Langsung ke konten utama

Refleksi Menulis

Sedih. Liat jumlah tulisan di blog tahun 2012 dengan 2013. Yang ada justru penurunan intensitas menulis. Kebetulan, saya adalah orang yang percaya dengan pernyataan “kuantitas memengaruhi kualitas”. Ya mungkin bisa saja membela diri dengan berbagai alasan. Harusnya bukan tak ada waktu luang, melainkan meluangkan waktu. Tamparan untuk diri sendiri sih ini.

By the way, Sabtu lalu @akberdepok mengadakan kelas writing novels. Bersyukur karena akhirnya bisa hadir juga. Ini kali kedua saya menyempatkan untuk bergabung di kelas @akberdepok—sebelumnya di kelas international journalism. Mengapa saya datang? Alasan utamanya karena mau ketemu Oka Aurora, penulis novel 12 Menit. Selama ini cuma akrab berbalas mention di twitter, masa nggak pernah ketemu orangnya. Feel excited pas salaman sama orangnya, kemudian berlanjut diskusi tentang marching band (MB). Hahaha. Tetep ya, alasan utamanya nggak lepas dari MB.
 
Pemateri dan Peserta @AkberDepok, 14 Desember 2013
Selain Oka Aurora, narasumber lainnya: Rachmania Arunita (penulis novel Eiffel I’m in Love), juga Anggung Prameswari (penulis After Rain). Semuanya perempewi bok, perempuan maksudnya. Ngapain aja di kelas? Biasanya kelas di @akberdepok berbentuk sharing cerita, biar nggak terlampau formal. Tiap pemateri sharing perjalanannya tentang dunia kepenulisan. Kenapa kecemplung di ranah menulis, bagaimana menjalaninya, dan apa pula tantangannya. Hmm, dalam tulisan kali ini saya nggak akan membahas semuanya, bisa jadi skripsi baru nanti kalau ulasannya lengkap ;p

Nia—panggilan akrab Rachmania Arunita—menulis Eiffel I’m in Love di usia 15 tahun. It’s wow! Dulu di usia segitu, kita ngapain ya? Hahaha. Lupakan. Singkat cerita, Nia memang suka menulis. Awalnya hanya menulis cerita yang pendek—terinspirasi karena Nia suka dengan kakak kelasnya (Adit), tapi nggak tau harus bagaimana menyampaikan perasaannya pada Adit—lalu dia memberanikan diri membiarkan teman-temannya membaca tulisannya. Ternyata, banyak teman yang memberi usul ini itu. Dikembangkanlah cerita yang pendek tadi menjadi cerita yang panjang. Mulai dari memfotokopi novel untuk dijual ke teman-temannya, bahkan fotokopiannya dijual oleh pihak lain tanpa sepengetahuan Nia, sampai akhirnya novel itu dibaca oleh seorang profesor psikologi UI, dan bertemu banyak orang hingga diminta menulis skenario Eiffel I’m in Love, dari situlah awal kehidupan sebagai penulis. Perjalanan panjang yang menarik!

Lain halnya dengan Oka Aurora. Perempuan alumni teknik elektro yang—akhirnya—resign dari perusahaan telekomunikasi setelah 12 tahun mengabdi, memilih membuka kedai kopi bersama suaminya sekarang. Berawal dari pertemuannya dengan salah satu penulis skenario kawakan, ia ‘dipaksa’ menulis. Kemudian, Oka mengikuti workshop kepenulisan selama beberapa waktu. Sampai akhirnya ditantang menulis novel dari skenario film 12 Menit. Hal ini sangat berkebalikan dengan yang dilakukan Nia—novel diadaptasi menjadi skenario. Tantangannya tentu berbeda. Di tengah kesibukan ibu rumah tangga, mengurus anak-anaknya yang masih kecil, ia harus bisa mencuri-curi waktu menyelesaikan tulisannya. Menyuapi anak dan memasak sembari menulis. Seorang ibu memang dituntut multitasking. Tapi, Oka melakukannya lebih dari multitasking saya rasa.

Pemateri kelas writing novels cukup bervariatif. Nia, di usia yang masih sangat muda; Oka, dengan latar belakang ajaibnya; terakhir, Anggun, seorang guru bahasa Inggris yang gemar menulis cerita pendek (cerpen). Anggun memang senang menulis, meskipun keluarganya tidak mendukung hobinya. Ia pun mencari ‘keluarga baru’ untuk memacu semangat menulisnya. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, juga Media Indonesia. Novelnya—After Rain—bersumber dari cerpen-cerpennya yang ia kembangkan idenya menjadi lebih luas.

Berbekal dari situ, saya berefleksi sekaligus merasa kalah oleh ego pribadi karena dua bulan terakhir sangat jarang menulis. Padahal kalau menyangkut ide, setiap hari pasti ada yang bisa dikembangkan untuk dijadikan sebuah tulisan. Tinggal penulisnya saja, mau atau tidak meluangkan waktu untuk menulis. Hahaha. Note to my self banget lah ini. Semoga di tahun 2013 ini—yang sebentar lagi berakhir—saya bisa rutin menulis setiap hari, meski hanya satu kalimat, hmm premis sih lebih tepatnya. How about you?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68! Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah. Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. M