Berhubung saya sudah telanjur berjanji akan menyelesaikan cerita
Waisak, maka mari kita lanjutkan! Pertama, tulisan ini didedikasikan untuk
Della—yang udah ngadu ke Pija. Nice! Kedua, tentunya untuk pembaca setia
tercinta (*emang ada gitu yang setia ama
lo, Dha?)
The Lost Pija.
Waktu itu saya nggak punya pulsa. Jadi begini, meskipun saya tukang
pulsa, dan ada saldo, saya tetep nggak akan bisa isi ulang pulsa karena HP saya
nggak ada pulsa. Bingung bingung deh lu! Miris. Akhirnya, saya berusaha minta
tolong seseorang untuk ngisi pulsa. Alhamdulillah, sampai juga pulsanya. Lho katanya
sinyal lagi ilang-ilangan malam itu? Iya, kan ilang-ilangan, bukan ilang
betulan. Kadang ilang, kadang muncul. Sinyal galau judulnya. Kelamaan digantung
soalnya. (*tratakdungces)
Panik, Pija nyasar. Iya, kalau Della yang nyasar sih, ditinggal pulang
ke Jakarta juga kemungkinan besar doi baik-baik aja. Akhirnya, sembari nadah
rintik hujan yang turun, jempol saya pun mulai beraksi. Mulai dari kirim pesan
singkat, pesan panjang, hingga pesan-pesan yang tak selesai. Haiah. Bagi-bagi
tugas sama Della. Gantian telepon Pija. Siapa beruntung, dia tersambung. Mirisnya,
di sambungan pertama, Pija terdengar superpanik. Kayaknya sih udah mewek tuh anak. Berusaha nenangin lewat telepon,
bahkan saya ngasih instruksi ‘tarik napas—buang napas—tarik lagi, tenang Ja,
tenang. Everything will be OK’ begitu
seterusnya. Sampai pada akhirnya, di tengah-tengah percakapan antara saya dan
Pija yang belum selesai, sinyal ilang kembali. Mati lah ini!
Beruntung, rombongan dengan setia rela menunda masuk lebih dulu, demi
menunggu sang Pija datang. Baguslah. Setidaknya, hal ini mengurangi keriweuhan. Pencet sana-pencet sini, calling terus sampai mampus, masih
berlanjut sampai akhirnya tersambung kembali. Ah, terima kasih semesta! Suatu
percakapan pun terjadi:
“Ja, di sekitar lo ada apa aja ciri-cirinya?”
“Gw nggak tau, gw di mana. Gelap. Sepi.”
“Coba sekarang lo liat sekitar, ada orang apa nggak, abis itu tanya
aja, jalan menuju pintu utama. Polisi atau orang berbaju kuning nggak ada, Ja?”
“Nggak tau, pokoknya di sini gelap, sepi. Gw nggak tau ini di mana.”
“Ada orang nggak di deket lo?”
“Ada sih, tapi gw nggak kenal.”
(dung tak ting ting cecessss!
Mau ketawa, tapi anaknya lagi ilang. Mau diem aja, tapi agak lucu, hihihi)
“Nah, tanya Ja. Minta dianterin kalo perlu. Serius deh, nggak papa. Percaya!
Di sini masih pada nungguin lo kok.”
“…………………(tut tut tut)”
Yasalam, mati. Coba ditelepon lagi berkali-kali, tapi susah. Satu-satunya
cara ya, berdoa. Semoga Pija selamet, dan ada keajaiban yang membawa doi ke
pintu utama. Aamiin. Pasrah. Tak berapa lama, tiba-tiba ada bocah kaos belang
item putih melipir di samping barisan orang antre dekat pintu masuk utama. Daaaaan,
itu Pija! Haaaaaah. Jamblang! Akhirnya ketemu juga ini bocah. Syukurlah. Tapi tetep
mewek dulu, meskipun udah ketemu. Hahaha. Cup cup!
The End of Lampion.
Kami (rombongan) langsung ambil posisi antrean untuk masuk ke Candi
Borobudur. Beuh, jangan tanya ramai atau nggak. Mirip kereta pas jam-jam berangkat/pulang
kerja lah. Bedanya, lebih tertib aja. Sebelum masuk ke kawasan Candi Borobudur,
kami masih harus melewati pintu ajaib tempat metal detector berada. Setelah itu, baru jalan kaki menuju lingkar
Candi Borobudur. Gelap. Gerimis. Baju-celana semibasah, sandal/sepatu cukup
kuyup. Lengkap sudah cobaan kami. Fuh. Sebenarnya kami pun tidak tahu menahu
ihwal ‘akan ke mana sih kita?’ masuk ke dalam Candinya, atau gimana? Saya-Della-Pija
sih makmum aja. Ke mana rombongan mengarah, ke situ kami melangkah. Daripada ilang
lagi, ye nggak?
Tibalah kami di sebuah tenda kawinan (red.) yang cukup luas, beralaskan
karpet merah. Karena gerimis semakin deras, kami pun memilih duduk dan
istirahat di dalam naungan tenda. Untung bukan tenda biru, nanti ada Desy
Ratnasari kan gawat. Sejujurnya, kami (bertiga) tak pernah tahu, sedang apa
kami di situ, untuk siapa, dan dengan tujuan apa kami ke situ. Mau melihat ‘Lebaran’
umat Budha-kah? Sekadar berfoto malam hari di Borobudur, ataukah ingin
menerbangkan lampion—yang bertuliskan doa juga harapan? Meneketehe. Eh, tapi
kalau saya pribadi sih sebenarnya murni ingin sekadar menerbangkan lampion
secara langsung. Iya, megang lampion bareng temen-temen, sambil berdoa, penuh
harap. Sama sekali tak ada pikiran untuk menengok ritual/upacara Waisak-nya. Apalagi
dalam kondisi yang sangat ramai seperti itu—lebih tepat disebut chaos mungkin. Chaos dalam artian ‘jadi nasib kita di sini tuh gimana sih?’
semacam butuh rundown jelas, biar
punya gambaran.
Menunggu sembari tiduran, duduk, tidur lagi, duduk lagi, berdiri. Capek.
Membosankan. Ditambah sinyal kacrut, melengkapi kejenuhan kami yang sama sekali
tak ada hiburan karena tak bisa internetan. Hahaha. Anak era teknologi! Wajar. Untuk
sekadar ngobrol dengan rekan sebelah pun rasanya enggan. Macem perempuan yang
lagi PMS—agak nggak enak ngapa-ngapain. Saya pribadi ingin sekali segera
pulang, nempel kasur. Oooooh! Kasur mana kasur? :’)
Hingga pukul 22.30, kami masih menunggu. Namun, penantian kali ini
menyakitkan. Lampion batal terbang karena masih hujan. Keadaan memang tak bisa
dipaksakan. Apa boleh buat. MARKIPUUUL! Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai
beranjak keluar dari tenda, kembali ke peraduan masing-masing yang menurut
mereka nyaman. Kami pun demikian. Pulang. Bedanya, kami (ternyata) masih harus
menunggu mobil datang. Euleuh euleuh..
kumaha iyeu teh? Biasa, miskom. Apa? Baskom? Miskom, jamblang! Bapak supir
dan koordinator kurang kompak. Ujung-ujungnya apa pemirsa? Kami ngojek lagi. Masya
Allah! Duit maning, duit maning. Ampun
DJ!
Cobaan malam yang serba ‘ada-ada aja’ macamnya. Kesel, capek, pegel,
mau marah percuma—nggak ada guna, tapi masih mangkel di hati. Deuh. Hidup ini
terasa indah ya apabila ada perkara, juga prahara! Haha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar