Semenjak
SD, begitu gw dipertemukan dengan puisi, gw langsung suka. Tanpa memedulikan
bahasanya yang penuh kiasan atau perumpamaan. Tanpa tau makna dari setiap katanya.
Suka ya, suka. Tanpa alasan. Kalau alasan untuk suka udah lenyap, berarti nggak
ada alasan lagi untuk suka dong?! Sama halnya kalau kita ditanya tentang ‘cinta.’
Misalnya, “kenapa sih, kamu cinta sama
dia?” “abis doi ganteng banget!”
(*kecuali
untuk alasan yang memang sudah menjadi watak asli sesuatu/seseorang).
Kembali
lagi ke puisi. Di SMP pun, gw berhasil dibuat terpesona oleh seseorang yang
membawakan sebuah puisi dengan apik, ekspresif, dan ‘dalam.’ Katakanlah ‘kami saingan’ berat. Hahaha. Well, meski begitu, gw tetap pada jalan
gw, dan dia tetap pada jalannya. Dalam hal ini, maksudnya ‘aliran, gaya, dll.’ Ini
dari tadi banyak tanda kutip satu ya? Nggak papa lah. Nggak dosa ini. Nah, hmm,
sejak saat itu, selalu ada perang dingin di setiap lomba baca puisi. Aaah,
kangen bersaing seperti itu lagi.
FYI,
baca puisi di sini dalam artian bukan seperti baca puisi yang asal baca,
intonasi ngotot, suara keras-keras, atau yang bacanya hanya ada nada rendah dan
nada tinggi secara bergantian. Namun, baca puisi di sini adalah baca puisi ‘yang
biasanya menang di kompetisi’ (red.). Ya, itulah. Nanti deh ya, kapan-kapan
kalau ada acara baca puisi atau lomba, insya Allah gw ikut. Hihihi. Hmm, atau
barangkali puisi Anda mau saya bacakan? Hahaha, boleh-boleh, sok lah :D
Setelah
lulus SMP, lanjut ke SMA. Di sana gw juga dipertemukan dengan sosok yang lebih
matang menekuni dunia baca puisi. Mungkin sudah jalannya (~dalam hati~). Seperti
jodoh: ketemu terus. Lalalala, dudududu~ lanjut! Di situlah gw bangkit lagi. Senang
rasanya bisa bercengkerama dengan puisi. Ibaratnya, ‘kembali ke alamnya.’ Bahasa
gaulnya, GUE BANGET, gitu. Kemudian, sempet juga tampil di beberapa acara. Kritik,
saran, pujian, semuanya gw lahap demi keberlangsungan gw selanjutnya. Dari guru
teater, kakak kelas, master of poetry reader, juga teman, tentunya.
Rabu
lalu, gw kembali membaca puisi. Daaaan, ah! Speechless.
Haru. Puas. Bahagia. Gemeteran pas baca di depan Mas Yudhi. Bahkan, sejak bangun
tidur, telapak tangan udah mulai dingin. Setelah sekian lama—hampir empat tahun—gw
berkeliaran di dunia mimpi dan khayalan tanpa henti. Fuh. Yaa, bisa dibilang,
terlalu banyak jajan jajanan mahal, sampai-sampai nggak pernah nyentuh lagi
makanan rumah yang very homy, truly
indeed. Menyesal? Nggak lah. That is not a goal, its just a tools.
Seandainya boleh mengulang, hmm, pikir-pikir dulu. Hahaha. Bukan nyasar, bukan
juga salah jalan. Ini hanya bagian dari menggali potensi diri saja, bukan
sesuatu yang ‘harusnya bukan di sini.’ Hidup ini pantas untuk dijelajahi. Jadi,
sah-sah saja.
Peksiminas. Ajang ini memang udah gw
incar sejak awal tahun. Gw berniat ikut tahun ini—di tahun terakhir kuliah gw. Oke,
di bagian ini dilarang keras dan nggak boleh mbrebes mili! Lho, tahun terakhir kuliah kok sedih? Bukannya harusnya
gembira ya, karena udah kelar kuliah? Justru itu bre, yang membuat perasaan
campur aduk begini. Yaa, bagi orang-orang yang udah pernah merasakan kehidupan
semester akhir pastilah paham betul seperti apa rasanya, apalagi sempet sadar
bahwa ada sesuatu yang belum ditunaikan. Ya ya ya. Makanya, yang masih pada
kuliah, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya!
Gw
masih berdoa, semoga gw semakin sering dipertemukan dengan puisi, dalam bentuk
apapun. Aamiin.