21.7.13

Ngaji Jazz ala Cut Meutia

Kapan sih kali terakhir kita buka Al-Qur’an? Kalau buka twitter? Lebih sering mana ya kira-kira? Monggo dijawab sendiri ya. Nah, sayangnya di sini saya tidak akan membahas lebih lanjut tentang hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah). Sentil-sentil dikit boleh lah :p

Mungkin kalau ngaji Qur’an, Juz’amma, atau Iqra, sudah terlampau biasa. Bahkan sejak ‘kita sadar bahwa kita hidup’, setidaknya kita pernah menyentuhnya. Berbeda lagi dengan Remaja Islam Masjid Cut Meutia (RICMA), mereka memberikan suguhan ngaji dalam kemasan yang unik pada 19-20 Juli 2013 lalu. Terkesan sangat muda, segar, juga—mungkin—baru. Ya, dua hari berturut-turut, masyarakat sekitar diajak ngaji bersama di Masjid Cut Meutia. Tentunya, acara ngaji ini dilaksanakan setelah melakukan salat Isya dan Tarawih berjamaah.

Panggung megah ditata sedemikian rupa menghadap kiblat, tepat di selasar mesjid—sengaja biar malam tak terasa pekat. Sajadah pun telah siap digelar menjadi beberapa saf, khusus untuk partisipan yang ingin khusyuk bersenandung ayat. Ngaji kali ini bukan atas nama agama, melainkan atas nama umat, itu lebih tepat. Karena, begitulah seharusnya Indonesia—berbudaya.

Sebut saja Shadu Rasjidi Band, pembuka manis penuh doa. Dua lagu andalannya: Bedug dan Bersandar Dalam Dzikir, mengajak semesta menengadah mengharap berkah. Lewat alunan Low Sax, juga petikan Bass Shadu, menambah kesyahduan malam duabelas Ramadan. Shadu, putra Idang Rasjidi yang pada tubuhnya mengalir darah seni, juga pada Jazz-lah dia mulai berdzikir. Dengan baju koko hitam; berkalung tasbih; caranya memetik Bass; juga ekspresi Shadu selama ngaji beberapa lagu, tak dimungkiri dapat membuat kaum hawa sesak napas, lemah lunglai mendadak, juga—agaknya mungkin—zina mata. Hahaha. Astaghfirullaahal’adziim.
Shadu Rasjidi Band
Selanjutnya, ada Pretty Lotion ‘jejingkrakan’ di panggung, mereka juga ikut ngaji. Namanya terdengar girly, tapi ternyata para kaum adam ini justru pecicilan. Jazz semi-Reggae; dandanan mentereng; ditambah aksi atraktif beberapa personelnya, membuat kepala dan bahu sebagian besar penonton tak sadar ikut berdendang. Alternatif musik macam inilah yang justru memperkaya khazanah musik Indonesia. Jebolan SAE Jakarta ini memang nggak ada matinya. Aransemen lagu-lagu yang mereka bawakan terasa berbeda: baru dan kreatif. Mixing tone inilah yang jadi senjata utama, mengapa bisa se-eargasm itu selama tampil.
Pretty Lotion
Btw, adakah yang pernah Jatuh Cinta Sewindu demi Teman Hidup dalam Diorama? Salut kalau ada yang pernah mengalaminya. Saya rasa sih baru Tulus aja yang sanggup, bahkan implikasinya sampai jadi lagu. Satu lagi, bassist Sindhu Banyusekti juga sepanggung dengan Tulus. Akhirnya ya, Dha, liat langsung Sindhu itu bentuknya kayak apa. Selama ini cuma bisa follow soundcloudnya. Hahaha. Berkah Ramadan mana lagi yang akan kau dustakan, Dha? Mulai dari Februari lalu, gaung konser Tulus di Bandung sudah tercium. Niat menyambangi pun dipupuk hari demi hari. Hingga akhirnya terdengar kabar, konser sempat ditunda berkali-kali. Pasrah. Mei lalu saat Tulus konser, nyatanya saya tetap belum berjodoh. Yasudah. Toh, kemarin dihadiahi secara langsung di halaman Cut Meutia. Alhamdulillah. Intinya, setiap manusia butuh Teman Hidup, tanpa harus Sewindu Jatuh Cinta dalam Diorama. “Kau jiwa yang slalu aku pujaaaaa..” adalah rangkaian paling klimaks atas lirik-liriknya.
Tulus dan Sindhu Banyusekti
Serunya di acara Ngaji Jazz malam itu adalah kehadiran Joey Alexander. Bocah 10 tahun yang meraih 1st International Festival—sebuah kontes Jazz di Ukraina—juga tak kalah fasih ngajinya dengan senior-senior sekelas Barry Likumahuwa, Sandy Winarta, dan Bass G. Mereka berkomunikasi lewat nada dengan alatnya masing-masing. Petikan gitar Barry, permainan ritme Sandy, alunan Saxophone Bass G, sangat kawin dengan bunyi-bunyian dari tuts keyboard Joey. Ketiganya kelihatan asyik ngobrol di panggung. Aura kental Jazz-nya terasa sampai penonton lesehan—lha wong saya aja serasa sampai pengin nyaut obrolan mereka. Meskipun Joey baru ten years old, dia main bak diva yang sudah banyak makan asam garam—sangat tahu bagaimana harus memperlakukan detil jari di atas tuts. Bukan lagi ranah teknis, melainkan rasa; nyawa; ruh. Panggung jadi lebih hidup di tangan keempat musisi ini.
Joey, Barry, Sandy, dan Bass G.
Eits, ngaji belum berakhir. Masih panjang ayatnya, pemirsa.
Anyway, karena acara Ramadhan Jazz Festival jauh dari kata membosankan, saya sampai lupa, siapa aja yang akan tampil mengguncang panggung di sesi berikutnya. Setelah kuis selesai, tiba-tiba saja MC mempersilakan seorang musisi sekaliber Dwiki Dharmawan untuk memberi suguhan apiknya. Tak lupa, Dika Chasmala, violis berkacamata-berkoko putih tulang ini jangan ditanya lagi skillnya. Walaupun Om Dwiki terlihat kurang sehat, permainannya tetap memuaskan. Salut. Berbagai tipe lagu ia mainkan bersama dengan Shadu, Sandy, juga Dika. Selamat datang eargasm lanjutan! Hujan sama sekali bukan penghalang bagi penonton, kami tetap enjoy dengan payung kami masing-masing. Anggap saja sebagai penambah keberkahan. Allahumma shayyiban naafi’an.

Dika Chasmala
Dwiki Dharmawan dan Shadu Rasjidi
Kemudian, yang saya tunggu kehadirannya: Bertha. Ya, Mbak Bertha, pelatih vokal yang disebut-sebut sebagai coach Agnez Monica ini bakal nyanyi. Tadinya nggak kebayang akan seperti apa. Beruntungnya, saya berdiri dekat panggung, persis paling depan. Begitu beliau nyanyi, aaaaaaaah, salam hormat saya untuk Mbak Bertha. Sejak AFI musim pertama, saya ngefans, Mbak. Bahkan, saya suka ikut-ikutan pemanasan, kalau Mbak Bertha lagi mendampingi anak-anak AFI latihan vokal. Hihihi. Selain itu, set pemanasan vokalnya pun dulu saya jadikan patokan di ekskul paduan suara sekolah. Nah, Mbak Bertha nggak sendirian kali itu. Dia ditemani Bintang Indrianto dan Joel Ahmad. Siapa mereka? Googling aja deh ya, hahaha. Mereka musisi juga kok. Yang harus digarisbawahi, ketiganya memang tak lagi muda, tapi semangatnya juara! Ini yang saya suka, menginspirasi yang muda.
Bertha, Bintang, Joel
Jarum jam telah menunjuk angka 12. Beberapa detik lagi ganti hari. Selama itu ya ngajinya? Iya. Saya sih sebenernya kuat-kuat aja sampai makan sahur. Biar sekalian ada sesi Qiyamullail juga lah. Namun, demi kemaslahatan umat, acara kemungkinan akan berakhir beberapa menit lagi. Ah! Untungnya, pengisi panggung berikutnya adalah BLP (Barry Likumahuwa Project). Belum ke atas pentas, penontonnya udah teriak-teriak aja—terutama kaum hawa. Saya tetap kokoh berjaga di garda depan dengan rekan saya—Uswah Chibibah—dekat garis merah pembatas panggung. Menyiapkan tenaga dan mental menikmati penampilan yang paling ditunggu-tunggu oleh kebanyakan orang. Satu per satu mulai muncul. Drummer, guitarist, bassist, saxophonist, keyboardist, dan yang terakhir vocalist. Ada dua vocalist pria. Rasa-rasanya ada salah satu vocalist yang entah mengapa wajahnya familiar buat saya. Ah, tapi, mungkin mirip, pikir saya. Begitu dengar suaranya, hadeuh, ini makin familiar deh. Tapi entah. Belum bisa ditebak juga.

Barry Likumahuwa Project (BLP)
BLP membawakan banyak lagu. Lebih banyak dari band-band sebelumnya. Salah satu kejadian yang paling saya ingat adalah ketika Barry mengajak penonton bergoyang, joged koplo ala pantura. Hahaha. Hampir semua personel ambil alih, adu joged paling pulen. Nah, terpulen-koplo-pantura adalah si vocalist—yang baru diketahui identitasnya beberapa menit setelahnya, bernama Teddy, salah satu personel boyzIIboys—BLP. Masya Allah, itu goyangnya macem nggak inget kalau doi lagi bawain lagu jazz. Sebelas duabelas lah goyangannya sama Meggy Z. Di sisi lain, ada juga pemain Saxophone yang mungkin masih malu-malu atau nggak mau goyang pulen laiknya Teddy, Barry, juga yang lain. Deuh, musisi-musisi ini ya, kalau udah nemu kehidupan di atas panggung, dunia serasa milik mereka, yang nonton cuma ngontrak. Mau dong jadi bagian dari panggungmu, a :’))) *rayuan ala pantura*

Teddy (yang jogednya paling pulen)
Dan, yang makin membuat zina mata adalah kehadiran pria-pria berkoko antimainstream yang kalau lagi main alat musik atau lagi nyanyi, dunia seakan luluh lantak. Lemes aku, Mas, lemes ndelok sampeyan :’| ora nguati esemmu, Mas. Tulung, dikei cap MUI wae Mas, ben halalan thayyiban. (*Geblek lo, Dha!)

Capek. Tapi seneng. Energi terkuras habis, saking nikmatnya jadi penonton yang bisa sangat enjoy dengan penampilan mereka. Puas banget karena berkesempatan ngambil gambar dari dekat lewat kamera HP yang hanya 2MP. Dududu, hidup penuh liku-liku. Doakan saja, Ramadhan Jazz Festival 2014, saya sudah menggenggam kamera impian. Aaamiiin.

Akhirul kata, siapa yang berniat ikut ngaji ke Ramadhan Jazz Festival tahun depan? Adakah yang terbrainwash? Hahaha. Anyway, panjang juga ya ternyata saya nulisnya. Pantes, capek :’|

20.7.13

Demi Waisak (3): The Lost Pija and The End of Lampion

Berhubung saya sudah telanjur berjanji akan menyelesaikan cerita Waisak, maka mari kita lanjutkan! Pertama, tulisan ini didedikasikan untuk Della—yang udah ngadu ke Pija. Nice! Kedua, tentunya untuk pembaca setia tercinta (*emang ada gitu yang setia ama lo, Dha?)

The Lost Pija.
Waktu itu saya nggak punya pulsa. Jadi begini, meskipun saya tukang pulsa, dan ada saldo, saya tetep nggak akan bisa isi ulang pulsa karena HP saya nggak ada pulsa. Bingung bingung deh lu! Miris. Akhirnya, saya berusaha minta tolong seseorang untuk ngisi pulsa. Alhamdulillah, sampai juga pulsanya. Lho katanya sinyal lagi ilang-ilangan malam itu? Iya, kan ilang-ilangan, bukan ilang betulan. Kadang ilang, kadang muncul. Sinyal galau judulnya. Kelamaan digantung soalnya. (*tratakdungces)

Panik, Pija nyasar. Iya, kalau Della yang nyasar sih, ditinggal pulang ke Jakarta juga kemungkinan besar doi baik-baik aja. Akhirnya, sembari nadah rintik hujan yang turun, jempol saya pun mulai beraksi. Mulai dari kirim pesan singkat, pesan panjang, hingga pesan-pesan yang tak selesai. Haiah. Bagi-bagi tugas sama Della. Gantian telepon Pija. Siapa beruntung, dia tersambung. Mirisnya, di sambungan pertama, Pija terdengar superpanik. Kayaknya sih udah mewek tuh anak. Berusaha nenangin lewat telepon, bahkan saya ngasih instruksi ‘tarik napas—buang napas—tarik lagi, tenang Ja, tenang. Everything will be OK’ begitu seterusnya. Sampai pada akhirnya, di tengah-tengah percakapan antara saya dan Pija yang belum selesai, sinyal ilang kembali. Mati lah ini!

Beruntung, rombongan dengan setia rela menunda masuk lebih dulu, demi menunggu sang Pija datang. Baguslah. Setidaknya, hal ini mengurangi keriweuhan. Pencet sana-pencet sini, calling terus sampai mampus, masih berlanjut sampai akhirnya tersambung kembali. Ah, terima kasih semesta! Suatu percakapan pun terjadi:
“Ja, di sekitar lo ada apa aja ciri-cirinya?”
“Gw nggak tau, gw di mana. Gelap. Sepi.”
“Coba sekarang lo liat sekitar, ada orang apa nggak, abis itu tanya aja, jalan menuju pintu utama. Polisi atau orang berbaju kuning nggak ada, Ja?”
“Nggak tau, pokoknya di sini gelap, sepi. Gw nggak tau ini di mana.”
“Ada orang nggak di deket lo?”
“Ada sih, tapi gw nggak kenal.”
(dung tak ting ting cecessss! Mau ketawa, tapi anaknya lagi ilang. Mau diem aja, tapi agak lucu, hihihi)
“Nah, tanya Ja. Minta dianterin kalo perlu. Serius deh, nggak papa. Percaya! Di sini masih pada nungguin lo kok.”
“…………………(tut tut tut)”

Yasalam, mati. Coba ditelepon lagi berkali-kali, tapi susah. Satu-satunya cara ya, berdoa. Semoga Pija selamet, dan ada keajaiban yang membawa doi ke pintu utama. Aamiin. Pasrah. Tak berapa lama, tiba-tiba ada bocah kaos belang item putih melipir di samping barisan orang antre dekat pintu masuk utama. Daaaaan, itu Pija! Haaaaaah. Jamblang! Akhirnya ketemu juga ini bocah. Syukurlah. Tapi tetep mewek dulu, meskipun udah ketemu. Hahaha. Cup cup!

The End of Lampion.
Kami (rombongan) langsung ambil posisi antrean untuk masuk ke Candi Borobudur. Beuh, jangan tanya ramai atau nggak. Mirip kereta pas jam-jam berangkat/pulang kerja lah. Bedanya, lebih tertib aja. Sebelum masuk ke kawasan Candi Borobudur, kami masih harus melewati pintu ajaib tempat metal detector berada. Setelah itu, baru jalan kaki menuju lingkar Candi Borobudur. Gelap. Gerimis. Baju-celana semibasah, sandal/sepatu cukup kuyup. Lengkap sudah cobaan kami. Fuh. Sebenarnya kami pun tidak tahu menahu ihwal ‘akan ke mana sih kita?’ masuk ke dalam Candinya, atau gimana? Saya-Della-Pija sih makmum aja. Ke mana rombongan mengarah, ke situ kami melangkah. Daripada ilang lagi, ye nggak?

Tibalah kami di sebuah tenda kawinan (red.) yang cukup luas, beralaskan karpet merah. Karena gerimis semakin deras, kami pun memilih duduk dan istirahat di dalam naungan tenda. Untung bukan tenda biru, nanti ada Desy Ratnasari kan gawat. Sejujurnya, kami (bertiga) tak pernah tahu, sedang apa kami di situ, untuk siapa, dan dengan tujuan apa kami ke situ. Mau melihat ‘Lebaran’ umat Budha-kah? Sekadar berfoto malam hari di Borobudur, ataukah ingin menerbangkan lampion—yang bertuliskan doa juga harapan? Meneketehe. Eh, tapi kalau saya pribadi sih sebenarnya murni ingin sekadar menerbangkan lampion secara langsung. Iya, megang lampion bareng temen-temen, sambil berdoa, penuh harap. Sama sekali tak ada pikiran untuk menengok ritual/upacara Waisak-nya. Apalagi dalam kondisi yang sangat ramai seperti itu—lebih tepat disebut chaos mungkin. Chaos dalam artian ‘jadi nasib kita di sini tuh gimana sih?’ semacam butuh rundown jelas, biar punya gambaran.

Menunggu sembari tiduran, duduk, tidur lagi, duduk lagi, berdiri. Capek. Membosankan. Ditambah sinyal kacrut, melengkapi kejenuhan kami yang sama sekali tak ada hiburan karena tak bisa internetan. Hahaha. Anak era teknologi! Wajar. Untuk sekadar ngobrol dengan rekan sebelah pun rasanya enggan. Macem perempuan yang lagi PMS—agak nggak enak ngapa-ngapain. Saya pribadi ingin sekali segera pulang, nempel kasur. Oooooh! Kasur mana kasur? :’)

Hingga pukul 22.30, kami masih menunggu. Namun, penantian kali ini menyakitkan. Lampion batal terbang karena masih hujan. Keadaan memang tak bisa dipaksakan. Apa boleh buat. MARKIPUUUL! Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai beranjak keluar dari tenda, kembali ke peraduan masing-masing yang menurut mereka nyaman. Kami pun demikian. Pulang. Bedanya, kami (ternyata) masih harus menunggu mobil datang. Euleuh euleuh.. kumaha iyeu teh? Biasa, miskom. Apa? Baskom? Miskom, jamblang! Bapak supir dan koordinator kurang kompak. Ujung-ujungnya apa pemirsa? Kami ngojek lagi. Masya Allah! Duit maning, duit maning. Ampun DJ!

Cobaan malam yang serba ‘ada-ada aja’ macamnya. Kesel, capek, pegel, mau marah percuma—nggak ada guna, tapi masih mangkel di hati. Deuh. Hidup ini terasa indah ya apabila ada perkara, juga prahara! Haha. 

Hadiah Ulang Tahun Ke-23

31 Mei 2013,
Tepat 23 tahun sudah saya (mungkin) merepotkan negara, nebeng hidup di dunia.
Biasanya, setiap saya ulang tahun, selalu saja ada kejutan.
Berupa barang, peristiwa-peristiwa tak terduga, sampai mimpi yang jadi realita.

Waktu itu, saya ngidam ‘hadiah’. Dari siapa pun, apa pun.
Saya rindu dihadiahi buku, Al-Qur’an, dan lainnya.
Saya mau seperti dulu—yang meskipun tak tepat di hari H ulang tahun, saya selalu dapat sesuatu.

Daaaaan, saya akhirnya pasrah. Cuma berdoa pada Allah SWT semoga saya dikasih kelapangan hati dan pikiran. Sadar bahwa ‘hadiah’ bisa datang dari mana saja, tak perlu diharapkan. Namun, di sela-sela gathering bosses EB bulan Juni di Harvest Café Depok, saya dihadiahi ini:

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaah, meleleh.
Kangen buku, dikasih buku.
Alhamdulillah, dan terima kasih kawan-kawan EB.

:’)

19.7.13

Membaca Sajak Haikuya dalam Bahasa Tegal

Selasa lalu, akhirnya saya baca puisi lagi di depan publik. Rasanya sudah lama tidak menyentuh zona ini. Zaman saya masih SMP, SMA, saya cukup rajin ikut lomba baca puisi. Kalah? Sering. Buat saya, menang hanya ‘sekadar penenang’, juga pembuktian bahwa (mungkin) kita lebih baik dari peserta lain—itu pun menurut para juri, subjektif.

Ceritanya, salah satu dosen saya, 16 Juli kemarin meluncurkan tujuh buah karyanya—berupa kumpulan puisi, prosamini, dsb.—di Auditorium Gedung IX, FIB UI. Sebelumnya, beliau memang tidak meminta saya untuk membacakan puisinya. Namun, pagi itu, alias hari H, saya iseng buka facebook. Ternyata ada pesan dari beliau. Isinya kurang lebih berupa penawaran, maukah saya membacakan sajak-sajak pendeknya dalam bahasa Tegal? Kaget. Ya, pertama karena saya tipikal manusia yang panikan. Kedua, mengubah puisi berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Tegal bukanlah hal mudah. Mencari kosakata pengganti, bukan sekadar menerjemahkan setiap kata secara mentah-mentah, kemudian beres. Tidak sama sekali. Ketiga, saya kurang yakin untuk membaca puisi karena sudah lama ‘break’. Ditambah lagi, saya belum pernah membacakan puisi dalam bahasa Tegal seumur hidup saya—pun ketika saya masih tinggal di Tegal. Kata salah satu teman saya: mahzabnya berbeda.

Well, sebagai seorang pembaca puisi, saya merasa tertantang untuk mencoba dan menaklukkan puisi tersebut. Selain itu, jujur, saya rindu. Sangat rindu. Saya pernah hidup bersama puisi dulu. Dan, itu manis. Pastinya hasrat untuk mengulang perasaan puas dan lega setelah membaca puisi, ingin saya kembalikan lagi. Mumpung ada kesempatan. Kita tak pernah tahu, kapan tiba waktunya kita tidak punya kesempatan kan? Maka dari itu, saya langsung mengiyakan tawaran beliau. Sudahlah, nekat saja.

Saya langsung berpikir keras untuk menghubungi rekan yang kira-kira bisa membantu saya menerjemahkan sajak-sajak tersebut ke dalam bahasa Tegal. Juga—paling penting adalah—menyiapkan mental ‘tempe’ saya. Semoga saya siap, dalam hati. Latihan seadanya, secukupnya, kemudian berdoa. Mungkin terdengar berlebihan, padahal ini bukan lomba. Saya khawatir kalau penampilan saya kurang maksimal nantinya; mengecewakan pendengar; atau shit happened yang bisa saja terjadi nanti.

Namun, kembali lagi pada sugesti dan kemauan diri sendiri. YES or NO. Demam panggung? Pastinya. Tegang. Padahal hanya membaca sajak pendek, sekitar lima menit. Tidak lama. Beginilah si poetry reader yang demam panggung. Apalagi, waktu itu para pembaca karya beliau (dosen saya), sebagian besar adalah orang teater. Mulai dari dosen, mahasiswa, juga alumni, turut andil membaca sajak—dengan gaya masing-masing yang memesona. Kadang jadi ingin menertawakan diri sendiri, kok ya secemen itu sih sama panggung!

Tak berapa lama kemudian, bersyukur. Akhirnya tuntas juga membacakan sajak-sajak Haikuya dalam bahasa Tegal dengan lancar. Tegang sebenernya saat pendengar makin lama makin hening selama saya tampil di panggung. Semua berkat atensi yang luar biasa dari para pendengar, juga apresiasinya kepada saya—dan pembaca lainnya. Terima kasih juga untuk Mas Iben yang sudah memberikan saya kesempatan untuk menyentuh zona puisi lagi. Semoga karya-karya Mas Iben dapat dinikmati dan menginspirasi :’)

Oh iya, berikut saya lampirkan sajak Haikuya yang sudah diubah ke dalam bahasa Tegal:

Haikuya #17
suara jangkring 

tesih demen gemresik 
nang tivi

Haikuya #24
gonjang-ganjinge jagad 

gumun 
saklirihe donga

Haikuya #32
swara udan 

nentremna ati 
mangsa sirep

Haikuya #33
bengi pating klethis
orkes nang godongan
krasa adem nang ati

Haikuya #35
janur wis dipasang 
undangan wis diaturi 
pengantene endi?

Membaca Diri Lewat Personality Test

Beberapa hari lalu, nggak sengaja liat hasil personality test di status Andhika. Karena ada di homepage facebook, mau nggak mau kepancing buat baca. Awalnya kepikiran “ah, paling personality test yang kayak biasanya itu.” Tapi, lama-lama kok ya diklik juga. Hahaha.

Sebelum liat halaman tesnya, sempet nebak sih bakal seperti apa bentuk tes dan segala pertanyaannya. Uniknya, pertanyaan dan hasil tes sama sekali nggak ada sangkut pautnya. Pertanyaannya apa, hasil analisis tesnya apa. Nah, setelah dibaca hasilnya, agak mendekati benar dengan kepribadian dan kebiasaan saya. Makanya, pas baca hasil dari personality test, senyam-senyum terus. Merasa ‘membaca’ diri sendiri. Lucu aja.

Your view on yourself:
You are down-to-earth and people like you because you are so straightforward. You are an efficient problem solver because you will listen to both sides of an argument before making a decision that usually appeals to both parties.
The type of girlfriend/boyfriend you are looking for:
You are not looking merely for a girl/boyfriend - you are looking for your life partner. Perhaps you should be more open-minded about who you spend time with. The person you are looking for might hide their charm under their exterior.
Your readiness to commit to a relationship:
You are ready to commit as soon as you meet the right person. And you believe you will pretty much know as soon as you might that person.
The seriousness of your love:
You like to flirt and behave seductively. The opposite sex finds this very attractive, and that's why you'll always have admirers hanging off your arms. But how serious are you about choosing someone to be in a relationship with?
Your views on education
Education is very important in life. You want to study hard and learn as much as you can.
The right job for you:
You're a practical person and will choose a secure job with a steady income. Knowing what you like to do is important. Find a regular job doing just that and you'll be set for life.
How do you view success:
You are confident that you will be successful in your chosen career and nothing will stop you from trying.
What are you most afraid of:
You are afraid of having no one to rely on in times of trouble. You don't ever want to be unable to take care of yourself. Independence is important to you.
Who is your true self:
You are full of energy and confidence. You are unpredictable, with moods changing as quickly as an ocean. You might occasionally be calm and still, but never for long.

Bahkan, saya berencana menyimpan hasil tes ini dalam waktu yang lama. Bila perlu, dicetak, trus ditempel di tembok kamar dalam waktu yang lama. Bila perlu, dicetak, trus ditempel di tembok kamar. Biar selalu inget dengan karakter diri. Kalau ada yang mau mencoba, monggo. Personality Test.

Second Day Sweetvalentrain Bandung

Rasa-rasanya memang basi banget sih, tulisan ini baru dibuat sekarang. Biar nggak basi, angetin dulu aja! Begini, tulisan ini dilanjutkan semata-mata karena dulu saya pernah dapet tiket kereta promo Jakarta-Bandung. Jadi, seperti merasa punya kewajiban untuk berbagi. Untuk First Day Sweetvalentrain Bandung, bisa dibaca di sini.

Hari kedua.
Saya dan Donat (nama bocah umur 16 tahun)—rekan liburan—sudah merencanakan destinasi yang akan kami kunjungi seharian. Pagi itu kami berangkat lebih awal karena motor sewaan sudah ditangan. Pukul 8 pagi, saya dan Donat siap melanglang buana. Tujuan pertama, ke Punclut. Berbekal peta—yang didapat dari google, dan ternyata petanya kepotong—kami berpatokan dengan nama-nama jalan yang ada. Intinya, tiba-tiba aja kami sampai di Jalan Setiabudhi. Untung masih pagi, jadi jalanan belum terlalu macet layaknya akhir pekan. Gawatnya, meskipun dulu saya pernah ke Punclut bareng Rezha-Ige-Rendy, plus temen-temen MBWG, dini hari, sekitar pukul setengah 1, saya lupa jalan menuju Punclut itu ke mana. Okelah, memang sih ya, kalau nggak nyetir dan pergi sendirian mah kadang nggak perhatian ke rute. Tinggal duduk manis, tunggu aja, nanti juga sampai di tempat tujuan. “perasaan waktu aku ke Punclut, deket kok. Nggak ada setengah jam, Nat.” nah, tapi kenapa ini jauh banget. Nanjaknya nggak kelar-kelar. Eeeeeh, tibalah kami di Lembang. Hahaha. Random abis. Sempet beberapa kali nanya ke orang di jalan, mereka cuma bilang “masih lurus terus, naik.” Ya kami percaya aja.

Hingga akhirnya kami sampai di Punclut tepat pukul 9.30 pagi. Huwaaaa! Mampir sejenak di warung kecil, pesen pisang bakar coklat keju plus kopi panas. Dan, yang paling wow adalah pemandangan belakang warung yang aduhai. Tak mau menyia-nyiakan keadaan, kami langsung jeprat-jepret. Punclut supersejuk. Lengkap sudah nikmat hari kedua pagi itu.
pemandangan belakang warung
itu dia warung kecil, tempat kami singgah
Donat, pisang bakar coklat keju dan kopi panas
Setelahnya, kami turun ke arah Ciumbeuleuit. Gila ya, baru sadar. Kami muterin Bandung ternyata. Sadis! Salut buat Donat—bocah tanpa SIM KTP yang nyetir motor sewaan dan ngeboncengin seniornya. Hahaha. Lanjut ke destinasi berikutnya: Selasar Sunaryo Art Space (SSAS). Lokasinya di Jalan Bukit Pakar Timur – Dago Atas. Kami meluncur ke TKP. Kadang kebablasan, kadang puter balik. Begitulah seninya mencari alamat. Untungnya bukan alamat palsu ye! Agak susah menemukan tempat ini, karena lokasinya di daerah yang cukup tenang, sepi, lepas dari keramaian kota.

Begitu ketemu, aaaaaaaaah! Lega. Seneng banget. Bangga. Akhirnya kesampean juga ke SSAS. Cukup sepi, mungkin karena masih siang. Biasanya tempat-tempat seni ramai dikunjungi sore/malam hari, atau saat ada acara diskusi/pameran. Memang sih ada pameran lukisan di ruang utama, tapi kebetulan waktu itu cuma kami berdua pengunjungnya. Hahaha. Sayangnya lagi, nggak boleh foto-foto di dalam ruang utama/mengambil gambar lukisan/karya-karyanya. Baiklah.
dinding selamat datang SSAS
Tata ruang utama di sana cukup seru. Desain modern minimalis, juga kaca-kaca yang dibuat seperti tembok, menarik. Saya paling suka suasananya: tenang. Pun setelah saya keluar dari ruang utama, menjelajah ruang-ruang lain. Nah, tak perlu khawatir untuk masalah foto. Kita bisa mengambil gambar sepuasnya di luar ruang utama. Justru menurut saya lebih unik. Ada Bale Handap (pendopo untuk diskusi), Bale Tonggoh, Amphiteater (biasanya untuk pertunjukan), juga kedai Kopi Ireng dan ruang cinderamata. Angkat topi lah untuk rancangan arsitekturnya.

halaman depan Bale Handap
sisi kanan Bale Handap
sisi kanan Bale Handap
tangga selasar Bale Handap
ruang sebelum ke Bale Handap
Bale Handap
Amphiteater
panggung Amphiteater
Amphiteater dilihat dari tangga paling atas
halaman depan ruang cinderamata
ruang cinderamata
halaman depan SSAS
halaman depan SSAS/Kopi Ireng
halaman belakang SSAS
dibalik dinding ini ada mushola
Bale Tonggoh

Jam menunjukkan pukul 12.45, perut serasa dikoyak-koyak snare drum. Hahaha. Karena kami memang sudah punya list, tempat makan mana saja yang wajib dicoba, maka kami memutuskan makan siang di Doci Ramen (Jalan Dipatiukur), seberang Cititrans. Siang-siang, panas, suguhannya mi ramen pedas. Komplet! Btw, Sabtu malamnya, kami sempat kemari, tapi waiting list alias nunggu karena tempatnya super-ramai. Daripada kami mati penasaran pas malam gagal, siang pun jadi.

Anyway, saya juga janjian dengan temen SMA: Gilang dan Hudi. Ketemu di Doci Ramen juga. Demi nunggu mereka dateng, kami rela berlama-lama disiksa pedas. Bahkan, sampai nambah minum beberapa gelas. Fuh! Nah, setelah mereka berdua datang, diputuskanlah ke Gelap Nyawang demi tempat kongkow yang lebih cozy. Agak deg-deg ser gimana gitu. Tak usah dibahas :p

Di Gelap Nyawang, Gilang dan Hudi makan siang, kami cuma bisa nonton karena masih superkenyang. Padahal pengin banget nyoba Kare Kambing (bener nggak ya, lupa!). Nah, sebenernya Sabtu malam—setelah tahu Doci Ramen penuh—saya dan Donat berencana makan di Gelap Nyawang, tapi nggak nemu karena gelap. Err. Klise. Ngobrol ke sana kemari, sampai pada akhirnya memutuskan untuk pergi ke BIP. Ah, padahal kan dari awal saya dan Donat mengikrarkan janji bahwa kami dilarang keras pergi ke mall. Tapi yasudahlah, karena destinasi utama sudah terlaksana semua, luluh juga diiming-imingi mall :p

Sampai BIP, mainnya timezone. Hah! Kami main apa sodara-sodara? DDR. As usual. Setelah keringetan jingkrak-jingkrak, mampirlah kami ke KFC. Mainstream oh mainstream. Nggak masalah sih selama di mall ada yang nanggung biaya administrasinya, hahaha. Thanks Gil, Hud. Terakhir, mampir ke toko mainan dan Kartika Sari. Tuntas sudah perjalanan hari kedua saya dan Donat :')) sebenernya ada beberapa peristiwa deg-deg ser yang terjadi sih, tapi rahasia. Hahaha.

17.7.13

Demi Waisak (2)

Hari pertama. Destinasi pagi ini adalah Pantai Ngobaran dan Ngreyahan. Kami bertiga udah ready sejak pukul 7.30. maklum, didikan marching band. Namun, apa daya. Orang-orang masih ada yang belum mandi, belum makan, belum lalalili. Errr.. malam sebelumnya, saya dan Vieza membaptis Della sebagai Komlat selama Trip Waisak. Jadi, tugas Della adalah berkomunikasi dengan si Mbak Trip Waisak, tanya jadwal, dan lain-lain. Hahaha. Thanks Kodel ;)

Karena ada sekitar 18an orang, jadilah kami berangkat pukul 9.00, menuju Gudeg Yu Djum. Apa? Makan? Ya, makan lagi. Padahal udah pada sarapan di homestay tadi. Memang sih, sarapannya roti, teh, kopi. Oh, mungkin mereka menganggap itu semua adalah kudapan. Oke. Meskipun saya orang Jawa, sebenarnya saya pribadi tidak terlalu suka Gudeg—apalagi lama nggak makan nasi. Akhirnya saya cuma pesen es jeruk. Gudeg Yu Djum ini termasuk mahal, sekitar Rp15.000—Rp25.000/porsi. Untuk ukuran Jogja, harusnya bisa sangat murah. Sekali-kali nggak apa sih ke Resto Gudeg, biar bisa membandingkan rasanya.
Gudeg Yu Djum (tapi nggak ada wujud Gudegnya, hahaha)
Setelah urusan bayar-membayar kelar, kami langsung cabut ke destinasi awal. Kira-kira pukul 10.20 baru jalan—karena ada suatu hal (shit happened). Dalam hati, “mantai kok ya siang-siang begini”. Ajaibnya, sampai di Pantai Ngobaran-Ngreyahan, kami kepanasan (ya iyalah). Jarum jam aja udah mampir ke angka 12, gimana nggak panas?! Kesan pertama sampai sana: onde mande, ramainyoooo! Ya karena memang sedang musim liburan sih. Anyway, ‘musim liburan’ ini saudara sepersusuan dengan ‘musim kawin’. Jayus! Baiklah, lanjut. Hmm, pasir di sana bukan putih, bukan pula hitam, melainkan coklat muda agak putihan. Selain itu, pantai ini juga seru tempatnya karena ada candi-candi dan patung kecil, plus relief bebatuan yang sangar. Bahkan, saya sendiri sempet ngrasa seperti bukan di Jogja, tapi di Uluwatu. Mirip, suasananya; tempatnya.
(lupa, ini namanya patung apa, hahaha)
Yap, apalagi selain menghirup udara pantai dan mendengarkan desir ombak. Aih. Siang-siang, tapi tetep semilir. Kami pun tak lupa jeprat-jepret meninggalkan jejak dan bukti bahwa kami pernah di sini (I was here), asal nulis kalimatnya bukan di tembok/tempat yang mengganggu alam dan semesta sih nggak apa. Walaupun kita bukan anggota pecinta alam, kita wajib mencintai alam. Kok gitu? Ya, karena alam juga telah memberi kita kehidupan sampai detik ini. Mencintai adalah saling memberi. Hazeek! Setop!
Saya dan Vieza di salah satu sisi Pantai Ngobaran
Vieza dan bebatuan sangar
Bebatuan dan jernihnya air Pantai Ngobaran
Vieza, Idha, Della (nggak afdol kalau nggak foto bertiga)
Setelah agak capek, kami pun menyerbu kedai es kelapa muda. Duduk manis di atas gazebo kecil ditemani seruputan sejuknya air kelapa—iya, air kelapa karena buah kelapanya sedikit. Jajan-jajan bentar, lalu cabut lagi. Destinasi berikutnya: Candi Borobudur. Perkiraan waktu yang ditempuh, sekitar 3—4 jam perjalanan. Ditambah mampir makan siang dulu berarti 5 jam-an. Makjang! Bisa-bisa sampai sana malam. Jalan menuju Borobudur macet gila, plus hujan deras cukup lama. Yah, udah putus asa. Pasrah. Mau nantinya kebagian masuk atau nggak, terserahlah.

Tsakeup! Kami tiba di kompleks Borobudur pukul 18.30, belum muter-muter cari parkir dan membebaskan diri dari macet sepanjang pintu masuk. Pintu masuk Borobudur, bukan pintu masuk Candi Borobudur. Perjalanan masih panjang, bro! fuh. Btw, kami setengah jam berdiri di depan pintu keluar utama karena agen trip bingung dan lagi ribet. Hingga pada akhirnya diputuskan untuk ngojek ke pintu 7 alias pintu masuk utama. Haiyaaaah! Udah makmum, masbuk pula. Pasrah (lagi). Ada satu motor yang bertiga, ada juga yang berdua. Saya dan Della satu motor, Vieza satu motor. Nah, karena ada sekitar 5 atau 6 motor, dan abang ojeknya kurang kompak, jadi ada beberapa motor yang pisah. Lewat jalur masing-masing sesuai keyakinan abang ojek, hahaha. Ada yang lewat jalan raya, ada yang lewat gang kecil nan gelap, ada juga yang lewat rumah-rumah penduduk alias nyempil.

Setelah melewati rintangan jalan sepanjang Borobudur yang supermacet, saya dan Della pun tiba di depan pintu masuk utama. Persis di depannya. Cuma ya itu, kami kehilangan rekan-rekan. Sinyal hp juga ilang-ilangan. Susah menghubungi orang-orang. Saat itu, saya bertugas menguhubungi Monik (temen Trip Waisak), Della menghubungi Vieza. Keduanya nihil. Berharap ada keajaiban di antara antrean panjang super-riweuh demi berhasil masuk ke kawasan Candi Borobudur. Daaaaaan, ternyata di antara kerumunan itu ada rombongan trip. Alhamdulillah.

Nah, tapi ada satu yang justru masih (sangat) mengkhawatirkan: Vieza. Ke manakah anak satu ini? jangan-jangan nyasar ke Malaysia nih. Selama sinyal masih buruk, teknologi secanggih apa pun tidak bisa diharapkan memang. Cuma doa. Ya, doa. Hmm, selang berapa menit kemudian, hp saya getar-getar. Ada sms dari Vieza. Isinya: “Dha, gw nyasar T_T huhuhu..” kan, bener kan, nyasar ke Malaysia. Hahaha. Ada-ada aja nih The Lost Pija.

Yak, mulai bingung. Harus bagaimana ini? jawabannya, ada di tulisan selanjutnya. Hahaha.

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...