Langsung ke konten utama

Dream Catcher



Dream Catcher: Meraih Juara Umum GPMB (Grand Prix Marching Band)

Setahun lalu, membawa panji Madah Bahana UI ke tengah lapangan kuning rasanya seperti mimpi. Bukan sekadar bunga tidur yang wanginya dinanti setiap pagi, melainkan sebongkah anugerah yang nikmatnya tak mau beranjak dari otak. Belum lagi, bonus dialog singkat dengan Pak Agum Gumelar yang masih menempel lekat pada neuron-neuron kanan sampai detik ini. Sungguh, anugerah Tuhan tak pantas kita egokan.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat bagi saya untuk belajar merasakan atmosfer khas lantai Istora. Tentu ada harga yang harus dibayar: peluh dan keluh lantas menyatu dalam tubuh. Semangat yang muncul tiba-tiba, kemudian tenggelam seketika: sudah biasa. Apalagi tingkat kesabaran diri, kadang-kadang kalah oleh putus asa. Bumbu semacam ini tak dimungkiri menjadi salah satu penyedap perjalanan yang lindap. Pelan-pelan jatuh, lalu runtuh, kemudian memaksa diri kokoh kembali, bukan hal yang mudah. Siklus panjang yang cukup menyiksa bagi saya. Hampir menyerah? Tentu pernah. Namun, lagi-lagi saya menyelisik ke belakang, memanggil beberapa niat yang sempat kuat—dan sempat pula lenyap.

Di tahun 2010, Tuhan mengamanahkan saya sebagai Komandan Pasukan (Kompas) Madah Bahana Universitas Indonesia. Jauh sebelum perhelatan pencalonan itu, entah mengapa tetiba muncul dalam benak: Tuhan, jika tahun ini saya Kompasnya, izinkan saya membawa pasukan untuk merasakan “kemenangan” yang sempat tertahan beberapa tahun belakangan. Saya—anggota baru yang mengagumi mantan Kompas 2005—menyadari bahwa “saya bukanlah apa-apa” dibanding dia. Sederhana saja: seperti apa ya rasanya, jika nanti berhasil membawa pasukan ke gerbang kemenangan?

Mengumpulkan lebih dari seratus mahasiswa, lalu mengajak mereka ke dalam tujuan yang sama tidaklah mudah. Banyaknya kepala dalam satu napas, ambisi pribadi yang tak kunjung berhenti, juga aroma negatif yang sesekali keluar-masuk lapangan di saat latihan, merupakan persoalan sehari-hari yang harus diselesaikan tanpa menurutkan emosi. Sulit memang. Namun, hakikatnya kita berada dalam lingkaran setan—suka tak suka harus dihadapi bersama.

Banyak yang menjadi korban, banyak pula yang—terpaksa—harus dikorbankan demi ‘kompetisi ini’ semata. Keluarga, sahabat, kekasih, tak ketinggalan soal asmara, memang—lagi-lagi harus—dinomorsekiankan. Lalu? Setelah perhelatan besar itu usai, akankah timbul penyesalan? Tidak. Ya, saya menjawab ‘tidak’. Sama sekali tak ada hujan yang jatuh ke pasir, seperti halnya kesia-siaan. Sia-sia hanyalah ego belaka yang menuntut sempurna atas semua perkara. Justru, di sini saya belajar sesuatu. Many things happened, then i learn. Memaksa untuk melawan batas diri, juga terbiasa memberikan apresiasi atas tindakan-tindakan yang dapat menginspirasi pasukan.

Saya hampir patah arang. Seorang Kompas dituntut mampu menjadi role model yang baik bagi pasukannya. Karakter yang berdisiplin tinggi, tegas, berani mengambil keputusan, dan menjadi pemimpin yang bijak, adalah kewajiban yang belum dapat saya penuhi secara sempurna. Itulah sebabnya, saya pernah setengah putus asa. Pertanggungjawaban atas attitude pasukan yang notabene dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan merupakan amanah besar yang harus saya tempuh. Disegani, dijauhi, bahkan dibenci: tiga hal yang pernah dialami, tetapi pada akhirnya saya pun mengerti. Demi pasukan, apapun akan saya lakukan. Ini bukan tentang tindakan yang asal-asalan, melainkan jalan menuju impian: mengantarkan pasukan ke gerbang kemenangan. Terima kasih, Tuhan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan

Sedikit Tentang Nulis

Beberapa hari lalu, gw sempat mencoba memulai untuk menulis cerpen. Meskipun tema yang ditawarkan masih seputar cinta-patah hati, tetep aja, buat gw nulis cerpen itu butuh ide yang kaya, juga referensi yang cukup. Mungkin gini, nulis itu gampang, nulis apapun. Nulis cerpen juga bisa kok ngasal. Nah, kalo yang ngasal-ngasal mah gw bisa. Huahahaha. Yang butuh perjuangan itu nulis yang idealis, kaya ide, alurnya logis, dan enak dibaca. Walaupun gw udah kenyang teori-teori sastra, dalam hal ini nulis nggak banyak butuh teori. Ibaratnya, teori itu hanya menyumbang 5%. Justru 95% sisanya adalah kreativitas penulis dalam mengontrol dan mengolah, juga memilih kata yang tersedia di dalam otak kita. (*yang setuju, RT yaaa!) Huahahahaha.. Nggak semua penulis (‘orang yang menulis’) bisa langsung tarakdungces lancar bikin kalimat pertama di awal. Ada juga yang memang butuh mood bagus biar idenya mulus. Ada juga yang harus diputusin kekasihnya dulu, baru bisa ngalir nulisnya. Ehm, tapi gw buk