4.4.12

Dream Catcher



Dream Catcher: Meraih Juara Umum GPMB (Grand Prix Marching Band)

Setahun lalu, membawa panji Madah Bahana UI ke tengah lapangan kuning rasanya seperti mimpi. Bukan sekadar bunga tidur yang wanginya dinanti setiap pagi, melainkan sebongkah anugerah yang nikmatnya tak mau beranjak dari otak. Belum lagi, bonus dialog singkat dengan Pak Agum Gumelar yang masih menempel lekat pada neuron-neuron kanan sampai detik ini. Sungguh, anugerah Tuhan tak pantas kita egokan.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat bagi saya untuk belajar merasakan atmosfer khas lantai Istora. Tentu ada harga yang harus dibayar: peluh dan keluh lantas menyatu dalam tubuh. Semangat yang muncul tiba-tiba, kemudian tenggelam seketika: sudah biasa. Apalagi tingkat kesabaran diri, kadang-kadang kalah oleh putus asa. Bumbu semacam ini tak dimungkiri menjadi salah satu penyedap perjalanan yang lindap. Pelan-pelan jatuh, lalu runtuh, kemudian memaksa diri kokoh kembali, bukan hal yang mudah. Siklus panjang yang cukup menyiksa bagi saya. Hampir menyerah? Tentu pernah. Namun, lagi-lagi saya menyelisik ke belakang, memanggil beberapa niat yang sempat kuat—dan sempat pula lenyap.

Di tahun 2010, Tuhan mengamanahkan saya sebagai Komandan Pasukan (Kompas) Madah Bahana Universitas Indonesia. Jauh sebelum perhelatan pencalonan itu, entah mengapa tetiba muncul dalam benak: Tuhan, jika tahun ini saya Kompasnya, izinkan saya membawa pasukan untuk merasakan “kemenangan” yang sempat tertahan beberapa tahun belakangan. Saya—anggota baru yang mengagumi mantan Kompas 2005—menyadari bahwa “saya bukanlah apa-apa” dibanding dia. Sederhana saja: seperti apa ya rasanya, jika nanti berhasil membawa pasukan ke gerbang kemenangan?

Mengumpulkan lebih dari seratus mahasiswa, lalu mengajak mereka ke dalam tujuan yang sama tidaklah mudah. Banyaknya kepala dalam satu napas, ambisi pribadi yang tak kunjung berhenti, juga aroma negatif yang sesekali keluar-masuk lapangan di saat latihan, merupakan persoalan sehari-hari yang harus diselesaikan tanpa menurutkan emosi. Sulit memang. Namun, hakikatnya kita berada dalam lingkaran setan—suka tak suka harus dihadapi bersama.

Banyak yang menjadi korban, banyak pula yang—terpaksa—harus dikorbankan demi ‘kompetisi ini’ semata. Keluarga, sahabat, kekasih, tak ketinggalan soal asmara, memang—lagi-lagi harus—dinomorsekiankan. Lalu? Setelah perhelatan besar itu usai, akankah timbul penyesalan? Tidak. Ya, saya menjawab ‘tidak’. Sama sekali tak ada hujan yang jatuh ke pasir, seperti halnya kesia-siaan. Sia-sia hanyalah ego belaka yang menuntut sempurna atas semua perkara. Justru, di sini saya belajar sesuatu. Many things happened, then i learn. Memaksa untuk melawan batas diri, juga terbiasa memberikan apresiasi atas tindakan-tindakan yang dapat menginspirasi pasukan.

Saya hampir patah arang. Seorang Kompas dituntut mampu menjadi role model yang baik bagi pasukannya. Karakter yang berdisiplin tinggi, tegas, berani mengambil keputusan, dan menjadi pemimpin yang bijak, adalah kewajiban yang belum dapat saya penuhi secara sempurna. Itulah sebabnya, saya pernah setengah putus asa. Pertanggungjawaban atas attitude pasukan yang notabene dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan merupakan amanah besar yang harus saya tempuh. Disegani, dijauhi, bahkan dibenci: tiga hal yang pernah dialami, tetapi pada akhirnya saya pun mengerti. Demi pasukan, apapun akan saya lakukan. Ini bukan tentang tindakan yang asal-asalan, melainkan jalan menuju impian: mengantarkan pasukan ke gerbang kemenangan. Terima kasih, Tuhan. 

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...