Langsung ke konten utama

Demi Waisak (3): The Lost Pija and The End of Lampion

Berhubung saya sudah telanjur berjanji akan menyelesaikan cerita Waisak, maka mari kita lanjutkan! Pertama, tulisan ini didedikasikan untuk Della—yang udah ngadu ke Pija. Nice! Kedua, tentunya untuk pembaca setia tercinta (*emang ada gitu yang setia ama lo, Dha?)

The Lost Pija.
Waktu itu saya nggak punya pulsa. Jadi begini, meskipun saya tukang pulsa, dan ada saldo, saya tetep nggak akan bisa isi ulang pulsa karena HP saya nggak ada pulsa. Bingung bingung deh lu! Miris. Akhirnya, saya berusaha minta tolong seseorang untuk ngisi pulsa. Alhamdulillah, sampai juga pulsanya. Lho katanya sinyal lagi ilang-ilangan malam itu? Iya, kan ilang-ilangan, bukan ilang betulan. Kadang ilang, kadang muncul. Sinyal galau judulnya. Kelamaan digantung soalnya. (*tratakdungces)

Panik, Pija nyasar. Iya, kalau Della yang nyasar sih, ditinggal pulang ke Jakarta juga kemungkinan besar doi baik-baik aja. Akhirnya, sembari nadah rintik hujan yang turun, jempol saya pun mulai beraksi. Mulai dari kirim pesan singkat, pesan panjang, hingga pesan-pesan yang tak selesai. Haiah. Bagi-bagi tugas sama Della. Gantian telepon Pija. Siapa beruntung, dia tersambung. Mirisnya, di sambungan pertama, Pija terdengar superpanik. Kayaknya sih udah mewek tuh anak. Berusaha nenangin lewat telepon, bahkan saya ngasih instruksi ‘tarik napas—buang napas—tarik lagi, tenang Ja, tenang. Everything will be OK’ begitu seterusnya. Sampai pada akhirnya, di tengah-tengah percakapan antara saya dan Pija yang belum selesai, sinyal ilang kembali. Mati lah ini!

Beruntung, rombongan dengan setia rela menunda masuk lebih dulu, demi menunggu sang Pija datang. Baguslah. Setidaknya, hal ini mengurangi keriweuhan. Pencet sana-pencet sini, calling terus sampai mampus, masih berlanjut sampai akhirnya tersambung kembali. Ah, terima kasih semesta! Suatu percakapan pun terjadi:
“Ja, di sekitar lo ada apa aja ciri-cirinya?”
“Gw nggak tau, gw di mana. Gelap. Sepi.”
“Coba sekarang lo liat sekitar, ada orang apa nggak, abis itu tanya aja, jalan menuju pintu utama. Polisi atau orang berbaju kuning nggak ada, Ja?”
“Nggak tau, pokoknya di sini gelap, sepi. Gw nggak tau ini di mana.”
“Ada orang nggak di deket lo?”
“Ada sih, tapi gw nggak kenal.”
(dung tak ting ting cecessss! Mau ketawa, tapi anaknya lagi ilang. Mau diem aja, tapi agak lucu, hihihi)
“Nah, tanya Ja. Minta dianterin kalo perlu. Serius deh, nggak papa. Percaya! Di sini masih pada nungguin lo kok.”
“…………………(tut tut tut)”

Yasalam, mati. Coba ditelepon lagi berkali-kali, tapi susah. Satu-satunya cara ya, berdoa. Semoga Pija selamet, dan ada keajaiban yang membawa doi ke pintu utama. Aamiin. Pasrah. Tak berapa lama, tiba-tiba ada bocah kaos belang item putih melipir di samping barisan orang antre dekat pintu masuk utama. Daaaaan, itu Pija! Haaaaaah. Jamblang! Akhirnya ketemu juga ini bocah. Syukurlah. Tapi tetep mewek dulu, meskipun udah ketemu. Hahaha. Cup cup!

The End of Lampion.
Kami (rombongan) langsung ambil posisi antrean untuk masuk ke Candi Borobudur. Beuh, jangan tanya ramai atau nggak. Mirip kereta pas jam-jam berangkat/pulang kerja lah. Bedanya, lebih tertib aja. Sebelum masuk ke kawasan Candi Borobudur, kami masih harus melewati pintu ajaib tempat metal detector berada. Setelah itu, baru jalan kaki menuju lingkar Candi Borobudur. Gelap. Gerimis. Baju-celana semibasah, sandal/sepatu cukup kuyup. Lengkap sudah cobaan kami. Fuh. Sebenarnya kami pun tidak tahu menahu ihwal ‘akan ke mana sih kita?’ masuk ke dalam Candinya, atau gimana? Saya-Della-Pija sih makmum aja. Ke mana rombongan mengarah, ke situ kami melangkah. Daripada ilang lagi, ye nggak?

Tibalah kami di sebuah tenda kawinan (red.) yang cukup luas, beralaskan karpet merah. Karena gerimis semakin deras, kami pun memilih duduk dan istirahat di dalam naungan tenda. Untung bukan tenda biru, nanti ada Desy Ratnasari kan gawat. Sejujurnya, kami (bertiga) tak pernah tahu, sedang apa kami di situ, untuk siapa, dan dengan tujuan apa kami ke situ. Mau melihat ‘Lebaran’ umat Budha-kah? Sekadar berfoto malam hari di Borobudur, ataukah ingin menerbangkan lampion—yang bertuliskan doa juga harapan? Meneketehe. Eh, tapi kalau saya pribadi sih sebenarnya murni ingin sekadar menerbangkan lampion secara langsung. Iya, megang lampion bareng temen-temen, sambil berdoa, penuh harap. Sama sekali tak ada pikiran untuk menengok ritual/upacara Waisak-nya. Apalagi dalam kondisi yang sangat ramai seperti itu—lebih tepat disebut chaos mungkin. Chaos dalam artian ‘jadi nasib kita di sini tuh gimana sih?’ semacam butuh rundown jelas, biar punya gambaran.

Menunggu sembari tiduran, duduk, tidur lagi, duduk lagi, berdiri. Capek. Membosankan. Ditambah sinyal kacrut, melengkapi kejenuhan kami yang sama sekali tak ada hiburan karena tak bisa internetan. Hahaha. Anak era teknologi! Wajar. Untuk sekadar ngobrol dengan rekan sebelah pun rasanya enggan. Macem perempuan yang lagi PMS—agak nggak enak ngapa-ngapain. Saya pribadi ingin sekali segera pulang, nempel kasur. Oooooh! Kasur mana kasur? :’)

Hingga pukul 22.30, kami masih menunggu. Namun, penantian kali ini menyakitkan. Lampion batal terbang karena masih hujan. Keadaan memang tak bisa dipaksakan. Apa boleh buat. MARKIPUUUL! Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai beranjak keluar dari tenda, kembali ke peraduan masing-masing yang menurut mereka nyaman. Kami pun demikian. Pulang. Bedanya, kami (ternyata) masih harus menunggu mobil datang. Euleuh euleuh.. kumaha iyeu teh? Biasa, miskom. Apa? Baskom? Miskom, jamblang! Bapak supir dan koordinator kurang kompak. Ujung-ujungnya apa pemirsa? Kami ngojek lagi. Masya Allah! Duit maning, duit maning. Ampun DJ!

Cobaan malam yang serba ‘ada-ada aja’ macamnya. Kesel, capek, pegel, mau marah percuma—nggak ada guna, tapi masih mangkel di hati. Deuh. Hidup ini terasa indah ya apabila ada perkara, juga prahara! Haha. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68! Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah. Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. M

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan