29.8.11

Momen Mengalahkan Rotasi Bumi

Rumahnya cukup jauh. Sebenarnya aku menyimpan mimpi untuk berada di sana. Benar-benar ketakmungkinan yang tak mungkin, apalagi saat-saat setelah hari raya seperti ini-sekarang. Dia masih ada. Bersua denganku lewat jalan yang ia mau. Allah-ku dan Allah-mu saling tau, kalau kita telah memuja rindu setahun-dua tahun lalu. Papan yang telah lama ditulisi namamu pasti masih ada kan di sana? Aku ingin sekali menyentuhnya, mencium kening yang belum usang dimakan ilalang, ah! Pasti aku senangnya bukan kepalang.

Idulfitri sebentar lagi akan lari, makanya orang-orang sekitar sini saling menyalami. Mungkin saja salamnya tertera pada surat-surat yang agak renta, lusuh, atau mereka sampaikan di antara reruntuhan teknologi duniawi—yang sekarang merajai. Then, mulailah aku mencari nomor-nomor tersembunyi di ponsel kini, dan cukup menahan napas saat tiba di fonem-mu. Kali ini aku berjanji tak lagi mempersembahkan air mata haru-biru yang dulu pernah menjadi saksi bisu, karna menurutku kau lebih pantas kuberi senyum musiman di akhir Ramadhan.

Tahun ini genap 20 tahun sudah kau berjalan di atas bumi Allah yang mahaindah. Maya dan nyata tak masalah buatku. Di mana pun alamnya, memang bukan urusanku, karna tak berpengaruh pada waktu. Aku cukup membaca bayangan wajah yang setiap hari seenaknya berubah: dulu. Terima kasih yah.. Setidaknya, membaca sifatmu lewat surat-surat mungil ini bisa mengobati rinduduka seorang gadis dewasa, katamu dulu sih itu.

Teh, pisang cokelat, dan gerutu manjamu masih berbisik di samping jantungku, mengisyaratkan betapa berharganya sebuah perpisahan. Allah-ku dan Allah-mu juga mau kita bertemu, mungkin di tiap subuh yang tak lagi sembilu.

Dedicated to my…
:)

2.8.11

Sesuatu Terjadi Padamu, Mungkin Pada Sabtu-Minggu



pada hari yang berlalu, aku mengadu
di suatu subuh, aku menjadi sesuatu
pun pada dinding memori yang terkesiap, aku hanya bisa mempertanyakan jalanan.
mungkin saat aspal memanas, aku bisa jadi ganas
atau di waktu angin menyeka wajahnya, aku bisa saling diam.
untuk apa kau menyeruak? jika memang tak ingin terkuak.
KAU,
ya, 
KAU.

Gowes Bareng Jalal (UI-TMII, TMII-UI) Bagian 1

Bismillah,

Mengayuh sepeda memang bukan hal baru buat gw. Waktu gw masih SMP, SMA, gw sering banget gowes ke sekolahan. Kalo dikira-kira, bisa sampe 4-5 km sekali jalan. Jadi, kalo bolak-balik 8-10 km lah ya.. Karena semakin terbiasanya gw saat itu, pas temen gw ngajakin #GowesBarengJalal, gw ayo-ayo aja. Toh, udah lama juga nggak pernah mengayuh sepeda berkilo-kilo meter. Paling-paling keliling UI doang.

Berawal dari kisah Jalal, mahasiswa 2011 yang diterima di Program Studi Sejarah 2011 UI. Doi sempet nadzar, kalo diterima di UI, dia akan ngonthel dari Pati sampai Depok. WOW!
Alhasil, diterimalah doi di Sejarah 2011. Twitter mulai rame, temen-temennya pun nggak jarang yang update tentang keberadaannya. Mulai dari tanggal 19 Juli-25 Juli ngonthel Pati-Depok dilakoninya. Di surat-surat kabar udah mulai diekspos itu anak. Kami (pengikut hashtag #infojalal dan #GowesBarengJalal), terus memantau si Jalal udah sampai di mana, apa kabarnya, dll.

Gw pribadi, awalnya memang nggak tertarik dengan berita ini. Gw menganggap biasa hal-hal yang kaya gini. Just read the tweet, and then retweet :P
Lama-lama, si JJ Rizal (Komunitas Bambu) berencana buat nyegat doi di TMII, hari Minggu 25 Juli, 7 a.m. Langsung deh, mulai publikasi, siapa yang mau ikutan? gitu.
Berhubung di Komunitas Bambu ada temen gw, alhasil gw pun berniat buat ikutan, dan berusaha cari sepeda pinjeman. Setelah perpinjeman sepeda itu kelar, kami mulai atur jadwal ketemuan. Cus! Hari Minggu 4.30 a.m. kumpul di Stasiun UI (boo, pagi beneeer!)
hmm, yaudin lah ya, demi Jalal. Hap hap!

Malem menjelang hari H, gw nggak bisa tidur. Merem-melek-merem-melek mulu, sampai akhirnya alarm gw bunyi. Oke, its time to take a bath at 3.45 a.m. haha
Berhubung gw pinjem sepeda temen anak Kobam yang rumahnya di Tanjung Barat, jadi gw naik kereta dulu ke sana, setelah itu baru gowes ke TMII, maap ya agak curang start-nya.
Sampai di Tanjung Barat, kami hanya bertiga (Gw, Uswah-yang minjemin sepeda, dan JJ Rizal) langsung memulai pergowesan pagi itu menuju TMII. Huaaaaa, readers harus tau, gw norak banget. Teriak-teriak di pinggir jalan, saking senengnya ngayuh sepeda di jalanan besar itu. Dunia terasa luas, hidup terasa bebas, napas pun semakin tampak lugas. Alhamdulillah Ya Rabb..

Meskipun agak canggung karena naik sepeda orang lain, the first time gw gowes di jalanan gede, dan jaraknya juga lumayan bikin betis mirip tukang becak. Uhh, mantap gan!
Ngos-ngosan, seneng, pegel mulai terasa, keringat bercucuran, panas pagi menerpa, udara jalanan yang tak kunjung aman, adalah teman setia gw pagi itu. Semoga hari ini indah Ya Allah *dalam hati*
Kurang lebih 30 menit aja tiba-tiba udah sampai TMII. Kebayang banget puasnya pas udah sampe depan gerbang TMII. Merasa menang. ahhaha. Ops, tapi masih gowes lagi lho pulangnya. Oke, siapkan mental.

Sampai sana, minum, makan bekal, leyeh-leyeh *berasa piknik, kurang tiker aja itu*
pas ketemu Jalal-nya, waaaaa, aku speechless iki dek weruh kowe!

***bersambung ya,

Kusaksikan Malam Menderu di Kabut Itu

Biarkan aku mengantar malam, lewat titik di tiga sudut itu
izinkan aku menjadi dinginmu, agar selalu dekat dengan nadimu

pada pohonpohon depan ruang yang semakin usang, aku bernyanyi mengajak akar-akarnya, agar tak semakin sepi dibuatnya
:
rindu.

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...