Dari dulu, gw
memang paling anti dengan sesuatu yang “keminggris”.
Mulai dari DVD dengan terjemahan Inggris, termasuk buku referensi kuliah yang
berbahasa Inggris? Tentunya. Cukup menghambat: film-film bagus dengan
terjemahan Inggris, terpaksa tertunda atau pada akhirnya batal gw tonton. Cuma,
kalo literatur kuliah sih nggak mungkin batal dipelajari. Meskipun kadang harus
“nyewa” jasa penerjemah, lalu nanti si penerjemah harus melaporkan ke gw dengan
mendongeng. Hahaha.
Empat tahun
lalu, waktu masih bocah (*lah, sekarang?), salah satu alasan yang nggak terlalu
dominan milih Sastra Indonesia ya karena nggak mau ketemu sama yang “keminggris”. Setelah beberapa tahun,
ternyata oh ternyata, banyak juga buku pendukung yang non-Indonesia. Mulailah
memaksa diri untuk pelan-pelan mengonsumsi tulisan-tulisan Inggris yang agak
bikin muak. Simpel, dulu alasannya ya bener-bener karena nggak mau aja, udah
cuma itu, titik. Kalo awalnya udah nggak ikhlas, ya nggak akan dilakukan sampai
tiba waktunya ketemu dengan keadaan “mepet”.
Jarang, jarang
banget gw hafal lirik lagu yang berbahasa Inggris, tapi gw hafal nadanya.
Paling reff doang yang nempel di
kepala, ya itu mah biar kalo nyanyi agak enakan. Gw akan mencari tahu teks
lagu, juga sedikit menghafal liriknya apabila ada momen-momen atau orang,
maupun sesuatu yang—entah secara sengaja/kebetulan—ketemu dengan gw, yang udah
bikin lagu tersebut lebih nyess di
hati. Apalagi kalo udah ada kaitannya dengan kenangan. Jangan ditanya itulah
:”D
Kemudian
sekarang, begitu bergeser ke ranah kerja—dunia yang sesungguhnya—makin jiper
kalo ada kualifikasi excellent in English,
oral and written (*bikin mikir lagi).
Namun, apapun itu bentuknya, di sisi positif, hal ini membuat gw terpacu
semangatnya biar bisa cas cis cus lebih lancar. Gw sempet kepikiran “kualifikasi yang bisa fasih berbahasa daerah,
nggak ada apa ya?!” mungkin kadang-kadang memang harus ada yang salah dulu biar bener.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar