27.10.12

Bandung (lagi?)

Awal tahun lalu, gw ke Bandung. Tepatnya Februari 2011, singgah di rumah Sabrina (Baritone MBUI) untuk beberapa hari. Tak lain dan tak bukan hanya untuk jalan-jalan. Mengunjungi beberapa museum, mampir ke Gita Wibawa Mukti, dan belanja. Boleh dikatakan sedang bimbang terhadap sebuah pilihan waktu itu, tapi gw nya malah lari dari kenyataan. Hahaha.

Selanjutnya, tengah tahun menjelang puasa, gw ke sana. Singgah di rumah Reina (Trumpet MBUI) sekitar tiga hari. Nah, kali ini memang ada tujuan. Singkatnya, dalam rangka mau ketemu seseorang. Lebih tepat disebut kopdar sih (*setop, sampai sini saja). Alhasil, gw mengawali puasa pertama di Bandung. Sahur, tarawih, juga atmosfer puasa ala Bandung. Cukup seru.

Kemudian, akhir tahun menjelang tahun baru, gw pun ke Bandung lagi. Tujuan utamanya liburan, sekaligus menikmati momen-momen pergantian tahun baru di sana. Gw, Vieza, Uswah singgah di tempat Kakak Tami (temen Uswah). Mengunjungi Braga, Gedebage, Museum KAA, Sugarush, juga Potluck Kitchen. Nyatanya, tujuan awal tidak terlaksana. Malam tahun baru justru dihabiskan untuk nonton film AADC di kamar dengan lampu yang sengaja dimatikan. Aaah, campur aduk rasanya. Ke Bandung tuh udah mirip minum obat, tiga kali setahun :”D

Memasuki tahun 2012, gw ke sana bulan April. Buat apa? Jangan ditanya. Ini rahasia. Hahaha. Kebetulan Bang Anton nikahan, jadi sekalian deh. Berhubung tahun ini gw bukan pasukan yang tiap Sabtu-Minggu harus latihan, maka gw pun mencari tahu, ada acara apa lagi ya di Bandung deket-deket ini? usut punya usut, ternyata ada BMBC (Bandung Marching Band Championship) di bulan Oktober. Segeralah gw menghubungi Uswah dan Vieza untuk merencanakan trip ini. Yeay! Namun, di tengah masa penantian BMBC, shit happened TIMBC diundur. Atas dasar inilah, Vieza dan pasukan lainnya mengurungkan niat, lebih memilih latihan ketimbang jalan-jalan. Bagus, bagus! Kemudian, setelah melalui beberapa masalah yang sangat pelik, jadilah gw, Uswah, dan Emi yang memutuskan untuk pergi. Seperti biasa, gw yang jadi (korban) semi-Project Officer.

Mulai dari menghubungi orang-orang yang tadinya mau ikut-tapi nggak jadi, lalu nyiapin tiket, bikin rundown dan budgeting selama dua hari itu, nyiapin dan ngeprint jadwal BMBC, nyari rute angkot, nyiapin peta Bandung, nyiapin kompas, dan lain-lain lah pokoknya. (*tapi kalo masih tetep nyasar, bukan salah gw lho ya.. Huahaha). Oh iya, yang paling bikin ribet waktu itu adalah penginapan. Gw sempat menghubungi temen-temen gw yang ada di sana, tapi kebetulan lagi nggak di Bandung. Mulai dari temen SD, SMP, SMA, adik kelasnya temen, kakak kelas sintesa, sampe kenalan temen yang cuma kenal lewat dunia maya. Memang belum rezekinya mungkin. Huh! Pada akhirnya, Uswah lah sang pahlawan penyelamat. Kami singgah di tempat Vina (Trumpet MBUI 2004, kalo nggak salah). Bahkan nih ya, kami dijemput di Stasiun Bandung oleh Anto (pacar Uswah enam tahun lalu). Amazing!

Nah, selama dua hari itu kami ngapain aja di Bandung pas BMBC? Nantikan pada tulisan berikutnya (*kalo gw niat) ahahahah. See you bloggers!

26.10.12

Mengaduh Tuhan

Meninggalkan zona nyaman, mencicipi tempat baru, mencium aroma menantang, juga langit yang tak sama. Hal ini sama sekali bukan dambaan setiap orang saya rasa. Hangat, terjaga, merasa aman, dekat, tentu tak langsung dapat bersahabat begitu saja. Ya kan? Klasik: butuh waktu. Cuma kita dan Tuhan yang tahu tentang kapan.

Seperti saat ini, saya pontang-panting cari pegangan. Lama. Berhari-hari bahkan. Terbawa mimpi. Selalu muncul di sela-sela otak kiri. Mempertanyakan, kapan akan diputuskan?

Kemudian, hanya bermodal kenekatan, saya memulai perjalanan. Awalnya bingung memilih tikungan. Di tengah jalan sempat beberapa kali bertanya ke sana kemari. Tepat! Belum ada satu pun jawaban yang memuaskan. Lalu saya memandang ke udara sebentar, memerhatikan laju dan klakson kendaraan yang tiap detik menganga lekat pada peluh dan penat.

Empat jempol saya siapkan untuk seseorang yang telah bertahan selama setengah abad menyapu jalanan. Masih pantaskah saya mengucapkan “aduh” pada Tuhan?

**Kehilangan September

8.10.12

Pertemuan Pada Babak Ke Sekian

Selamat! Semoga Tuhan selalu dekat, aamiin. (your M)

Kali terakhir kubaca suratmu di Kansas (Kantin Sastra). Cuma ucapan itu yang cukup lekat di otak. Di saat kepulan asap sampai pada kerucut atap, saat orang-orang lalu-lalang saling bercinta dengan kudapan di kiri kanan tangannya, dua tahun lalu, kau menantangku bermain kartu. Andai saja sekarang masih bisa, sayangnya kaululus lebih dulu. Satu Mei. Suka tak suka, usia telah berkurang satu. Aku heran, mengapa orang-orang selalu mengucapkan “selamat, dan semoga panjang umur” di hari ulang tahun? Bukankah mati dalam usia dini katanya lebih suci?

Aku setengah mati setengah hidup selama enam tahun. Menunggu, menanti kabar dari seseorang yang kusebut ‘teman dekat’. Kemudian, aku mengingat-Mu semalaman ketika rindu telah sampai di ujung hulu. Terima kasih untuk tidak menjauh, meski tak juga dekat. Kau berjalan ke utara, aku ke selatan, begitu seterusnya. Sama sekali tak pernah berpapasan di kilometer ke sekian.

Memberanikan diri mencari topik diskusi pagi-pagi bukanlah perkara gampang. Butuh ribuan kali untuk menimbang, maju, mundur, membatalkan, ah! Padahal setelah sadar: ternyata dari tadi aku sendiri yang menciptakan dramatisasi hubungan. Untungnya, di samping kita selalu ada teman untuk mengingatkan.
“sudah kaukabari dia semalam?”
“belum.”
“mau sampai kapan?”
“belum tau.”
“sms saja, biar tidak terlalu canggung.”

***

hey you, hari ini masih sibuk?”
“kamu lucu, lima tahun bersamamu, stok kalimatmu cuma itu.”
“terima kasih, ganteng :)”
“ada prahara apa?”
“dua minggu lagi aku harus bertanggung jawab atas apa-apa yang telah kudapatkan di sini ke hadapan tiga penguji.”
“oh, baguslah! Lalu?”
“aku mau kamu di sini, itung-itung meredam grogi.”
“tapi nggak janji. Aku datang kalau senggang.”
“baik, kutunggu!”

