Langsung ke konten utama

Cerita Papandayan (1): Why Not?

Gw rasa judulnya pas. Karena ini adalah awal dari segalanya. Jawaban atas semua pertanyaan. Penjelasan atas kebingungan-kebingungan yang ada. Juga, hasil kenekatan seorang perempuan yang-ngomong-cinta-saja-tak-berani, tapi sok sekali mau naik gunung 2665MDPL. 

Lets start!

FYI, grup traveling Krakatau masih aktif sampai sekarang di whatsapp. Kami melakukan perjalanan tahun lalu, tepat dengan peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Nah, meskipun ada beberapa trip lagi setelah Krakatau, gw nggak pernah berkesempatan untuk ikut. Tentunya  karena beberapa alasan. Barulah sekitar pertengahan Maret, tiba-tiba gw kangen banget jalan-jalan. Apalagi bareng anak-anak trip Krakatau. Kemudian, gw muncul di grup untuk ngajak mereka jalan (lagi). Yang terlintas di otak gw saat itu adalah Papandayan. Ya, Gunung Papandayan. 

Why (Papandayan)?

Setelah mendengar pengalaman dari beberapa teman yang pernah mendaki ke sana, berguru ke mbah gugel, baca ulasan cerita di blog banyak orang, dan tanya-tanya ke beberapa pendaki juga, medan Papandayan cukup aman untuk pendaki pemula. Oke. Sampai di sini, gw cukup deg-degan sebenernya. Mengingat gw bukan pendaki, lari cuma sekali dalam seminggu, dan badan gw nggak kecil. Thats the fact! 

Beberapa hari setelahnya, gw berusaha meyakinkan diri—bagaimana pun caranya—harus ke sana. Hah, harus? Iya. Ya kalau nggak sekarang beraninya, kapan lagi? Alhamdulillah, gw berangsur-angsur tenang jiwanya. Gw selalu minta jawaban Tuhan. Yang akan gw lakukan ini baik nggak untuk gw? Kalau iya, yakinkan. Kalau nggak, gw ikhlas perjalanan ini batal. Intinya, gw menyerahkan final decision pada Tuhan. 

Dih, kok lo berlebihan banget sih, Dha. Mau jalan doang, ribet amat sampai segitunya. Ya emang sampai segitunya usaha keribetan gw. Karena ini bukan sekadar jalan-jalan, melainkan naik Gunung Papandayan. Ya okelah, beberapa orang memang bilang cuma Papandayan. Bagi gw—yang baru naik Krakatau doang dengan tinggi sekitar 500MDPL—tetep aja nggak bisa bilang cuma Papandayan, lha wong tingginya 2665MDPL. Namun seragu apa pun gw, gw tetep memilih Papandayan. 

Why (11, 12, 13 April)?

Beberapa hari setelah gw cukup yakin, gw ngajak anak-anak di grup Krakatau jalan ke Papandayan. Alhamdulillah, respons mereka oke banget. Gw makin bersemangat dan yakin bahwa Papandayan adalah destinasi yang tepat. Gw langsung kasih tanggal jalan: 11—13 April. Ada yang langsung oke, nggak bisa, dan beberapa nunggu jadwal kantor. Baiklah, lets see! Gimana pun, gw tetep milih tanggal itu karena gw punya rencana lain yang mesti gw tunaikan. Hahahahahahaha. Udah gw post kok di twitter dan facebook. 

Why (did you doubt)?

Awal April. Grup trip Krakatau mulai rame nanya-nanya itinerary. Shit men! Gw nggak tau. Mulailah gw nanya-nanya senior, teman, dan beberapa yang pernah naik. Gw minta dijelasin sedetail-detailnya. Low budget, jenis transportasi, jenis medan, ragam cuaca, juga situasi gunung (sedang aman untuk didaki atau nggak). Mulai dari senior trip Krakatau, teman MB, junior IKSI, alumni Lowbrass angkatan lawas, sampai junior SMA yang tinggal di Jogja. Satu-satu gw hubungi dan gw ajak. Sayangnya, kalau untuk ikut jalan, mereka nggak ada yang bisa—kebetulan udah ada jadwal sendiri—dan ada juga yang nggak mau. Huft! Mulailah gw agak bingung. 

FYI, tujuan gw menghubungi orang-orang yang udah pernah ke Papandayan adalah mengajak mereka untuk nge-lead trip ini. Gw nggak berani nge-lead. Pertama, gw belum pernah ke sana. Kedua, gw bukan pendaki. Ketiga, gw masih belum bisa menjaga diri, apalagi kalau gw nge-lead. It means gw mesti siaga sama teman-teman jalan gw nantinya. Nge-lead berarti siap dan mampu ‘membaca’ situasi dan kondisi selama perjalanan, baik selama menuju camp, maupun selama muncak (naik gunung)

Sori sori aja, gw memutuskan naik gunung bukan untuk gaya-gayaan, atau terinspirasi film “5 cm”. Terlalu riskan dan gegabah kalau cuma itu alasannya—sementara ini tuh judulnya naik gunung. Gw naik gunung karena gw ingin mengalahkan ketakutan-ketakutan atas diri gw sendiri. 

Gw pikir-pikir lagi, kok ya nggak nemu juga orang yang mau nge-lead trip Papandayan ini. Daripada nggak jadi, lebih baik gw aja deh sini. Iya, itu pakai ‘deh’ segala karena gw udah nggak punya pilihan lain selain memilih memberanikan diri bikin grup whatsapp khusus, yang artinya gw mesti mau dan sanggup ngurus apa-apa untuk trip kali ini. Then, (my)life starts here!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68! Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah. Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. M

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan