4.10.12

Saling Simpang Biar Tak Gamang

Selasar gedung satu akhirnya jadi tempat singgah, sekadar ingin duduk bersila sembari menunggu rintik reda. Di dalam tasku tak ada headset rupanya. Ah! Ada-ada saja. Kemudian, segera kucari teman setia pembangkit jiwa. “Nah, ini dia!”
Terima kasih, Pablo Neruda, aku siap menyelami sajak yang kaucipta.

Kukatakan sekali lagi bahwa aku mencintaimu
Maka pukullah aku jika kau tak suka
Hari-hari yang kulampaui hanya berbatas dinding dan malam
Sepi memintal leher dan mencekik penantian bulan
Aku mencintaimu
Langit dan bumi inilah saksinya
Dan lemparlah jika kau tak suka
Karena aku pun tak sengaja mencintaimu
(Sasina)

Tuhan selalu punya rencana: mempertemukan kita di waktu-waktu yang tak terjaga. Ya, seperti sekarang. Bukannya kita baru saja saling sapa tadi siang? Lalu, saat ini kautepat lurus di depan mata. Berjarak memang, tapi cuma sejengkal. Kau masih seperti dulu: berdua dengan gitar seksimu. Pun aku: dengan kaos hitamku. Mau tak mau, kali ini aku yang harus memulai bicara.
“masih nunggu?”
“menurutmu?”
“masih,”
“percuma kalau kautanya cuma untuk basa-basi,”
“mau berapa lama?”
“sampai Tuhan mengirim yang lain untukku.”
“oh..”
“cuma oh?”
“memangnya aku harus bagaimana?”
“ya, terserah.”
“yasudah, tak perlu repot-repot protes kalau begitu.”
“kamu masih sama!”
“kamu juga keras kepala!”
“lalu, mengapa kau kemari?”
“ingin memastikan saja.”
“memastikan apa?”
“tak perlu tahu!”
“cuma Pablo Neruda yang setia,”
“aku sekadar bernyanyi untukmu, tetap tak boleh?”
“… ...”

Sore kala itu cukup sejuk. Setidaknya sedikit menolong, biar di antara kita tak ada lagi cekcok mulut. Sayangnya selasar gedung satu pun ikut kelu. Kau dan aku sama-sama menyebut: bahwa berteman juga butuh berkorban. Korban perasaan—tak apa sekali dua kali, asal tak keterusan.

Hari ini kau tak berjarak denganku. Entah besok atau lusa, mungkin sudah tak terhitung jengkalnya. Sesungguhnya aku benci rokokmu, tapi apakah kau juga tahu bahwa setiap hari ada korek di dalam tasku? Ya, siapa tahu kaubutuh sewaktu-waktu. Kupikir, dengan begitu, paling tidak, kita punya topik yang asik untuk diperdebatkan. Tak usah khawatir bertanya tentang kapan, semua skenario kita sudah Tuhan buatkan, bukan?

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...