“Hubungan kita cukup lama ya Bar, lalu apakah kau tak ingin kita…”, belum sempat kuselesaikan pengakuan ini pada Bara, ada seseorang yang kucintai—selain Bara—datang. Aku tak sanggup memaksa lidahku untuk berkata lagi. Masihkah kau ingat saat kali pertama pertemuan disengaja itu? Aku—lagi-lagi—hanya menanyakan lewat suara hati, perihal ini pada Bara. Mungkin aku belum benar-benar berani lebih dari itu.
Barangkali aku tak cukup yakin jika kau memang pernah memanggilku, memanggilku sesuai namaku. Sekadar iseng sih waktu itu, menyebutmu Bara tanpa persetujuan darimu. Kalau aku tak salah, dua tahun sudah masa-masa sulit ini kita seberangi. Adakah kau merasa lelah? Hmm, jangan kau tanyakan hal ini padaku ya, tapi. Bahkan, jawabanku pun belum tentu memuaskanmu. Sudahlah, aku rela kau tinggalkan jika memang menurutmu aku belum cukup berhasil hadir dalam lini kehidupanmu.
Hanya beberapa hal yang masih kental dalam ingatanku, Bar. Bagiku, di sampingmu saat kau terkapar tak berdaya meregang nyawa adalah momen saat aku bisa memandangmu lebih lama dari biasanya. Aku tahu, ini ironi. Bagaimana tidak? Untuk menggenggam jemarimu-memberi sedikit kekuatan-agar kau terus bertahan pun, aku masih belum bisa. Aku belum siap, Bar. Ketakutan-ketakutan semacam inilah yang sampai saat ini masih berkelakar di otakku. Masih mau menyalahkanku, Bar?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar