22.12.13

Dear, Lovely Sister

Happy 14th
Hi, my name is Tazkiyatun Nisa
All the best for you. Allah always bless you, dear. Thanks for being my partner since 1999 until now. Even we scrappy at home everyday, believe or not, it is just little flavor of our love.

I wish, you have the power to make your own destiny and that starts with the decisions you make and the actions you take to become worthy of success.
I wish, you focus on the good things that you can give, create, inspire and choose to experience, right here, right now.
I wish, you trust your instincts because if it doesn’t feel right inside it won't feel right for you as time goes by.
:)
I wish, you can more be fun and safe at the new place next year. Aamiin.

**NB: kalau nggak tau artinya, cari di kamus! Hahahahahahahahahaha**

18.12.13

Another Geminian

Beberapa minggu yang lalu, saya dikasih tes psikologi oleh Della. Bermula dari obrolan tentang zodiak dan kaitannya dengan karakter, akhirnya saya penasaran. Yaaa meskipun harus dua kali ngerjain tesnya—karena kesalahan yang tidak disadari—setidaknya pas baca soal aja udah tahu, kita bakal milih yang mana.

Gara-gara itu, saya jadi inget status seorang teman—yang juga Gemini—mengatakan kalau dia udah lama nggak dikasih surprise saat ulang tahun. Dan betapa beruntung orang-orang yang di hari ulang tahunnya dihadiahi kejutan oleh keluarganya dan/atau teman-temannya. Mulai dari kejutan yang manis, romantis, hingga kejutan ala anak SD: diceplok telor dan tepung. Bahkan kadang lebih heboh dari itu, misalnya diikat di tiang/pohon, ditutup matanya, sampai dilucuti pakaiannya. Well, kesemuanya itu adalah pilihan, tergantung bagaimana niatnya. Setiap orang punya unforgettable surprise dalam hidupnya.

Nah, ini yang kemudian membuat saya mikir cetek. Tuh, kan, Gemini itu memang suka diberi perhatian—ya walaupun sebagian besar orang juga akan suka kalau diperhatikan sih. Tapi yang membedakan di sini adalah momen ‘betapa pentingnya surprise itu buat gw’. Dan mungkin jadi berpikiran kalau nggak ada yang ngasih surprise pas ulang tahun, merasa ‘apa temen-temen gw nggak ada yang sayang sama gw?’ atau ‘keberadaan gw nggak terlalu penting dan berpengaruh ya?’. Lagi-lagi tentang pengakuan keberadaan sih ya, tidak bisa dimungkiri.

Gini deh, temen-temen kita yang meluangkan waktunya—di tengah kesibukan mereka—hanya untuk menyiapkan surprise tuh menurut saya priceless.

Saya pribadi pernah beberapa kali diberi ‘treatment’ pas ulang tahun. Kejutan termanis sewaktu kelas 6 SD: dilempari tepung di tengah lapangan sekolah setelah bel pulang (bahkan anak-anak kelas 3, 4, 5 juga ikutan). Lah terus, di bagian mana manisnya? Eits, sabar, belum kelar. Selama dilempari tepung, saya nunduk dan tetep berdiri tanpa perlawanan. Ya ini sih karena saya nggak bisa liat apa-apa, kan tepungnya masuk juga ke mata. Lambat laun, tepung mereka habis. Berakhir sudah babak pertama. Tiba-tiba, ada anak cowo yang ngasih selamat ulang tahun dari belakang tempat saya berdiri. Nggak hanya itu, dia juga ngasih saya bingkisan, plus notes kecil yang ditengahnya terselip pulpen. Karena saya masih ribet membersihkan tepung di seragam, jadi saya cuma bilang terima kasih. Kadonya saya masukkan tas, lalu pulang ke rumah.

Sampai di kamar, saya buka. Bingkisan tadi berisi kotak musik warna merah muda berbentuk gitar. Dan yang paling mengagetkan adalah notesnya. Di bagian tengah notes sengaja diselipkan pulpen, mungkin biar saya bisa langsung baca apa yang tertulis di situ. Ternyata.. dia suka sama saya! “aku cinta kamu” dalam berbagai bahasa. Rupanya kalimat itulah yang tertulis di notes. Hahaha. Gusti Nu Agung. Aya-aya wae barudak jaman baheula.

Kalau dipikir-pikir, geli juga ya. Baiklah, lupakan sejenak kejadian di atas. Kejutan selanjutnya yang masih membekas adalah di bulan Mei tahun 2010, waktu saya masih jadi kompas (komandan pasukan) MBUI. Setelah apel pulang, PO GPMB memanggil dan mengajak saya berdiskusi. Biasalah, tanya-tanya tentang latihan, kondisi pasukan, dan lain-lain. Yaudah dong ya, saya cerita dengan serius. Di tengah keseriusan saya yang lagi cerita nih, tiba-tiba ada segerombol cowo menciduk dan memboyong saya ke pohon. Alamak! Ini skenario siapa sih? Habislah saya dilucuti. Hmm, maksudnya sepatu, topi, jaket, kacamata, ponsel, dan barang berharga yang nempel di badan saya dilucuti untuk diamankan. Dengan sekuat tenaga berontak, nendang-nendang, teriak keras-keras,  minta tolong, tapi percuma aja sih. Toh, manusia se-MB malam itu kongkalikong -__-‘

Karena mereka tidak berhasil mengikat saya di pohon, jadilah paduan telor tepung dan air—yang entah tidak diketahui jenisnya—segera diguyur ke seluruh badan. Tetep kena juga akhirnya. Nasib. Saya sempet marah, bahkan ngamuk sampai tidak ada seorang pun berani mendekat. Wuahaha. Setelah beberapa saat, sekitar setengah jam saya dirayu, diracuni kata-kata manis, emosi pun mereda. Cuma mereda ya, bukan menghilang. Eee, saya malah dikasih kue mahal. Kuenya sempet saya lempar, tapi untung dusnya kuat. Jadi kuenya masih bisa dimakan, meskipun bentuknya berantakan.

Saya memang masih ‘ngambek’ sampai hari latihan berikutnya. Nggak tau marah kenapa. Kesel aja. Tapi dibalik kemarahan saya, sejujurnya saya tahu kalau kalian sayang sama saya. Hahaha. Pede! Thanks for those crazy surprise anyway, especially lowbrass. Oh.. dan para lelaki yang sukarela menciduk saya dari belakang. Gila emang!

Di awal tulisan ini, teman saya memang lebih dulu merindukan kejutan. Tapi sekarang, justru saya yang ketularan. Tos dulu lah sesama Geminian!

17.12.13

Refleksi Menulis

Sedih. Liat jumlah tulisan di blog tahun 2012 dengan 2013. Yang ada justru penurunan intensitas menulis. Kebetulan, saya adalah orang yang percaya dengan pernyataan “kuantitas memengaruhi kualitas”. Ya mungkin bisa saja membela diri dengan berbagai alasan. Harusnya bukan tak ada waktu luang, melainkan meluangkan waktu. Tamparan untuk diri sendiri sih ini.

By the way, Sabtu lalu @akberdepok mengadakan kelas writing novels. Bersyukur karena akhirnya bisa hadir juga. Ini kali kedua saya menyempatkan untuk bergabung di kelas @akberdepok—sebelumnya di kelas international journalism. Mengapa saya datang? Alasan utamanya karena mau ketemu Oka Aurora, penulis novel 12 Menit. Selama ini cuma akrab berbalas mention di twitter, masa nggak pernah ketemu orangnya. Feel excited pas salaman sama orangnya, kemudian berlanjut diskusi tentang marching band (MB). Hahaha. Tetep ya, alasan utamanya nggak lepas dari MB.
 
Pemateri dan Peserta @AkberDepok, 14 Desember 2013
Selain Oka Aurora, narasumber lainnya: Rachmania Arunita (penulis novel Eiffel I’m in Love), juga Anggung Prameswari (penulis After Rain). Semuanya perempewi bok, perempuan maksudnya. Ngapain aja di kelas? Biasanya kelas di @akberdepok berbentuk sharing cerita, biar nggak terlampau formal. Tiap pemateri sharing perjalanannya tentang dunia kepenulisan. Kenapa kecemplung di ranah menulis, bagaimana menjalaninya, dan apa pula tantangannya. Hmm, dalam tulisan kali ini saya nggak akan membahas semuanya, bisa jadi skripsi baru nanti kalau ulasannya lengkap ;p

Nia—panggilan akrab Rachmania Arunita—menulis Eiffel I’m in Love di usia 15 tahun. It’s wow! Dulu di usia segitu, kita ngapain ya? Hahaha. Lupakan. Singkat cerita, Nia memang suka menulis. Awalnya hanya menulis cerita yang pendek—terinspirasi karena Nia suka dengan kakak kelasnya (Adit), tapi nggak tau harus bagaimana menyampaikan perasaannya pada Adit—lalu dia memberanikan diri membiarkan teman-temannya membaca tulisannya. Ternyata, banyak teman yang memberi usul ini itu. Dikembangkanlah cerita yang pendek tadi menjadi cerita yang panjang. Mulai dari memfotokopi novel untuk dijual ke teman-temannya, bahkan fotokopiannya dijual oleh pihak lain tanpa sepengetahuan Nia, sampai akhirnya novel itu dibaca oleh seorang profesor psikologi UI, dan bertemu banyak orang hingga diminta menulis skenario Eiffel I’m in Love, dari situlah awal kehidupan sebagai penulis. Perjalanan panjang yang menarik!

Lain halnya dengan Oka Aurora. Perempuan alumni teknik elektro yang—akhirnya—resign dari perusahaan telekomunikasi setelah 12 tahun mengabdi, memilih membuka kedai kopi bersama suaminya sekarang. Berawal dari pertemuannya dengan salah satu penulis skenario kawakan, ia ‘dipaksa’ menulis. Kemudian, Oka mengikuti workshop kepenulisan selama beberapa waktu. Sampai akhirnya ditantang menulis novel dari skenario film 12 Menit. Hal ini sangat berkebalikan dengan yang dilakukan Nia—novel diadaptasi menjadi skenario. Tantangannya tentu berbeda. Di tengah kesibukan ibu rumah tangga, mengurus anak-anaknya yang masih kecil, ia harus bisa mencuri-curi waktu menyelesaikan tulisannya. Menyuapi anak dan memasak sembari menulis. Seorang ibu memang dituntut multitasking. Tapi, Oka melakukannya lebih dari multitasking saya rasa.

Pemateri kelas writing novels cukup bervariatif. Nia, di usia yang masih sangat muda; Oka, dengan latar belakang ajaibnya; terakhir, Anggun, seorang guru bahasa Inggris yang gemar menulis cerita pendek (cerpen). Anggun memang senang menulis, meskipun keluarganya tidak mendukung hobinya. Ia pun mencari ‘keluarga baru’ untuk memacu semangat menulisnya. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, juga Media Indonesia. Novelnya—After Rain—bersumber dari cerpen-cerpennya yang ia kembangkan idenya menjadi lebih luas.

Berbekal dari situ, saya berefleksi sekaligus merasa kalah oleh ego pribadi karena dua bulan terakhir sangat jarang menulis. Padahal kalau menyangkut ide, setiap hari pasti ada yang bisa dikembangkan untuk dijadikan sebuah tulisan. Tinggal penulisnya saja, mau atau tidak meluangkan waktu untuk menulis. Hahaha. Note to my self banget lah ini. Semoga di tahun 2013 ini—yang sebentar lagi berakhir—saya bisa rutin menulis setiap hari, meski hanya satu kalimat, hmm premis sih lebih tepatnya. How about you?

16.12.13

Setop Junk Food!

Cerita ini berawal dari obrolan teman-teman di DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)—Ikhsan, juga Mba Lidya—yang sedang menunggu jam workshop dramaturgi dimulai. Kebetulan saya menjadi salah satu panitia penyelenggara, dari situlah akhirnya mengenal Ikhsan (aktor), dan Mba Lidya (rekan DKJ). Kami mulai akrab justru di hari-hari terakhir acara—seperti biasa. Waktu itu, Ikhsan heboh mengabarkan bahwa setiap hari Rabu, salah satu kedai ayam selalu memberikan diskon 50% dari harga normal. Dia pun sempat mengajak kami ke kedai ayam terdekat di sekitar Stasiun Cikini.

Tadinya saya hampir mengiyakan ajakannya, tapi obrolan kami kemudian beralih. Ikhsan pelan-pelan membeberkan beberapa alasan tentang ayam diskonan tersebut. Pertanyaan dimulai dari “mengapa ayam di kedai mereka besar, berdaging putih, empuk, dan enak?” siapa sih yang tidak tergoda? Tak usah didiskon pun, kita akan tetap mampir kok. Apalagi ini punya embel-embel 50%, beuh! Makin lengkap untungnya. Kembali ke pertanyaan di atas. Dalam prosesnya, si ayam disuntik, diberi berbagai campuran bahan kimia, dan proses-proses lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan di sini. Pastinya, kedai ayam itu tidak mungkin melakukan proses dalam waktu singkat: ayam hidup, dipotong, dibersihkan, lalu diberi tepung, dan digoreng, kemudian dihidangkan. No!

Pernah kepikiran nggak, ayam yang tidak laku terjual di hari Senin—misalnya—akan diapakan? Mungkin bisa sih, disimpan dan digoreng lagi untuk hari Selasa. Tapi, proses menggoreng ulang ini tentunya akan menambah ‘dosa’ kesehatan. Atau, bisa juga didaur ulang. Well, saya tidak bisa menjelaskan seperti apa teknisnya. Serem. Hahaha.

Begitu juga dengan menu lain seperti kentang, roti tangkup isi daging dan sayur—yang hanya seiprit—dan minuman bersoda dalam ukuran kecil, sedang, juga besar, kadang menjadi pilihan bagi yang bosan dengan ayam. Sehat nggak sih? Sebenernya nggak jauh beda dengan ayam. Ikhsan juga cerita, pernah ada kasus pembuktian bahwa makanan tersebut sangat tidak sehat. “Pas periksa, harus dioperasi ternyata. Dibalik usus, ternyata sampah semua, dan busuk.” Kira-kira begitulah kalimatnya. Dengan kondisi begitu, segala macam penyakit lebih cepat menyerang. Diabetes, kolesterol, darah tinggi, penyakit jantung dan paru-paru, sakit ginjal dan lambung, juga penyakit kelamin.

Itu baru sebagian kecil pertanyaan yang muncul, belum menyangkut dosa dan kejahatan lain. Wallaahua’lam. Gara-gara ini juga, saya dikasih tontonan dari kanal youtube berjudul “Super Size Me”. Sila dicari sendiri ya. Dokumenter tentang kedai ayam dan sebagian dosanya. Dan yang paling penting, saya berhasil tidak tergoda junk food (juga mi instan) selama empat bulan. Fuh! Berat memang, tapi harus dimulai dan dibiasakan dari sekarang. Bisa? Ya bisa lah. Saya nggak mau merusak tubuh sendiri. Nggak ada toko yang jual onderdil organ dalam yang orisinil soalnya. Aneh aja, ketika kita sakit, mohon-mohon supaya lekas sehat. Pas dikasih sehat, dibiarkan sakit. So, what do you want sih?

Ini sekadar opini memang. Karena hakikatnya cuma ada dua pilihan: mempertahankan hidup atau mempercepat kematian. 

14.12.13

JGTC 2013: Feel The Night

Perhelatan Jazz Goes To Campus tak berhenti sampai sore semata. Hujan deras yang mulai mengguyur area konser tak menghalangi riuh penonton. Semakin malam justru semakin banyak yang berdatangan menuju panggung. Mereka menunggu Depapepe, Kyoto Jazz Massive, Tulus, atau mungkin Raisa. JGTC 36 memang lebih berwarna dari JGTC sebelumnya, terutama dari segi pengisi acara.
Idang Rasjidi - Oele Pattiselanno - Iwan Wiradz - Yance Manusama
Mendengar kata jazz, rasanya tak lengkap jika tidak menyebut musisi yang telah lama menyelami genre jazz. Idang Rasjidi. Ya, Idang mulai dikenal pada tahun 1989 karena piawai memainkan piano, juga sering membawakan lagu dalam alunan mind blowing. Pada JGTC lalu, Idang sepanggung bersama Oele Pattiselanno—seorang gitaris jazz. Juga Iwan Wiradz—percussionist—dan Yance Manusama, bassist jazz. Perpaduan yang apik dan sempurna ini semakin bernyawa karena Sastrani Titaranti, vokalis dengan range oktaf cukup tinggi menambah kesyahduan panggung Jazz It Your Way.

Pada acara Ngayogjazz November lalu di Jogja, Idang sempat mengajak Yendri Blacan untuk menyanyikan lagu dengan aransemen jazz melayu. Malam itu, seorang bassist muda berusia 15 tahun juga ikut menyemarakkan aksi panggung Idang Rasjidi dalam Syndicate. Namanya Samuel Song. Keduanya meraih penghargaan: Idang Rasjidi mendapat Lifetime Achievement 2013, sedangkan Samuel Song—sang bassist muda—memeroleh predikat Young Talent 2013 pada JGTC kali ini.

Beda panggung, beda pula suasananya. Penonton khusyuk duduk lesehan di halaman depan FE, panggung Mandiri. Mereka sudah siap menyambut penampilan Monita Tahalea and The Nightingales. Selain Chaka Priambudi (bass), Yoseph Sitompul (piano), Jessi Mates (drum), Gerald Situmorang (acoustic guitar), dan Ricad Hutapea (saxophone), Monita memboyong dua pemain lagi, yakni Kenny Gabriel (trumpet) dan Fajar (trombone) sebagai pelengkap grupnya malam itu.
Monita and The Nightingales
Lagu Somewhere Over The Rainbow dibawakan oleh mereka dalam aransemen yang menarik, menimbulkan kesan manis dan melankolis. Monita—dengan suara tipis khasnya—mengajak penonton untuk ikut bernyanyi bersama di lagu tersebut. Tidak hanya itu, ia juga menyempatkan berkomunikasi (chit-chat) dengan penonton sebelum membawakan lagu Senja—lagu yang menyempurnakan kegalauan para penggemarnya.

Mari bersepakat bahwa musik jazz tidak melulu bertempo lambat atau ballad. Beragam aransemen telah ada dalam genre musik jazz itu sendiri. Sebut saja Barry Likumahuwa Project (BLP). Kali ini, BLP menyuguhkan “Tribute to Miles Davis” bersama Benny Likumahuwa (trombone), Jordy Waelauruw (trumpet), dan Bubugiri. Lagu Milestones, Kind of Blue, dan medley All Blues-So What-Blue In Green menjadi lagu andalan untuk mengenalkan Miles Davis kepada penonton. Penampilannya di Telkomsel Stage mampu menggabungkan feel jazz dengan fusion, juga kombinasi funk soul rhythm dalam lagu Unity, Generasi Synergy, dan lagu barunya: Inner Light. Ketiga lagu ini berhasil membuat penonton ‘jejingkrakan’ di depan panggung dengan penuh energi.
BLP feat. Bubugiri
Meski malam semakin larut, dan gerimis belum juga surut, penonton JGTC masih setia menanti penampilan Dwiki Dharmawan Quartet di BCA Stage. Dari beberapa lagu yang dibawakan, tampaknya lagu Janger menjadi senjata pamungkas yang menyita tepuk tangan penonton. Dwiki mengajak Dika Chasmala (violin), Sandy Winarta (drum), dan Kevin Yosua (bass) membawakan lagu tersebut bersama Rega Dauna. Salah satu putra Glen Dauna yang piawai memainkan harmonica. Tone yang dibunyikan Rega tak usah ditanya kualitasnya, meski ia terbilang sangat muda. Juga Syaharani, penyanyi bersuara jazzy ini membuat penampilan Dwiki Dharmawan Quartet semakin melegenda di telinga penggemarnya.
Dwiki Dharmawan Quartet
Dwiki Dharmawan feat. Syaharani
Andien - Tompi
Menutup pergelaran Jazz Goes To Campus, tentunya belum afdol jika tanpa penampilan kolaborasi antarmusisi. Setelah penonton puas dimanjakan dengan debut Tompi yang membawakan lagu Lulu dan Siti, Selalu Denganmu, Tak Pernah Setengah Hati, kolaborasi pun disajikan. Mulai dari Andien, Barry Likumahuwa, hingga Dwiki Dharmawan. Lagu Treasure milik Bruno Mars pun disulap menjadi “lagu mereka”. Unjuk kualitas Tompi, Andien, Barry, dan Dwiki memang menjadi penutup yang pas. So, jangan sampai absen di JGTC 2014, guys!
**photo by: @fajarnuansa dan @idhaumamah

JGTC 2013: Groovy Your Evening

Siapa bilang kampus hanya untuk urusan akademis? Jika benar demikian, maka ada yang tidak seimbang dalam tatanan tersebut. Jazz Goes To Campus (JGTC), festival jazz yang telah 36 kali diadakan di kampus perjuangan, mampu memberi warna baru, juga penyeimbang jiwa. Terbukti bahwa seni memang tidak bisa dipisahkan dari apa pun. Pergelaran musik yang satu ini tak pernah luput mencuri perhatian masyarakat sekitar Jakarta—khususnya kampus Universitas Indonesia. Konser yang bertajuk “Jazz It Your Way”, 1 Desember 2013 lalu berhasil memeriahkan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI). Ribuan penonton memadati area konser yang terbagi dalam empat panggung: Telkomsel Stage, Mandiri Stage, BCA Stage, dan Jazz It Your Way Stage.

JGTC tahun ini dimeriahkan oleh sekitar 40 artis lokal maupun internasional. Sebut saja Pretty Lotion, band yang digawangi oleh Eron Lebang (vocal), Agi Anggadarma (synthesizer), Ben Atta (keyboard), dan Satrio Pratomo (bass), mengusung jazz semi-reggae, neo soul, hip-hop, juga electronic seperti pada lagu DYNAMITE ft. Mysterious Misses. Jebolan SAE Institue Jakarta ini memang menyuguhkan warna segar dan atraktif dalam aransemen mereka.

Lain halnya dengan Soundscapes, lagu Prasangka dan Workout yang kental dengan funk jazz dan fusion mampu membawa penonton ke ranah yang berbeda. David A. Doloksaribu (keyboard), Made Widhia (bass), Kevin Dwi (drum), Yenezkiel D. Sumarauw (drum), Jonathan (saxophone), Happy Andrian (vocal), Stefanus (guitar), dan Hendry Wijaya (keyboard), memukau penonton di Jazz It Your Way Stage. Meskipun usia mereka tak lebih dari 20 tahun, kualitas permainan musiknya patut diacungi jempol.

Mandiri Stage juga tak kalah ramai. Penampilan dari Revival Generation Project (RGP) cukup unik. Mengusung tema etnik—selain berbatik—lagu-lagu yang mereka bawakan juga terasa “Indonesia” dalam lagu andalannya: Trip to Riau dan Rayuan Pulau Kelapa. Satu lagu yang berhasil mencuri perhatian penonton adalah Judgement Day. Suara Ria Septiani (vocal) memberi efek mistis dalam lagu tersebut. Ria dan personelnya: Fernando Sutarli (guitar), Nadya Belansky (piano), Marvin Triyanto (bass), dan Titus Bayu (drums) bermain di ranah blues, swing dan rock’n roll. Meskipun tanpa sketching, jazz-nya tetap terasa. Hal ini membuktikan bahwa musik jazz dapat dibumbui dengan berbagai macam aransemen tanpa menghilangkan unsur murni jazz.
RGP
Seperti biasa—pada JGTC sebelumnya—mendung terus menyelimuti seluruh panggung. Tentunya hal ini tidak menggoyahkan sedikit pun niat para penonton untuk batal menyaksikan musisi idolanya unjuk gigi. Beruntung, cuaca siang hari tak sepanas biasanya. Hanya rintik gerimis yang menjadi pemanis JGTC hingga sore tiba. Penonton masih tetap asyik menikmati alunan musik dari empat panggung tersebut. Apalagi penonton setia Bubugiri. Mereka rela berteduh di bawah guyuran hujan, tepat di depan Telkomsel Stage. Suasana sore hari semakin groovy saat Bubugiri naik pentas. Petikan gitar dari Giri cukup melenakan para penggemarnya.
Bubugiri feat. Indra Dauna
Kali itu, Bubugiri membuka penampilannya dengan musik scoring dari film Sokola Rimba. Mereka berdua memang dipercaya mengisi scoring dalam pembuatan film Mira Lesmana dan Riri Riza. Kemudian, tak ketinggalan lagu Message In The Bottle (The Police) dan Englishman In New York (Sting) yang dikemas oleh suara khas Bubu. Kedua lagu ini terasa spesial dengan bubuhan terompet dari Indra Dauna. Tak lupa, medley sting Esperanza Spalding (I Know You Know) juga dibawakan sebagai lagu pamungkas mereka. Lengkap sudah, Bubugiri menjadi sajian yang pas di penghujung sore saat itu.

**photo by: @fajarnuansa

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...