Langsung ke konten utama

Pertemuan Pada Babak Ke Sekian

Selamat! Semoga Tuhan selalu dekat, aamiin. (your M)

Kali terakhir kubaca suratmu di Kansas (Kantin Sastra). Cuma ucapan itu yang cukup lekat di otak. Di saat kepulan asap sampai pada kerucut atap, saat orang-orang lalu-lalang saling bercinta dengan kudapan di kiri kanan tangannya, dua tahun lalu, kau menantangku bermain kartu. Andai saja sekarang masih bisa, sayangnya kaululus lebih dulu. Satu Mei. Suka tak suka, usia telah berkurang satu. Aku heran, mengapa orang-orang selalu mengucapkan “selamat, dan semoga panjang umur” di hari ulang tahun? Bukankah mati dalam usia dini katanya lebih suci?

Aku setengah mati setengah hidup selama enam tahun. Menunggu, menanti kabar dari seseorang yang kusebut ‘teman dekat’. Kemudian, aku mengingat-Mu semalaman ketika rindu telah sampai di ujung hulu. Terima kasih untuk tidak menjauh, meski tak juga dekat. Kau berjalan ke utara, aku ke selatan, begitu seterusnya. Sama sekali tak pernah berpapasan di kilometer ke sekian.

Memberanikan diri mencari topik diskusi pagi-pagi bukanlah perkara gampang. Butuh ribuan kali untuk menimbang, maju, mundur, membatalkan, ah! Padahal setelah sadar: ternyata dari tadi aku sendiri yang menciptakan dramatisasi hubungan. Untungnya, di samping kita selalu ada teman untuk mengingatkan.
“sudah kaukabari dia semalam?”
“belum.”
“mau sampai kapan?”
“belum tau.”
“sms saja, biar tidak terlalu canggung.”

***

hey you, hari ini masih sibuk?”
“kamu lucu, lima tahun bersamamu, stok kalimatmu cuma itu.”
“terima kasih, ganteng :)”
“ada prahara apa?”
“dua minggu lagi aku harus bertanggung jawab atas apa-apa yang telah kudapatkan di sini ke hadapan tiga penguji.”
“oh, baguslah! Lalu?”
“aku mau kamu di sini, itung-itung meredam grogi.”
“tapi nggak janji. Aku datang kalau senggang.”
“baik, kutunggu!”

***

Sejak pukul delapan pagi, entah sudah mondar-mandir berapa kali di sekitar gedung lima, dekat LBI. Padahal, aku selalu menyebut nama-Mu dalam hati. Kemeja hitam lengan pendek, rok putih abu-abu selutut, kacamata biru tua minus tiga, juga kuku yang dicat merah hati. Hari ini berbeda dari biasanya. Sebentar lagi akan ‘melepas lajang’, kemudian kawin sepuasnya dengan ribuan kata dalam tema yang akan diuji coba. Juga dia—yang katanya akan datang kalau senggang. Namun, sampai detik ini belum muncul di depan mata. Sebentar lagi pukul sembilan—lima belas menit lagi tepatnya—aku segera diadili.
“Manggala belum datang? Coba ditelepon, tanya di mana.”
“ng.. tadi sudah aku sms kok,”
“saat-saat genting kayak gini masih aja gengsi!”
“iya iya, ini aku telepon!”
… … … … … … … (nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi)
“nggak aktif ponselnya, gimana dong?”
“dua menit lagi kamu harus sudah di ruangan, mungkin ada baiknya kamu fokus. Biar aku saja
yang menghubungi dia nanti. Oke?”
“ng.. yaudah deh, thanks Lin. Aku masuk ya!”

(Satu jam kemudian)

Terima kasih, Tuhan. Hari ini lega. Sangat lega. Seperti keluar dari penjara. Hampir dua tahun dipeluk dosa yang tak berujung. Aaah! Rasanya semua terbayar mahal seketika. Sebentar! Ada yang kurang. Di mana Manggala? Begitu keluar dari gedung lima, Kalindi tadi buru-buru mengajakku ke parkir gedung sembilan. Apa mungkin ini bagian dari kejutan? Ya Tuhan, kebahagiaan apalagi yang kausiapkan?

Bukan, ini tidak seperti sebuah kebahagiaan. Aku disuguhi pemandangan yang tak jelas, nyata atau sekadar drama. Seorang lelaki terkapar di sebuah ruangan. Di sekelilingnya ada orang-orang berseragam putih tampak membersihkan darah yang tak henti-hentinya menderas. Agaknya kepala si pasien seperti telah membentur sesuatu yang cukup keras. Sesekali wajahnya yang rusak diusap dengan lap basah. Kemudian, aku menangkap sesuatu: kemeja, celana, sepatu, juga tas pasien itu memang sangat ramah dengan mataku. Mereka sedang apa sebenarnya? Mahasiswa Kedokteran yang sedang ujian praktik membedah mayat? Tampaknya tidak demikian. Lalu itu siapa?

Aku masih bersikeras menolak kebenaran. Yang terbaring tadi pasti orang lain, bukan siapa-siapa. Namun, jantungku terasa makin cepat detaknya; aliran darah pun seperti melambat; ada genangan air yang terpaksa ditahan oleh kelopak mata. Mulutku masih komat-kamit menyebut nama, entah nama Tuhan atau bukan, aku tak ingat. Yang pasti, kepalaku makin berat, seperti ditimpa bebatuan. Tuhan, ini mungkin ujian untukku yang ke sekian? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68! Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah. Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. M

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan