19.7.13

Membaca Sajak Haikuya dalam Bahasa Tegal

Selasa lalu, akhirnya saya baca puisi lagi di depan publik. Rasanya sudah lama tidak menyentuh zona ini. Zaman saya masih SMP, SMA, saya cukup rajin ikut lomba baca puisi. Kalah? Sering. Buat saya, menang hanya ‘sekadar penenang’, juga pembuktian bahwa (mungkin) kita lebih baik dari peserta lain—itu pun menurut para juri, subjektif.

Ceritanya, salah satu dosen saya, 16 Juli kemarin meluncurkan tujuh buah karyanya—berupa kumpulan puisi, prosamini, dsb.—di Auditorium Gedung IX, FIB UI. Sebelumnya, beliau memang tidak meminta saya untuk membacakan puisinya. Namun, pagi itu, alias hari H, saya iseng buka facebook. Ternyata ada pesan dari beliau. Isinya kurang lebih berupa penawaran, maukah saya membacakan sajak-sajak pendeknya dalam bahasa Tegal? Kaget. Ya, pertama karena saya tipikal manusia yang panikan. Kedua, mengubah puisi berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Tegal bukanlah hal mudah. Mencari kosakata pengganti, bukan sekadar menerjemahkan setiap kata secara mentah-mentah, kemudian beres. Tidak sama sekali. Ketiga, saya kurang yakin untuk membaca puisi karena sudah lama ‘break’. Ditambah lagi, saya belum pernah membacakan puisi dalam bahasa Tegal seumur hidup saya—pun ketika saya masih tinggal di Tegal. Kata salah satu teman saya: mahzabnya berbeda.

Well, sebagai seorang pembaca puisi, saya merasa tertantang untuk mencoba dan menaklukkan puisi tersebut. Selain itu, jujur, saya rindu. Sangat rindu. Saya pernah hidup bersama puisi dulu. Dan, itu manis. Pastinya hasrat untuk mengulang perasaan puas dan lega setelah membaca puisi, ingin saya kembalikan lagi. Mumpung ada kesempatan. Kita tak pernah tahu, kapan tiba waktunya kita tidak punya kesempatan kan? Maka dari itu, saya langsung mengiyakan tawaran beliau. Sudahlah, nekat saja.

Saya langsung berpikir keras untuk menghubungi rekan yang kira-kira bisa membantu saya menerjemahkan sajak-sajak tersebut ke dalam bahasa Tegal. Juga—paling penting adalah—menyiapkan mental ‘tempe’ saya. Semoga saya siap, dalam hati. Latihan seadanya, secukupnya, kemudian berdoa. Mungkin terdengar berlebihan, padahal ini bukan lomba. Saya khawatir kalau penampilan saya kurang maksimal nantinya; mengecewakan pendengar; atau shit happened yang bisa saja terjadi nanti.

Namun, kembali lagi pada sugesti dan kemauan diri sendiri. YES or NO. Demam panggung? Pastinya. Tegang. Padahal hanya membaca sajak pendek, sekitar lima menit. Tidak lama. Beginilah si poetry reader yang demam panggung. Apalagi, waktu itu para pembaca karya beliau (dosen saya), sebagian besar adalah orang teater. Mulai dari dosen, mahasiswa, juga alumni, turut andil membaca sajak—dengan gaya masing-masing yang memesona. Kadang jadi ingin menertawakan diri sendiri, kok ya secemen itu sih sama panggung!

Tak berapa lama kemudian, bersyukur. Akhirnya tuntas juga membacakan sajak-sajak Haikuya dalam bahasa Tegal dengan lancar. Tegang sebenernya saat pendengar makin lama makin hening selama saya tampil di panggung. Semua berkat atensi yang luar biasa dari para pendengar, juga apresiasinya kepada saya—dan pembaca lainnya. Terima kasih juga untuk Mas Iben yang sudah memberikan saya kesempatan untuk menyentuh zona puisi lagi. Semoga karya-karya Mas Iben dapat dinikmati dan menginspirasi :’)

Oh iya, berikut saya lampirkan sajak Haikuya yang sudah diubah ke dalam bahasa Tegal:

Haikuya #17
suara jangkring 

tesih demen gemresik 
nang tivi

Haikuya #24
gonjang-ganjinge jagad 

gumun 
saklirihe donga

Haikuya #32
swara udan 

nentremna ati 
mangsa sirep

Haikuya #33
bengi pating klethis
orkes nang godongan
krasa adem nang ati

Haikuya #35
janur wis dipasang 
undangan wis diaturi 
pengantene endi?

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...