16.4.14

Cerita Papandayan (1): Why Not?

Gw rasa judulnya pas. Karena ini adalah awal dari segalanya. Jawaban atas semua pertanyaan. Penjelasan atas kebingungan-kebingungan yang ada. Juga, hasil kenekatan seorang perempuan yang-ngomong-cinta-saja-tak-berani, tapi sok sekali mau naik gunung 2665MDPL. 

Lets start!

FYI, grup traveling Krakatau masih aktif sampai sekarang di whatsapp. Kami melakukan perjalanan tahun lalu, tepat dengan peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Nah, meskipun ada beberapa trip lagi setelah Krakatau, gw nggak pernah berkesempatan untuk ikut. Tentunya  karena beberapa alasan. Barulah sekitar pertengahan Maret, tiba-tiba gw kangen banget jalan-jalan. Apalagi bareng anak-anak trip Krakatau. Kemudian, gw muncul di grup untuk ngajak mereka jalan (lagi). Yang terlintas di otak gw saat itu adalah Papandayan. Ya, Gunung Papandayan. 

Why (Papandayan)?

Setelah mendengar pengalaman dari beberapa teman yang pernah mendaki ke sana, berguru ke mbah gugel, baca ulasan cerita di blog banyak orang, dan tanya-tanya ke beberapa pendaki juga, medan Papandayan cukup aman untuk pendaki pemula. Oke. Sampai di sini, gw cukup deg-degan sebenernya. Mengingat gw bukan pendaki, lari cuma sekali dalam seminggu, dan badan gw nggak kecil. Thats the fact! 

Beberapa hari setelahnya, gw berusaha meyakinkan diri—bagaimana pun caranya—harus ke sana. Hah, harus? Iya. Ya kalau nggak sekarang beraninya, kapan lagi? Alhamdulillah, gw berangsur-angsur tenang jiwanya. Gw selalu minta jawaban Tuhan. Yang akan gw lakukan ini baik nggak untuk gw? Kalau iya, yakinkan. Kalau nggak, gw ikhlas perjalanan ini batal. Intinya, gw menyerahkan final decision pada Tuhan. 

Dih, kok lo berlebihan banget sih, Dha. Mau jalan doang, ribet amat sampai segitunya. Ya emang sampai segitunya usaha keribetan gw. Karena ini bukan sekadar jalan-jalan, melainkan naik Gunung Papandayan. Ya okelah, beberapa orang memang bilang cuma Papandayan. Bagi gw—yang baru naik Krakatau doang dengan tinggi sekitar 500MDPL—tetep aja nggak bisa bilang cuma Papandayan, lha wong tingginya 2665MDPL. Namun seragu apa pun gw, gw tetep memilih Papandayan. 

Why (11, 12, 13 April)?

Beberapa hari setelah gw cukup yakin, gw ngajak anak-anak di grup Krakatau jalan ke Papandayan. Alhamdulillah, respons mereka oke banget. Gw makin bersemangat dan yakin bahwa Papandayan adalah destinasi yang tepat. Gw langsung kasih tanggal jalan: 11—13 April. Ada yang langsung oke, nggak bisa, dan beberapa nunggu jadwal kantor. Baiklah, lets see! Gimana pun, gw tetep milih tanggal itu karena gw punya rencana lain yang mesti gw tunaikan. Hahahahahahaha. Udah gw post kok di twitter dan facebook. 

Why (did you doubt)?

Awal April. Grup trip Krakatau mulai rame nanya-nanya itinerary. Shit men! Gw nggak tau. Mulailah gw nanya-nanya senior, teman, dan beberapa yang pernah naik. Gw minta dijelasin sedetail-detailnya. Low budget, jenis transportasi, jenis medan, ragam cuaca, juga situasi gunung (sedang aman untuk didaki atau nggak). Mulai dari senior trip Krakatau, teman MB, junior IKSI, alumni Lowbrass angkatan lawas, sampai junior SMA yang tinggal di Jogja. Satu-satu gw hubungi dan gw ajak. Sayangnya, kalau untuk ikut jalan, mereka nggak ada yang bisa—kebetulan udah ada jadwal sendiri—dan ada juga yang nggak mau. Huft! Mulailah gw agak bingung. 

FYI, tujuan gw menghubungi orang-orang yang udah pernah ke Papandayan adalah mengajak mereka untuk nge-lead trip ini. Gw nggak berani nge-lead. Pertama, gw belum pernah ke sana. Kedua, gw bukan pendaki. Ketiga, gw masih belum bisa menjaga diri, apalagi kalau gw nge-lead. It means gw mesti siaga sama teman-teman jalan gw nantinya. Nge-lead berarti siap dan mampu ‘membaca’ situasi dan kondisi selama perjalanan, baik selama menuju camp, maupun selama muncak (naik gunung)

Sori sori aja, gw memutuskan naik gunung bukan untuk gaya-gayaan, atau terinspirasi film “5 cm”. Terlalu riskan dan gegabah kalau cuma itu alasannya—sementara ini tuh judulnya naik gunung. Gw naik gunung karena gw ingin mengalahkan ketakutan-ketakutan atas diri gw sendiri. 

Gw pikir-pikir lagi, kok ya nggak nemu juga orang yang mau nge-lead trip Papandayan ini. Daripada nggak jadi, lebih baik gw aja deh sini. Iya, itu pakai ‘deh’ segala karena gw udah nggak punya pilihan lain selain memilih memberanikan diri bikin grup whatsapp khusus, yang artinya gw mesti mau dan sanggup ngurus apa-apa untuk trip kali ini. Then, (my)life starts here!

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...