Selasa lalu, akhirnya saya baca puisi lagi di depan publik. Rasanya sudah
lama tidak menyentuh zona ini. Zaman saya masih SMP, SMA, saya cukup rajin ikut
lomba baca puisi. Kalah? Sering. Buat saya, menang hanya ‘sekadar penenang’, juga
pembuktian bahwa (mungkin) kita lebih baik dari peserta lain—itu pun menurut
para juri, subjektif.
Ceritanya, salah satu dosen saya, 16 Juli kemarin meluncurkan tujuh
buah karyanya—berupa kumpulan puisi, prosamini, dsb.—di Auditorium Gedung IX, FIB
UI. Sebelumnya, beliau memang tidak meminta saya untuk membacakan puisinya. Namun,
pagi itu, alias hari H, saya iseng buka facebook. Ternyata ada pesan dari
beliau. Isinya kurang lebih berupa penawaran, maukah saya membacakan
sajak-sajak pendeknya dalam bahasa Tegal? Kaget. Ya, pertama karena saya
tipikal manusia yang panikan. Kedua, mengubah puisi berbahasa Indonesia ke dalam bahasa
Tegal bukanlah hal mudah. Mencari kosakata pengganti, bukan sekadar
menerjemahkan setiap kata secara mentah-mentah, kemudian beres. Tidak sama
sekali. Ketiga, saya kurang yakin untuk membaca puisi karena sudah lama ‘break’. Ditambah lagi, saya belum pernah
membacakan puisi dalam bahasa Tegal seumur hidup saya—pun ketika saya masih
tinggal di Tegal. Kata salah satu teman saya: mahzabnya berbeda.
Well, sebagai seorang
pembaca puisi, saya merasa tertantang untuk mencoba dan menaklukkan puisi
tersebut. Selain itu, jujur, saya rindu. Sangat rindu. Saya pernah hidup
bersama puisi dulu. Dan, itu manis. Pastinya hasrat untuk mengulang perasaan
puas dan lega setelah membaca puisi, ingin saya kembalikan lagi. Mumpung ada
kesempatan. Kita tak pernah tahu, kapan tiba waktunya kita tidak punya
kesempatan kan? Maka dari itu, saya langsung mengiyakan tawaran beliau. Sudahlah,
nekat saja.
Saya langsung berpikir keras untuk menghubungi rekan yang kira-kira
bisa membantu saya menerjemahkan sajak-sajak tersebut ke dalam bahasa Tegal. Juga—paling
penting adalah—menyiapkan mental ‘tempe’ saya. Semoga saya siap, dalam hati. Latihan
seadanya, secukupnya, kemudian berdoa. Mungkin terdengar berlebihan, padahal
ini bukan lomba. Saya khawatir kalau penampilan saya kurang maksimal nantinya;
mengecewakan pendengar; atau shit happened
yang bisa saja terjadi nanti.
Namun, kembali lagi pada sugesti dan kemauan diri sendiri. YES or NO. Demam panggung? Pastinya. Tegang.
Padahal hanya membaca sajak pendek, sekitar lima menit. Tidak lama. Beginilah
si poetry reader yang demam panggung.
Apalagi, waktu itu para pembaca karya beliau (dosen saya), sebagian besar
adalah orang teater. Mulai dari dosen, mahasiswa, juga alumni, turut andil
membaca sajak—dengan gaya masing-masing yang memesona. Kadang jadi ingin
menertawakan diri sendiri, kok ya secemen
itu sih sama panggung!
Tak berapa lama kemudian, bersyukur. Akhirnya tuntas juga membacakan sajak-sajak Haikuya dalam
bahasa Tegal dengan lancar. Tegang sebenernya saat pendengar makin lama makin hening
selama saya tampil di panggung. Semua berkat atensi yang luar
biasa dari para pendengar, juga apresiasinya kepada saya—dan pembaca lainnya. Terima kasih juga untuk Mas
Iben yang sudah memberikan saya kesempatan untuk menyentuh zona puisi lagi. Semoga karya-karya Mas Iben dapat dinikmati dan menginspirasi :’)
Oh iya, berikut saya lampirkan sajak Haikuya yang sudah diubah ke dalam bahasa Tegal:
Haikuya #17
suara jangkring
tesih demen gemresik
nang tivi
Haikuya #24
gonjang-ganjinge jagad
gumun
saklirihe donga
Haikuya #32
swara udan
nentremna ati
mangsa sirep
Haikuya #33
bengi pating klethis
orkes nang godongan
krasa adem nang ati
Haikuya #35
janur wis dipasang
undangan wis diaturi
pengantene endi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar