13.5.13

Matahari boleh saja tenggelam, tapi rindu kita jangan
—Idha Umamah


Bulan lalu,
tak ada pertemuan.
Kata-kata sederhana pun tak muncul di percakapan.
Kurang tau apa sebab.
Tak lain dan tak bukan,
sekadar karena terkesiap jarak.

Sengaja tanpa perayaan.
Kau bilang, “di lain waktu saja menyingkap jedanya”
Seketika itu pula aku mendadak mati.
Bukan mati suri,
aku benar-benar mati.
__________________________________________

Kemudian,
tiba-tiba sadar; bangun.

Menciptakan lajur baru yang beberapa hari lalu kuabaikan.
Tak berapa lama, datang pula kejutan-kejutan.
Itu pasti dari rindu!
Ya,
Rindu.

11.5.13

motivasi kadang datang tanpa diundang

Contohnya:
Setelah—secara nggak sengaja—ketemu temen baru, yang adalah temennya temen gw. Hidup supersehat. Nggak nanggung-nanggung sehatnya—iya, nggak kayak gw, yang nanggung.

Seru, seneng rasanya punya temen yang bisa diajak berbagi mengenai kesehatan. Dalam kamus hidup gw, nggak tebersit untuk mengamini “mumpung masih muda, nikmati aja makanan yang ada—apapun”. No! gw pernah bilang kan, kalau apa yang ada di diri kita sekarang adalah investasi masa depan. Abstrak memang. Nggak semua orang bisa mengamini pernyataan itu, apalagi mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Satu hal yang gw salut dari dia adalah kekonsistenan dan stabilitas atas rutinitas yang dia lakukan. Lagi-lagi konsisten. Jadi inget MB—yasudahlah, haha.

Gw—yang beberapa hari ini telah melakukan ‘dosa’ karena menjadi seorang ‘omnivora’—akhirnya sadar bahwa gw harus cepat-cepat kembali ke rutinitas awal gw agar tetap sehat. Terdengar nggak penting dan klasik. Penuh klise. Atau ‘yaelah Dha, gitu doang, jangan lebay deh’.

Kami sempet cerita-cerita tentang makanan apa aja yang dimakan sehari-hari selama ini. Hingga pada akhirnya menghasilkan satu kesimpulan bahwa makanan sehat itu ‘kadang’ mahal/lebih mahal dari makanan ‘kotor’ (red.).

Contoh kasat matanya adalah, makanan macem roti gandum, selai kacang, yoghurt, susu rendah lemak, dan makanan pendukung lainnya—yang bisa jadi variasi biar nggak bosen—memang lebih mahal dari yang lain. Yaaa, kecuali sayur-sayuran, telur, tempe, dan tahu. Buah-buahan pun kadang mahal. Pasalnya, dalam satu hari, makan normal itu harusnya bisa sampai 5 atau 6 kali, atas asas ‘makanlah setelah lapar-berhenti makan sebelum kenyang’. Sebaliknya, kebiasaan sebagian besar orang adalah makan sebelum lapar dan nggak akan berhenti sebelum kenyang. CMIIW.

Jadi, di artikel ini, sebenernya gw mau ngomongin apa sih? Hahaha. Nyebrang sana nyebrang sini. Gapapalah, nyampahnya semoga bermanfaat. Syukur-syukur bisa membuka mata.

Atas pertemuan itulah, motivasi gw hidup kembali. Hahaha. Maka dari itu, bagi temen-temen yang masih nanggung kayak gw, mari tuntaskan! Totalitas. Dan, bagi temen-temen yang masih ragu, ‘buat apa sih hidup sehat nyiksa gitu?’, ya terserah aja. Gw lebih memilih menyelamatkan masa tua gw nantinya, daripada harus telentang di rumah sakit dan menjalankan berbagai macam terapi/minum obat karena kebanyakan penyakit. Bebas milih kok :’)

7.5.13

Tentang Kartu Pos Yang Belum Kau Terima



November 2012 lalu, sebelum berangkat ke Thailand untuk ikut kompetisi marching band di Ubon Ratchathani, gw iseng-iseng kirim kartu pos. Ceritanya, waktu itu, KOMPAS punya acara Kompasianival di Gandaria City. Cukup beragam, ada stand up comedy show—yang adalah GePamungkas. Lalu, ada juga bazaar. Nah, di salah satu booth bazaar di sana, ada booth CardToPost. Wah, apakah ini? Sila tengok lebih jauh tentang CardToPost di sini.

Gw dan beberapa teman, tertarik untuk tanya-tanya lebih lanjut, hingga akhirnya ditawari bikin kartu pos sendiri. Ya, komunitas CardToPost yang menyediakan kartu posnya, kemudian kami yang menghiasnya dengan gambar dan kata. Nanti, mereka yang ngirim ke alamat tujuan secara kolektif. Intinya, yang datang hanya perlu ngehias-hias kartu pos, nulis ucapan, bayar biaya perangko, selesai.

Akhirnya, gw memutuskan untuk ngirim satu kartu pos itu ke sahabat gw yang ada di luar Jakarta. Kebetulan, beberapa malam sebelumnya, dia sempat cerita tentang tingkat stresnya yang mulai meningkat. Gw pengin banget bisa—setidaknya—memberi sedikit kejutan; at least biar dia senyum begitu nerima kartu pos dari gw. Sekalian pamitan karena gw akan berangkat ke Thailand. Tadinya gw punya tujuan demikian.

Pas gw tanya ke salah satu rekan CardToPost, akan sampai tujuan dalam waktu berapa hari, dia bilang, kartu posnya akan sampai dalam seminggu-an. Baiklah, nggak terlalu lama dan masih keburu—menurut gw. Estimasinya, seminggu sebelum gw berangkat ke Thailand, itu kartu pos harusnya udah sampai ke alamat tujuan. Ya, harusnya.

Namanya juga ‘dalam rangka kejutan’, ya gw nggak ngasih tahu bahwa gw ngirim kartu pos ke dia. Sengaja nggak gw tanyakan seminggu kemudian. Karena tim TIMBC lagi ribet training center dan persiapan, jadi gw sama sekali nggak memerhatikan dan memikirkan si kartu pos ini. Setelah kepulangan gw dari Thailand—it means dua minggu-an, gw coba tanya via sms, kartu pos dari gw udah diterima atau belum. Daaaaaaaaaaan, ternyata dia belum nerima juga. Bahkan, seminggu kemudian, gw masih aja tanya—siapa tahu udah diterima kartu posnya. Nyatanya, hingga saat tulisan ini naik cetak *halah* belum juga sampai, pemirsa. Sedih. Sedihnya masih ada sampai detik ini.

Iya, udah. Itu aja.

*gw berharapnya dia udah nerima kartu posnya, tapi dia bohong ke gw, itu lebih baik daripada kartu posnya nyasar entah ke mana*

5.5.13

TOEFL

Nggak terasa, udah Mei aja 
*telat Dhaaa, telaaat!*
Biar lambat asal selamat, itu sih kata peribahasa.

Gw mau cerita sedikit tentang peristiwa—yang tanggal 4 Mei lalu, gw alami. Di LBI FIB UI tepatnya. Sabtu lalu gw abis TOEFL. (*hah, udah? Gitu doang?)
Bukan TOEFL-nya yang membuat gw menulis ini, melainkan suasana saat TOEFL. Iya, gw akui, udah lama banget nggak ‘masuk kelas’. Beda banget rasanya. Di dalam kelas, gw nggak bawa buku-buku yang berbau bahasa Inggris, gw nggak mau belajar pas hari H. Justru, buku bacaan yang gw bawa adalah Pemberontakan Untung 1684.

Kembali ke suasana. Iya, suasana kelas. Kok tiba-tiba gw sangat amat rindu sekali banget ya, entah rindu kenapa. Nggak setiap rasa butuh alasan kan? Rindu ya, rindu aja, nggak pakai alasan apa-apa.

Manusiawi. Pas sekolah, pengin kuliah. Pas kuliah, pengin segera lulus. Pas lulus, pengin balik kuliah. Begitulah, siklus yang payah—yang mau nggak mau harus kita alami dan rasakan.

Gw jadi mikir, gimana nanti pas S2 ya? Semoga akan selalu siap menghadapi kelas kembali. Di manapun, kapanpun, dengan siapapun :’)

Khawatir pasti ada. Apalagi kalau tempatnya baru. Bener-bener sendiri, semuanya adalah teman baru. Nah, yang kayak gini, pantesnya diucapin “Selamat Menempuh Hidup Baru”. Hahaha.
Ya, semoga tengah tahun nanti ada yang ngucapin kayak gitu ke gw, aamiin.

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...