***

Sejak pukul delapan pagi, entah sudah mondar-mandir berapa kali di sekitar gedung lima, dekat LBI. Padahal, aku selalu menyebut nama-Mu dalam hati. Kemeja hitam lengan pendek, rok putih abu-abu selutut, kacamata biru tua minus tiga, juga kuku yang dicat merah hati. Hari ini berbeda dari biasanya. Sebentar lagi akan ‘melepas lajang’, kemudian kawin sepuasnya dengan ribuan kata dalam tema yang akan diuji coba. Juga dia—yang katanya akan datang kalau senggang. Namun, sampai detik ini belum muncul di depan mata. Sebentar lagi pukul sembilan—lima belas menit lagi tepatnya—aku segera diadili.
“Manggala belum datang? Coba ditelepon, tanya di mana.”
“ng.. tadi sudah aku sms kok,”
“saat-saat genting kayak gini masih aja gengsi!”
“iya iya, ini aku telepon!”
… … … … … … … (nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi)
“nggak aktif ponselnya, gimana dong?”
“dua menit lagi kamu harus sudah di ruangan, mungkin ada baiknya kamu fokus. Biar aku saja
yang menghubungi dia nanti. Oke?”
“ng.. yaudah deh, thanks Lin. Aku masuk ya!”

(Satu jam kemudian)

Terima kasih, Tuhan. Hari ini lega. Sangat lega. Seperti keluar dari penjara. Hampir dua tahun dipeluk dosa yang tak berujung. Aaah! Rasanya semua terbayar mahal seketika. Sebentar! Ada yang kurang. Di mana Manggala? Begitu keluar dari gedung lima, Kalindi tadi buru-buru mengajakku ke parkir gedung sembilan. Apa mungkin ini bagian dari kejutan? Ya Tuhan, kebahagiaan apalagi yang kausiapkan?

Bukan, ini tidak seperti sebuah kebahagiaan. Aku disuguhi pemandangan yang tak jelas, nyata atau sekadar drama. Seorang lelaki terkapar di sebuah ruangan. Di sekelilingnya ada orang-orang berseragam putih tampak membersihkan darah yang tak henti-hentinya menderas. Agaknya kepala si pasien seperti telah membentur sesuatu yang cukup keras. Sesekali wajahnya yang rusak diusap dengan lap basah. Kemudian, aku menangkap sesuatu: kemeja, celana, sepatu, juga tas pasien itu memang sangat ramah dengan mataku. Mereka sedang apa sebenarnya? Mahasiswa Kedokteran yang sedang ujian praktik membedah mayat? Tampaknya tidak demikian. Lalu itu siapa?

Aku masih bersikeras menolak kebenaran. Yang terbaring tadi pasti orang lain, bukan siapa-siapa. Namun, jantungku terasa makin cepat detaknya; aliran darah pun seperti melambat; ada genangan air yang terpaksa ditahan oleh kelopak mata. Mulutku masih komat-kamit menyebut nama, entah nama Tuhan atau bukan, aku tak ingat. Yang pasti, kepalaku makin berat, seperti ditimpa bebatuan. Tuhan, ini mungkin ujian untukku yang ke sekian? 

4.10.12

Saling Simpang Biar Tak Gamang

Selasar gedung satu akhirnya jadi tempat singgah, sekadar ingin duduk bersila sembari menunggu rintik reda. Di dalam tasku tak ada headset rupanya. Ah! Ada-ada saja. Kemudian, segera kucari teman setia pembangkit jiwa. “Nah, ini dia!”
Terima kasih, Pablo Neruda, aku siap menyelami sajak yang kaucipta.

