26.4.12

Open Mic Perdana

Hai guys, rasanya udah beratus-ratus tahun tidak singgah di ranah ini. Hahaha. Hmm, biasa, sibuk. Uhh! Alasan yang paling tidak berterima untuk otak. Baiklah.

Kali ini saya akan mengulas acara #OpenMicPerdana Stand Up UI (*sepertinya ini sudah sangat jadul, alias agak basi), tetapi apapun yang terjadi, saya akan tetap bercerita, huahhaa, sama sekali tidak ada pengaruhnya ya?! Baiklah, mari lanjutkan!

Acara #OpenMicPerdana dilaksanakan Jumat 20 April (beberapa minggu yang lalu). Huh! Alhamdulillah, akhirnya open mic juga ya Stand Up UI. Rasanya seperti berhasil melepas peliharaan dari kandang yang selama ini tertahan. Benar-benar lega, selega-leganya lega di antara lega-lega yang ada. Bahagia, haru, puas, pasti kami alami (panitia, red.). Namun, dibalik semarak acara ini, kami juga masih menyadari bahwa banyak yang harus diperbaiki, baik dari segi persiapan, maupun hari H. Pujian demi pujian terus datang. Akan tetapi, kritik dan hujatan pun tak kalah kencang. Hahaha. Jadi? Selalu ada plus dan minus dari ‘sesuatu’ yang kita lakukan. Right? OK.  

Terima kasih untuk teman-teman Stand Up UI: Rizki, Mo, Ilham, Dede, Tika, dan SIWA BEM FTUI. Tanpa keringat kalian, kita bukan apa-apa. (*lah? Emang bukan apa-apa kan?! Err..)

Persiapan yang penuh magic, on the spot, dan penuh back-up. Namanya juga kali pertama, jadi masih belum mengerti betul harus seperti apa, bagaimana cara membangun situasi acara, dan lain-lain. Kami sama-sama awam, berbekal nekat dan semangat membara, alhamdulillah Allah pun meridhoi. Sejauh mata memandang, lancar, tidak ada hambatan yang mengganggu acara. Apalagi para comic tamu yang ‘gokil mampus’, seperti @kukuhya; @kemalpalevi; @fauzaiam, dan teman-temannya, yang WOW BANGET! Hmm, spesial thanks untuk @ernestprakasa, tak disangka tak dinyana, ternyata datang lebih awal dan lebih lama. Big hug :*

Namanya juga open mic: ajang belajar, uji bahan dan asah mental. Wajar, manusiawi jika para comic pemula masih dirasa belum lucu. Toh, lucu itu selera masing-masing, tidak dapat dipaksakan. Seperti halnya mencintai sesuatu, tak perlu direncanakan, apalagi dipaksakan. Auch! *bukan curhat lho ini*

Alhamdulillah juga telah banyak comic pemula UI yang ‘lumayan’, meskipun masih harus dipoles lagi. Setidaknya, visi open mic perdana ini cukup berhasil. Hal ini terindikasi dari antusias penonton yang meledak (BOM kali?!), sampai-sampai balkon aula pun digunakan demi kenyamanan selama acara berlangsung. Selain itu, AC yang harusnya dapat menyejukkan, justru tidak terasa sama sekali sejuknya. Alhamdulillah. Lagi-lagi, ucapan syukur tertuang dalam udara dan ruang.

Sekali lagi terima kasih atas apresiasi teman-teman. Tetap dukung Stand Up UI, hidup komedi! 

18.4.12

Terima Kasih (lagi)

Beberapa hari kemarin belum sempat bercengkerama dengan kehidupan di sini, rasanya seperti kehilangan separuh nyawa dari raga.
Kali ini, lagi-lagi gw ingin sekali berterima kasih pada beberapa orang:
  • Aul. Haturnuhun sanget a, udah mau direpotkan pisan pas di sana. Dari dua minggu lalu, hingga hari H. Lo the best banget lah pokoknya;
  • Deps. Terima kasih ya Deps, udah mau menemani gw menggelandang kemarin-kemarin. Lucu, haru, nelangsa, nista, bahagia, tertawa bersama. Soulmate banget!
  • Duhita. Terima kasih, dan maaf. Kami mengganggu keharmonisan hidupmu di kosan. Haha. Kapan-kapan gantian ya :)
  • Keke. Fitrop wanna be, hahaha. Thanks a lot, dear. Maaf, kami membuat kamarmu banjir;
  • Velofa. Tante-tante penyelamat gw. Terima kasih ya, udah mau direpotin macem-macem;
  • Yuan. Terima kasih banget atas segala informasinya ;)
  • Peta dari BandungReviewDotCom, dan kompas yang selalu siaga di tas. 
Sekian :)

(Masih) Menunggu

Oktober 2011 lalu, menunggu April bukan hal yang mudah. Menanti momen-momen yang selalu mendapat sela untuk dibayangkan melalui kepala. Lalu, apabila kemarin-kemarin sepertinya masih ada sisa, mungkin itu salah satu dari sia-sia. 

Lidahku cukup kelu untuk menyebutnya sia-sia, tetapi rasa selalu tak sanggup dibohongi. Aku masih bersabar hingga Mei, ataukah sampai September pagi? Entahlah. Aku hanya ingin sesak ini segera pergi.

4.4.12

Seperti Cokelat


Kamu seperti cokelat pekat, lama rekatnya di kepala. Bahkan, dini hari tadi kukira benar nyata. Namun, layaknya variasi rasa, manisnya hanya menggoda hingga pagi tiba.


                                                                                                            Menyambut April

Dream Catcher



Dream Catcher: Meraih Juara Umum GPMB (Grand Prix Marching Band)

Setahun lalu, membawa panji Madah Bahana UI ke tengah lapangan kuning rasanya seperti mimpi. Bukan sekadar bunga tidur yang wanginya dinanti setiap pagi, melainkan sebongkah anugerah yang nikmatnya tak mau beranjak dari otak. Belum lagi, bonus dialog singkat dengan Pak Agum Gumelar yang masih menempel lekat pada neuron-neuron kanan sampai detik ini. Sungguh, anugerah Tuhan tak pantas kita egokan.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat bagi saya untuk belajar merasakan atmosfer khas lantai Istora. Tentu ada harga yang harus dibayar: peluh dan keluh lantas menyatu dalam tubuh. Semangat yang muncul tiba-tiba, kemudian tenggelam seketika: sudah biasa. Apalagi tingkat kesabaran diri, kadang-kadang kalah oleh putus asa. Bumbu semacam ini tak dimungkiri menjadi salah satu penyedap perjalanan yang lindap. Pelan-pelan jatuh, lalu runtuh, kemudian memaksa diri kokoh kembali, bukan hal yang mudah. Siklus panjang yang cukup menyiksa bagi saya. Hampir menyerah? Tentu pernah. Namun, lagi-lagi saya menyelisik ke belakang, memanggil beberapa niat yang sempat kuat—dan sempat pula lenyap.

Di tahun 2010, Tuhan mengamanahkan saya sebagai Komandan Pasukan (Kompas) Madah Bahana Universitas Indonesia. Jauh sebelum perhelatan pencalonan itu, entah mengapa tetiba muncul dalam benak: Tuhan, jika tahun ini saya Kompasnya, izinkan saya membawa pasukan untuk merasakan “kemenangan” yang sempat tertahan beberapa tahun belakangan. Saya—anggota baru yang mengagumi mantan Kompas 2005—menyadari bahwa “saya bukanlah apa-apa” dibanding dia. Sederhana saja: seperti apa ya rasanya, jika nanti berhasil membawa pasukan ke gerbang kemenangan?

Mengumpulkan lebih dari seratus mahasiswa, lalu mengajak mereka ke dalam tujuan yang sama tidaklah mudah. Banyaknya kepala dalam satu napas, ambisi pribadi yang tak kunjung berhenti, juga aroma negatif yang sesekali keluar-masuk lapangan di saat latihan, merupakan persoalan sehari-hari yang harus diselesaikan tanpa menurutkan emosi. Sulit memang. Namun, hakikatnya kita berada dalam lingkaran setan—suka tak suka harus dihadapi bersama.

Banyak yang menjadi korban, banyak pula yang—terpaksa—harus dikorbankan demi ‘kompetisi ini’ semata. Keluarga, sahabat, kekasih, tak ketinggalan soal asmara, memang—lagi-lagi harus—dinomorsekiankan. Lalu? Setelah perhelatan besar itu usai, akankah timbul penyesalan? Tidak. Ya, saya menjawab ‘tidak’. Sama sekali tak ada hujan yang jatuh ke pasir, seperti halnya kesia-siaan. Sia-sia hanyalah ego belaka yang menuntut sempurna atas semua perkara. Justru, di sini saya belajar sesuatu. Many things happened, then i learn. Memaksa untuk melawan batas diri, juga terbiasa memberikan apresiasi atas tindakan-tindakan yang dapat menginspirasi pasukan.

Saya hampir patah arang. Seorang Kompas dituntut mampu menjadi role model yang baik bagi pasukannya. Karakter yang berdisiplin tinggi, tegas, berani mengambil keputusan, dan menjadi pemimpin yang bijak, adalah kewajiban yang belum dapat saya penuhi secara sempurna. Itulah sebabnya, saya pernah setengah putus asa. Pertanggungjawaban atas attitude pasukan yang notabene dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan merupakan amanah besar yang harus saya tempuh. Disegani, dijauhi, bahkan dibenci: tiga hal yang pernah dialami, tetapi pada akhirnya saya pun mengerti. Demi pasukan, apapun akan saya lakukan. Ini bukan tentang tindakan yang asal-asalan, melainkan jalan menuju impian: mengantarkan pasukan ke gerbang kemenangan. Terima kasih, Tuhan. 

Entah Apa Namanya?


Hampir saja dini hari. Menumpahkan kegelisahan dan berbagi perasaan yang ada di jiwa, biasa saya lakukan sebelum mengerjakan tugas-tugas akademis. Entahlah, ini dipandang sebagai sebuah sisi kekurangtepatan atau bukan. Tentunya, ada rasa lega yang teramat lekat apabila telah tamat menuliskan beberapa rangkaian kalimat.

Terlampau ‘cukup’ bagi saya mengisi kekosongan ruang dalam blog kesayangan. Bukan soal pemertahanan eksistensialisme diri dalam dunia maya, melainkan sesuap tanggung jawab terhadap sebuah masa yang lindap oleh rasa.

Terima kasih atas anugerah, rahmat, juga kasih sayangMu, yang selalu Kauberi tanpa ragu. Padahal manusia kadang lupa: lupa mana daratan, dan mana lautan, atau yang lebih sering: lupa ingatan, kalau kita punya Tuhan.

Selamat malam rasa, selamat datang cinta. Sebaiknya dua nama itu kita genggam bersama, agar tak saling jera. 

Sekadar Sapa


Bayangan-bayangan yang terlanjur melepuh di otak memang sulit dibinasakan. Faktanya, hari Minggu lalu, saat aku mencoba menuliskan beberapa huruf di layar abu-abu tak bertuan itu, memberanikan diri memanggil namamu, lalu memulai dialog-tak-penting yang mengudang tawa kecil, secara sadar telah berhasil menciptakan lajur peristiwa untuk memeriahkan hari-hari berikutnya. Terima kasih banyak, Senin dan Selasa. Aku harap, Rabu hingga Sabtu juga sanggup menciptakan kisah lain yang lebih hebat untuk sekadar dipuja rasa.

Kejadian ini bukan sekali seumur hidup, kita pun pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya, setahun lalu. Ya, hampir saja genap setahun lalu. Pertemuan yang masih bersarang dalam ingatan. Momen-momen ketaksengajaan, juga sedikit acara yang penuh rencana, masih sanggup kuhadirkan detik ini. Kalau begini caranya, aku tak mau amnesia. Rela membiarkan ‘kepenuhan’ memori di kepala. Jadi, apabila suatu saat nanti kaubutuh bukti, bisa langsung kubuka tanpa perlu sandi rahasia.

Berapa banyak lagi harus kusampaikan kata ‘terima kasih’?
Rasa-rasanya, aku lebih suka menyampaikannya lewat telepati, tentunya dalam hati saja, tak usah kuumbar di hadapan siapa-siapa. Entah, terasa lebih nikmat, tepat, dan bersahaja. Siang tadi, kami melakukannya, dan terbukti.

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...