17.7.13

Demi Waisak (2)

Hari pertama. Destinasi pagi ini adalah Pantai Ngobaran dan Ngreyahan. Kami bertiga udah ready sejak pukul 7.30. maklum, didikan marching band. Namun, apa daya. Orang-orang masih ada yang belum mandi, belum makan, belum lalalili. Errr.. malam sebelumnya, saya dan Vieza membaptis Della sebagai Komlat selama Trip Waisak. Jadi, tugas Della adalah berkomunikasi dengan si Mbak Trip Waisak, tanya jadwal, dan lain-lain. Hahaha. Thanks Kodel ;)

Karena ada sekitar 18an orang, jadilah kami berangkat pukul 9.00, menuju Gudeg Yu Djum. Apa? Makan? Ya, makan lagi. Padahal udah pada sarapan di homestay tadi. Memang sih, sarapannya roti, teh, kopi. Oh, mungkin mereka menganggap itu semua adalah kudapan. Oke. Meskipun saya orang Jawa, sebenarnya saya pribadi tidak terlalu suka Gudeg—apalagi lama nggak makan nasi. Akhirnya saya cuma pesen es jeruk. Gudeg Yu Djum ini termasuk mahal, sekitar Rp15.000—Rp25.000/porsi. Untuk ukuran Jogja, harusnya bisa sangat murah. Sekali-kali nggak apa sih ke Resto Gudeg, biar bisa membandingkan rasanya.
Gudeg Yu Djum (tapi nggak ada wujud Gudegnya, hahaha)
Setelah urusan bayar-membayar kelar, kami langsung cabut ke destinasi awal. Kira-kira pukul 10.20 baru jalan—karena ada suatu hal (shit happened). Dalam hati, “mantai kok ya siang-siang begini”. Ajaibnya, sampai di Pantai Ngobaran-Ngreyahan, kami kepanasan (ya iyalah). Jarum jam aja udah mampir ke angka 12, gimana nggak panas?! Kesan pertama sampai sana: onde mande, ramainyoooo! Ya karena memang sedang musim liburan sih. Anyway, ‘musim liburan’ ini saudara sepersusuan dengan ‘musim kawin’. Jayus! Baiklah, lanjut. Hmm, pasir di sana bukan putih, bukan pula hitam, melainkan coklat muda agak putihan. Selain itu, pantai ini juga seru tempatnya karena ada candi-candi dan patung kecil, plus relief bebatuan yang sangar. Bahkan, saya sendiri sempet ngrasa seperti bukan di Jogja, tapi di Uluwatu. Mirip, suasananya; tempatnya.
(lupa, ini namanya patung apa, hahaha)
Yap, apalagi selain menghirup udara pantai dan mendengarkan desir ombak. Aih. Siang-siang, tapi tetep semilir. Kami pun tak lupa jeprat-jepret meninggalkan jejak dan bukti bahwa kami pernah di sini (I was here), asal nulis kalimatnya bukan di tembok/tempat yang mengganggu alam dan semesta sih nggak apa. Walaupun kita bukan anggota pecinta alam, kita wajib mencintai alam. Kok gitu? Ya, karena alam juga telah memberi kita kehidupan sampai detik ini. Mencintai adalah saling memberi. Hazeek! Setop!
Saya dan Vieza di salah satu sisi Pantai Ngobaran
Vieza dan bebatuan sangar
Bebatuan dan jernihnya air Pantai Ngobaran
Vieza, Idha, Della (nggak afdol kalau nggak foto bertiga)
Setelah agak capek, kami pun menyerbu kedai es kelapa muda. Duduk manis di atas gazebo kecil ditemani seruputan sejuknya air kelapa—iya, air kelapa karena buah kelapanya sedikit. Jajan-jajan bentar, lalu cabut lagi. Destinasi berikutnya: Candi Borobudur. Perkiraan waktu yang ditempuh, sekitar 3—4 jam perjalanan. Ditambah mampir makan siang dulu berarti 5 jam-an. Makjang! Bisa-bisa sampai sana malam. Jalan menuju Borobudur macet gila, plus hujan deras cukup lama. Yah, udah putus asa. Pasrah. Mau nantinya kebagian masuk atau nggak, terserahlah.

Tsakeup! Kami tiba di kompleks Borobudur pukul 18.30, belum muter-muter cari parkir dan membebaskan diri dari macet sepanjang pintu masuk. Pintu masuk Borobudur, bukan pintu masuk Candi Borobudur. Perjalanan masih panjang, bro! fuh. Btw, kami setengah jam berdiri di depan pintu keluar utama karena agen trip bingung dan lagi ribet. Hingga pada akhirnya diputuskan untuk ngojek ke pintu 7 alias pintu masuk utama. Haiyaaaah! Udah makmum, masbuk pula. Pasrah (lagi). Ada satu motor yang bertiga, ada juga yang berdua. Saya dan Della satu motor, Vieza satu motor. Nah, karena ada sekitar 5 atau 6 motor, dan abang ojeknya kurang kompak, jadi ada beberapa motor yang pisah. Lewat jalur masing-masing sesuai keyakinan abang ojek, hahaha. Ada yang lewat jalan raya, ada yang lewat gang kecil nan gelap, ada juga yang lewat rumah-rumah penduduk alias nyempil.

Setelah melewati rintangan jalan sepanjang Borobudur yang supermacet, saya dan Della pun tiba di depan pintu masuk utama. Persis di depannya. Cuma ya itu, kami kehilangan rekan-rekan. Sinyal hp juga ilang-ilangan. Susah menghubungi orang-orang. Saat itu, saya bertugas menguhubungi Monik (temen Trip Waisak), Della menghubungi Vieza. Keduanya nihil. Berharap ada keajaiban di antara antrean panjang super-riweuh demi berhasil masuk ke kawasan Candi Borobudur. Daaaaaan, ternyata di antara kerumunan itu ada rombongan trip. Alhamdulillah.

Nah, tapi ada satu yang justru masih (sangat) mengkhawatirkan: Vieza. Ke manakah anak satu ini? jangan-jangan nyasar ke Malaysia nih. Selama sinyal masih buruk, teknologi secanggih apa pun tidak bisa diharapkan memang. Cuma doa. Ya, doa. Hmm, selang berapa menit kemudian, hp saya getar-getar. Ada sms dari Vieza. Isinya: “Dha, gw nyasar T_T huhuhu..” kan, bener kan, nyasar ke Malaysia. Hahaha. Ada-ada aja nih The Lost Pija.

Yak, mulai bingung. Harus bagaimana ini? jawabannya, ada di tulisan selanjutnya. Hahaha.

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...