16.12.13

Setop Junk Food!

Cerita ini berawal dari obrolan teman-teman di DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)—Ikhsan, juga Mba Lidya—yang sedang menunggu jam workshop dramaturgi dimulai. Kebetulan saya menjadi salah satu panitia penyelenggara, dari situlah akhirnya mengenal Ikhsan (aktor), dan Mba Lidya (rekan DKJ). Kami mulai akrab justru di hari-hari terakhir acara—seperti biasa. Waktu itu, Ikhsan heboh mengabarkan bahwa setiap hari Rabu, salah satu kedai ayam selalu memberikan diskon 50% dari harga normal. Dia pun sempat mengajak kami ke kedai ayam terdekat di sekitar Stasiun Cikini.

Tadinya saya hampir mengiyakan ajakannya, tapi obrolan kami kemudian beralih. Ikhsan pelan-pelan membeberkan beberapa alasan tentang ayam diskonan tersebut. Pertanyaan dimulai dari “mengapa ayam di kedai mereka besar, berdaging putih, empuk, dan enak?” siapa sih yang tidak tergoda? Tak usah didiskon pun, kita akan tetap mampir kok. Apalagi ini punya embel-embel 50%, beuh! Makin lengkap untungnya. Kembali ke pertanyaan di atas. Dalam prosesnya, si ayam disuntik, diberi berbagai campuran bahan kimia, dan proses-proses lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan di sini. Pastinya, kedai ayam itu tidak mungkin melakukan proses dalam waktu singkat: ayam hidup, dipotong, dibersihkan, lalu diberi tepung, dan digoreng, kemudian dihidangkan. No!

Pernah kepikiran nggak, ayam yang tidak laku terjual di hari Senin—misalnya—akan diapakan? Mungkin bisa sih, disimpan dan digoreng lagi untuk hari Selasa. Tapi, proses menggoreng ulang ini tentunya akan menambah ‘dosa’ kesehatan. Atau, bisa juga didaur ulang. Well, saya tidak bisa menjelaskan seperti apa teknisnya. Serem. Hahaha.

Begitu juga dengan menu lain seperti kentang, roti tangkup isi daging dan sayur—yang hanya seiprit—dan minuman bersoda dalam ukuran kecil, sedang, juga besar, kadang menjadi pilihan bagi yang bosan dengan ayam. Sehat nggak sih? Sebenernya nggak jauh beda dengan ayam. Ikhsan juga cerita, pernah ada kasus pembuktian bahwa makanan tersebut sangat tidak sehat. “Pas periksa, harus dioperasi ternyata. Dibalik usus, ternyata sampah semua, dan busuk.” Kira-kira begitulah kalimatnya. Dengan kondisi begitu, segala macam penyakit lebih cepat menyerang. Diabetes, kolesterol, darah tinggi, penyakit jantung dan paru-paru, sakit ginjal dan lambung, juga penyakit kelamin.

Itu baru sebagian kecil pertanyaan yang muncul, belum menyangkut dosa dan kejahatan lain. Wallaahua’lam. Gara-gara ini juga, saya dikasih tontonan dari kanal youtube berjudul “Super Size Me”. Sila dicari sendiri ya. Dokumenter tentang kedai ayam dan sebagian dosanya. Dan yang paling penting, saya berhasil tidak tergoda junk food (juga mi instan) selama empat bulan. Fuh! Berat memang, tapi harus dimulai dan dibiasakan dari sekarang. Bisa? Ya bisa lah. Saya nggak mau merusak tubuh sendiri. Nggak ada toko yang jual onderdil organ dalam yang orisinil soalnya. Aneh aja, ketika kita sakit, mohon-mohon supaya lekas sehat. Pas dikasih sehat, dibiarkan sakit. So, what do you want sih?

Ini sekadar opini memang. Karena hakikatnya cuma ada dua pilihan: mempertahankan hidup atau mempercepat kematian. 

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...