Rumahnya cukup jauh. Sebenarnya aku menyimpan mimpi untuk berada di sana. Benar-benar ketakmungkinan yang tak mungkin, apalagi saat-saat setelah hari raya seperti ini-sekarang. Dia masih ada. Bersua denganku lewat jalan yang ia mau. Allah-ku dan Allah-mu saling tau, kalau kita telah memuja rindu setahun-dua tahun lalu. Papan yang telah lama ditulisi namamu pasti masih ada kan di sana ? Aku ingin sekali menyentuhnya, mencium kening yang belum usang dimakan ilalang, ah! Pasti aku senangnya bukan kepalang.
Idulfitri sebentar lagi akan lari, makanya orang-orang sekitar sini saling menyalami. Mungkin saja salamnya tertera pada surat-surat yang agak renta, lusuh, atau mereka sampaikan di antara reruntuhan teknologi duniawi—yang sekarang merajai. Then, mulailah aku mencari nomor-nomor tersembunyi di ponsel kini, dan cukup menahan napas saat tiba di fonem-mu. Kali ini aku berjanji tak lagi mempersembahkan air mata haru-biru yang dulu pernah menjadi saksi bisu, karna menurutku kau lebih pantas kuberi senyum musiman di akhir Ramadhan.
Tahun ini genap 20 tahun sudah kau berjalan di atas bumi Allah yang mahaindah. Maya dan nyata tak masalah buatku. Di mana pun alamnya, memang bukan urusanku, karna tak berpengaruh pada waktu. Aku cukup membaca bayangan wajah yang setiap hari seenaknya berubah: dulu. Terima kasih yah.. Setidaknya, membaca sifatmu lewat surat-surat mungil ini bisa mengobati rinduduka seorang gadis dewasa, katamu dulu sih itu.
Teh, pisang cokelat, dan gerutu manjamu masih berbisik di samping jantungku, mengisyaratkan betapa berharganya sebuah perpisahan. Allah-ku dan Allah-mu juga mau kita bertemu, mungkin di tiap subuh yang tak lagi sembilu.
Dedicated to my…
:)