Kukatakan sekali lagi bahwa aku mencintaimu
Maka pukullah aku jika kau tak suka
Hari-hari yang kulampaui hanya berbatas dinding dan malam
Sepi memintal leher dan mencekik penantian bulan
Aku mencintaimu
Langit dan bumi inilah saksinya
Dan lemparlah jika kau tak suka
Karena aku pun tak sengaja mencintaimu
(Sasina)

Tuhan selalu punya rencana: mempertemukan kita di waktu-waktu yang tak terjaga. Ya, seperti sekarang. Bukannya kita baru saja saling sapa tadi siang? Lalu, saat ini kautepat lurus di depan mata. Berjarak memang, tapi cuma sejengkal. Kau masih seperti dulu: berdua dengan gitar seksimu. Pun aku: dengan kaos hitamku. Mau tak mau, kali ini aku yang harus memulai bicara.
“masih nunggu?”
“menurutmu?”
“masih,”
“percuma kalau kautanya cuma untuk basa-basi,”
“mau berapa lama?”
“sampai Tuhan mengirim yang lain untukku.”
“oh..”
“cuma oh?”
“memangnya aku harus bagaimana?”
“ya, terserah.”
“yasudah, tak perlu repot-repot protes kalau begitu.”
“kamu masih sama!”
“kamu juga keras kepala!”
“lalu, mengapa kau kemari?”
“ingin memastikan saja.”
“memastikan apa?”
“tak perlu tahu!”
“cuma Pablo Neruda yang setia,”
“aku sekadar bernyanyi untukmu, tetap tak boleh?”
“… ...”

Sore kala itu cukup sejuk. Setidaknya sedikit menolong, biar di antara kita tak ada lagi cekcok mulut. Sayangnya selasar gedung satu pun ikut kelu. Kau dan aku sama-sama menyebut: bahwa berteman juga butuh berkorban. Korban perasaan—tak apa sekali dua kali, asal tak keterusan.

Hari ini kau tak berjarak denganku. Entah besok atau lusa, mungkin sudah tak terhitung jengkalnya. Sesungguhnya aku benci rokokmu, tapi apakah kau juga tahu bahwa setiap hari ada korek di dalam tasku? Ya, siapa tahu kaubutuh sewaktu-waktu. Kupikir, dengan begitu, paling tidak, kita punya topik yang asik untuk diperdebatkan. Tak usah khawatir bertanya tentang kapan, semua skenario kita sudah Tuhan buatkan, bukan?

3.10.12

Surat Kaleng Waktu Itu

Iseng-iseng buka 30HariMenulisSuratCinta. Berawal dari sadar: bahwa gw pernah membuat satu kesalahan, atau lebih tepatnya disebut ketidakbijakan mengontrol emosi. Ya begitulah, semuanya tumpah. Surat kaleng—yang setelah dibaca kembali, membuat gw geli, sampah setengah mati—kokoh terpahat pada blog yang dapat dinikmati orang-orang.

Memang sih, nggak semua orang tahu siapa yang nulis surat-surat kaleng yang terpampang di sana, tapi bagi manusia yang diberi kemampuan lebih, layaknya detektif bayaran kelas atas, kemungkinan akan tahu siapa si empunya tulisan. Mana di situ ada akun orang yang dituju pula! Usai sudah ketentraman hidup, siap-siap menulis prahara baru yang makin pelik.

Tapi nih ya, di sisi lain juga gw berpikir: nggak akan ‘seru’ kalo hal itu nggak terjadi. Suatu hari nanti, lima tahun kemudian, sepuluh tahun ke depan, duapuluh tahun yang akan datang, mau tak mau, suka tidak suka, terpaksa atau nggak, pasti kita punya cerita sambungannya. Sedikit sama/sama sekali berbeda dengan objek yang berbeda pula. Siapa tahu, mention yang dituju di surat kaleng itu memang nantinya berjodoh dengan kita. Semakin banyak dibaca, bisa jadi doa. Atau mungkin, sekadar bercerita pada pasangan kita bahwa pada zaman jahiliyah, kita pernah menulisnya untuk seseorang yang lain di sana.

:”)

Sedikit Tentang Nulis

Beberapa hari lalu, gw sempat mencoba memulai untuk menulis cerpen. Meskipun tema yang ditawarkan masih seputar cinta-patah hati, tetep aja, buat gw nulis cerpen itu butuh ide yang kaya, juga referensi yang cukup. Mungkin gini, nulis itu gampang, nulis apapun. Nulis cerpen juga bisa kok ngasal. Nah, kalo yang ngasal-ngasal mah gw bisa. Huahahaha. Yang butuh perjuangan itu nulis yang idealis, kaya ide, alurnya logis, dan enak dibaca. Walaupun gw udah kenyang teori-teori sastra, dalam hal ini nulis nggak banyak butuh teori. Ibaratnya, teori itu hanya menyumbang 5%. Justru 95% sisanya adalah kreativitas penulis dalam mengontrol dan mengolah, juga memilih kata yang tersedia di dalam otak kita. (*yang setuju, RT yaaa!) Huahahahaha..

Nggak semua penulis (‘orang yang menulis’) bisa langsung tarakdungces lancar bikin kalimat pertama di awal. Ada juga yang memang butuh mood bagus biar idenya mulus. Ada juga yang harus diputusin kekasihnya dulu, baru bisa ngalir nulisnya. Ehm, tapi gw bukan tipe yang harus patah hati dulu kok alhamdulillahnya. Ciyus deh! Nah, seiring dengan kedinamisan dunia, lambat-laun bukan tidak mungkin akan banyak tipe penulis yang muncul, dan akan kita jumpai dalam hidup ini nantinya. (*ini apa sih?!)

Kalo kamu, termasuk tipe penulis yang seperti apa? Share dong :”D
***trus dibales, mau di share aja atau mau di share banget?? :’|

2.10.12

Nginggris

Dari dulu, gw memang paling anti dengan sesuatu yang “keminggris”. Mulai dari DVD dengan terjemahan Inggris, termasuk buku referensi kuliah yang berbahasa Inggris? Tentunya. Cukup menghambat: film-film bagus dengan terjemahan Inggris, terpaksa tertunda atau pada akhirnya batal gw tonton. Cuma, kalo literatur kuliah sih nggak mungkin batal dipelajari. Meskipun kadang harus “nyewa” jasa penerjemah, lalu nanti si penerjemah harus melaporkan ke gw dengan mendongeng. Hahaha.

Empat tahun lalu, waktu masih bocah (*lah, sekarang?), salah satu alasan yang nggak terlalu dominan milih Sastra Indonesia ya karena nggak mau ketemu sama yang “keminggris”. Setelah beberapa tahun, ternyata oh ternyata, banyak juga buku pendukung yang non-Indonesia. Mulailah memaksa diri untuk pelan-pelan mengonsumsi tulisan-tulisan Inggris yang agak bikin muak. Simpel, dulu alasannya ya bener-bener karena nggak mau aja, udah cuma itu, titik. Kalo awalnya udah nggak ikhlas, ya nggak akan dilakukan sampai tiba waktunya ketemu dengan keadaan “mepet”.

Jarang, jarang banget gw hafal lirik lagu yang berbahasa Inggris, tapi gw hafal nadanya. Paling reff doang yang nempel di kepala, ya itu mah biar kalo nyanyi agak enakan. Gw akan mencari tahu teks lagu, juga sedikit menghafal liriknya apabila ada momen-momen atau orang, maupun sesuatu yang—entah secara sengaja/kebetulan—ketemu dengan gw, yang udah bikin lagu tersebut lebih nyess di hati. Apalagi kalo udah ada kaitannya dengan kenangan. Jangan ditanya itulah :”D

Kemudian sekarang, begitu bergeser ke ranah kerja—dunia yang sesungguhnya—makin jiper kalo ada kualifikasi excellent in English, oral and written (*bikin mikir lagi). Namun, apapun itu bentuknya, di sisi positif, hal ini membuat gw terpacu semangatnya biar bisa cas cis cus lebih lancar. Gw sempet kepikiran “kualifikasi yang bisa fasih berbahasa daerah, nggak ada apa ya?!” mungkin kadang-kadang memang harus ada yang salah dulu biar bener.

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...