih tegak berdiri di otak kiri. “kau benar-benar ada di dalam sana, bersama teman-teman memainkan dramanya. Sayangnya, dulu aku belum mengenalmu..” Tapi tenang saja, aku masih menyimpan rekamannya. Jadi, ketika udara mencekat rongga dada, aku bisa mengulang itu kapanpun aku mau. Mungkin kau tak tau? Mungkin..