Sudah saya katakan sebelumnya, dunia semakin bising; semua orang ingin
didengar; setiap orang (kadang) ingin dirinya dianggap penting pada
koloni-koloni masing-masing. Entah, lebih baik kita sama berdoa supaya tanah,
air, juga udara tak ikut-ikutan pening. Manusia mana yang tak murka?
Saban yang bernyawa punya rasa. Haus puji, dan puja. Terlena; lupa;
lupa yang sangat lama, sedikit-sedikit hati jadi beku—bahkan tak terasa.
Terasing, benar-benar hanya perlu muncul atas nama diri sendiri—tanpa orang
lain. Belum sudi, katanya.
Pelan-pelan sadar, bahwa Tuhan sengaja memberi dua telinga: agar
manusia lebih banyak mendengar; berpikir dengan mendengar; bertindak dengan
mendengar; melihat dengan mendengar; meraba dengan mendengar; memahami sesuatu
dengan mendengar; peka sekitar dengan mendengar. Padahal, kau tak perlu
susah-susah untuk mendengar. Sederhana. Tak butuh biaya tambahan untuk lebih mendengar.
Listen more, learn more.
Padahal, firman Tuhan sangat jelas tertulis di kitab-kitab. Dia hanya
memberi satu mulut pada manusia. Satu saja racaunya tak berguna, apalagi dua;
tiga?!
Manusia-manusia yang penuh keluhan penyesalan, kapan kau berhenti
menyesal? Ketika sudah tak bernyawa lagi? Ketika nurani telah mati? Atau,
setelah kau bangun dari khayalan-khayalan tak bertuan yang kau imani?
Pupus.
Dunia (benar-benar) akan mati perlahan.
Tanpa manusia yang mau menurunkan derajat keegoannya yang telanjur
tumbuh subur.
Karena, hidup bukan sekadar kelakar panjang-lebar, melainkan tentang
sadar—arti mendengar.
Kau boleh saja ada di pihak lawan—yang lebih suka mengeluarkan stok
tumpukan kata.
Namun, kau juga harus tahu bahwa—pada hakikatnya—Tuhan tak pernah
banyak bicara; Dia mendengar. Tak ada Maha Berbicara; Maha Berkata, yang ada
hanya Maha Mendengar.
Memahami skenario dari Sutradara sebelum memilih peran, dan menjadi
lakon sandiwara kehidupan: kewajiban—adalah ihwal—yang kau pun tak perlu tahu
apa sebab sehingga diwajibkan—yang sepatutnya dijalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar