23.6.13

............

Setiap jengkal, mengurai jeda
Mengucapkan selamat pagi pada asmara
Meluruhkan dosa semesta

Berlari menuju langit malam
Menyergap gumpalan kabut yang tak pernah surut
Seketika itu, kita tak lagi berjabat rindu

Lalu, kaupanggil jua potongan subuh pada tubuh yang lusuh
Membangunkan alam dari buai larut
Memintaku segera berdebat dengan kenyataan.

20.6.13

Kehilangan Mei

Kurasa, aku lebih tabah dari hujan di bulan Juni.
Segala lara ditimpa atas rasa.
Bersembunyi dibalik langit-langit Tuhan.

Tak mengenal musim.
Tak menjejak bulan.
Tak melawan matahari.

: aku kini.

                                                                                      seperti Sapardi--aku kehilangan Mei.

Jelma - Menjelma

Perempuan itu—cuma kadang-kadang—susah dimengerti.
Selebihnya baik-baik saja.
Saya juga perempuan, tapi juga kadang menjelma lelaki.
Bahkan, lebih terlihat kuat dibanding lelaki asli.
Tak percaya?
Aku juga.
Jadi, jangan percaya!
Itu kuncinya.
Gampang.

Sederhana.

Kau Pada Kertasku

Surat-suratmu yang dulu, kini menguap bersama angin.
Katanya, tak sehat kalau terlalu meretas masa lalu.

“ah, masa?”
“mengapa kau tak percaya saja?”

Sudahlah, ini bukan urusanmu lagi.
Tentunya, ingatan tentang goresan huruf-hurufmu pada kertas bergaris masih melekat.
Kau boleh saja tertawa hidup-hidup!

Tentang kekasih.
Tahbisan kata yang belum sempat kausampaikan.
Atau mungkin memang sepertinya sengaja dipendam.
Karena kita punya banyak alasan.
Untuk tak saling serang.

Untuknya.
Untuknya.
Jalan kecil pun punya jeda antardindingnya.
Ya, mungkin kau tak lebih tau dariku—lagi lagi tentang mungkin.
Karena aku tak terlalu percaya pada pasti.

Mei saja berani kau khianati,

Kasih.

16.6.13

Kau Harus Dengar!

Sudah saya katakan sebelumnya, dunia semakin bising; semua orang ingin didengar; setiap orang (kadang) ingin dirinya dianggap penting pada koloni-koloni masing-masing. Entah, lebih baik kita sama berdoa supaya tanah, air, juga udara tak ikut-ikutan pening. Manusia mana yang tak murka?

Saban yang bernyawa punya rasa. Haus puji, dan puja. Terlena; lupa; lupa yang sangat lama, sedikit-sedikit hati jadi beku—bahkan tak terasa.

Terasing, benar-benar hanya perlu muncul atas nama diri sendiri—tanpa orang lain. Belum sudi, katanya.

Pelan-pelan sadar, bahwa Tuhan sengaja memberi dua telinga: agar manusia lebih banyak mendengar; berpikir dengan mendengar; bertindak dengan mendengar; melihat dengan mendengar; meraba dengan mendengar; memahami sesuatu dengan mendengar; peka sekitar dengan mendengar. Padahal, kau tak perlu susah-susah untuk mendengar. Sederhana. Tak butuh biaya tambahan untuk lebih mendengar.

Listen more, learn more.
Padahal, firman Tuhan sangat jelas tertulis di kitab-kitab. Dia hanya memberi satu mulut pada manusia. Satu saja racaunya tak berguna, apalagi dua; tiga?!

Manusia-manusia yang penuh keluhan penyesalan, kapan kau berhenti menyesal? Ketika sudah tak bernyawa lagi? Ketika nurani telah mati? Atau, setelah kau bangun dari khayalan-khayalan tak bertuan yang kau imani?

Pupus.
Dunia (benar-benar) akan mati perlahan.
Tanpa manusia yang mau menurunkan derajat keegoannya yang telanjur tumbuh subur.
Karena, hidup bukan sekadar kelakar panjang-lebar, melainkan tentang sadar—arti mendengar.

Kau boleh saja ada di pihak lawan—yang lebih suka mengeluarkan stok tumpukan kata.
Namun, kau juga harus tahu bahwa—pada hakikatnya—Tuhan tak pernah banyak bicara; Dia mendengar. Tak ada Maha Berbicara; Maha Berkata, yang ada hanya Maha Mendengar.

Memahami skenario dari Sutradara sebelum memilih peran, dan menjadi lakon sandiwara kehidupan: kewajiban—adalah ihwal—yang kau pun tak perlu tahu apa sebab sehingga diwajibkan—yang sepatutnya dijalankan.

13.6.13

Begini


Dunia sudah terlampau bising,
sedang aku lebih padu dengan telingaku.
Gema suara di tengah udara malam tadi menggagalkan sebuah sakralisasi.

Bingung.
Lalu, murung.
Pelik.
Lalu, ingin mati.


Ya, cukup begini.

12.6.13

Tentang Malam Yang Kalut


Sebelum terpejam, aku terbiasa diterkam. Pikiran-pikiran busuk lari tanpa tujuan.
Juga gagasan-gagasan manis menjanjikan tak hentinya selesai.
Otak cuma menghadirkan rentetan data yang telanjur disimpan.
Apalagi tentang kenangan, tak sedikitpun berantakan. Masih rapi.
Meski saat ini tak lagi menyatu seperti dulu.

Obituari dan tragedi sekadar saksi, saksi bahwa selama perjalanan menuju rimba raya sempat tersendat.
Mampir sejenak di pemberhentian.

Kemudian, tak berapa lama melanjutkan untuk pulang diam-diam—mungkin saja.

Teka Teki Pagi


Pagi tadi, ada bongkahan gelisah menggelayut pada dinding tubuh
Entah apa
Bangun, buru-buru merapal namanya
Khawatir atas ketakutan yang terlampau panjang
Seperti ada seseorang yang mengejar
Menginginkan sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa itu

Segera kulayangkan pesan pendek pada mereka
Meminta meyakinkan bahwa aku akan baikbaik saja seperti biasa

Namun, belum kutemukan jawabannya.

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...