Bismillah,
Di
sesi ini, gw ingin sekali mencurahkan kegelisahan gw tentang penggunaan bahasa
Indonesia dalam ranah publikasi suatu acara/kegiatan. Malam lalu, gw sempat
bermain sembari berbagi lewat tagar #edisidalamnegeri di akun twitter gw *ya masa akun
twitter Jupe!*.
Bermula
dari seringnya nunggu bikun di halte fakultas, memaksa gw untuk berjumpa dengan
berbagai poster acara dari bermacam lembaga/komunitas. Dari mulai acara yang
diusung oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan, Fakultas/BEM Fakultas, BO/BSO, UKM,
hingga lembaga tingkat UI. Mengapa gw gelisah? Karena ada sesuatu yang menurut
gw bisa menjadi ganjalan yang tak kunjung padam. Tsaah! Iya, karena
terus-menerus ada dan terjadi, di UI lagi! Gw, sebagai calon alumni UI, mau
nggak mau dituntut kritis atas dasar suka sama suka, lah? Hmm, maksudnya naluri
untuk ‘gatel komentarin’ tuh ada.
Lanjut,
bre! Dari beberapa poster yang gw temui, hanya beberapa yang menggunakan Indonesia Full Version. Sebutlah, dari
jurusan gw, lalu acara yang sempat gw pegang—tetapi hilang, dan beberapa
lowongan pekerjaan. Nah, dari kesemuanya, kebanyakan memang cenderung
menggunakan bahasa asing, sebut saja Marwan. Bukan, bahasa Inggris maksudnya. Kenapa?
Mau protes? Marah? Demo? Bakar rumah? *nggak nyantai, namanya
juga komedi, lumrah* Menurut gw, manusia tumbuh berkembang, salah
satunya karena faktor bahasa. Kali pertama lo keluar dari rahim ibu, lo juga
dapet anugrah dari Tuhan untuk bisa berbahasa. Namun, dengan cara yang sangat
mendasar. Masih menggunakan simbol, yakni dengan menangis. Oek.. oek.. oek (onomatope
dari bunyi tangisan). Inilah sebabnya gw katakan penting dan mendasar, karena dari
situlah manusia memulai lingkaran kehidupan.
Gw
memang bukan mahasiswa psikologi yang belajar dan paham benar seluk-beluk teori
perkembangan manusia. Namun, gw hanyalah mahasiswa yang tumbuh dari kampus
sastra, sekadar belajar dari gejala manusia melalui peristiwa. Dapat gw katakan
bahwa setiap gw bertemu manusia/suatu benda, maka itulah guru kehidupan gw yang
sesungguhnya. Sadis! Hahaha. Jadi serius gini. Hmm, berhubung gw semester ini
bertemu dengan mata kuliah Sastra Anak, paling tidak, dalam diri gw telah
tumbuh tanda tanya-tanda tanya kecil, yang sedang gw selisik jawabannya,
melalui hipotesis dari analisis gw.
Ganjalan-ganjalan
yang ada di otak gw adalah, “kenapa sih,
masih pake bahasa Inggris, padahal padanan dalam bahasa Indonesia-nya udah ada?”
waktu itu di twitter ada yang jawab begini: “soalnya
ngrasa ‘aneh’ aja gitu kalo ga pake bahasa Inggris..” oooh, itu rupanya. Lalu, gw sanggahlah jawaban doi: “ngrasa ‘aneh’ itu karena kita blm terbiasa
pake kata-katanya”. Kemudian, doi tidak membalas lagi, tertidur, atau
mungkin pulsa internetnya tiris, haahhaha. Nggak kok, becanda, namanya juga
komedi, nggak usah dimasukin ke hati. Lha terus, kalo kita aja nggak memulai-mulai membiasakan
diri dari sekarang, kapan dong? Kita sendiri aja masih belum ‘berani’ untuk
memulai, gimana dengan lingkungan sekitar? Kalo memang alasannya ‘abisnya nggak
tau padanan katanya apa’, kan ada yang namanya referensi, salah satunya kamus. Kalo nggak punya kamus,
bisa tanya ke siapa pun yang dianggap tau/ahli. Masih belum berani juga? Malu? Atau
merasa lebih ‘ngena’ dan mendunia gitu kalo pake bahasa Inggris? Hidup di
planet Mars aja lah kalo gitu.
Bisa
karena terbiasa, pernyataan ini nggak mutlak benar, tapi sebagian besar benar. Memulai
membiasakan diri agar terbiasa memang nggak gampang. Akan ada banyak hal yang
harus dipertanggungjawabkan. Namun, kembali lagi pada idealisme dan pasar. Ini yang
selalu menjadi pilihan untuk dihadapi. Jangan sampe kita mengingat tanggal 28
Oktober sebagai Hari Sumpah Pemuda, tanpa ada tindakan nyata. Kosong! Katanya
berjanji
menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia, lalu pada
kenyataannya hanya pasang status di sosmed dan bilang “Selamat Hari Sumpah
Pemuda”. Ironis. Banyak kok pemuda yang cerdas, yang ingin bangsanya bangkit
dari keterpurukan. Bahkan banyak juga yang kreatif, juga selalu menyuarakan
kepentingan-kepentingan rakyat kecil. Akan tetapi, hal-hal kecil yang sangat
dekat dengan kita saja belum coba dibenahi, gimana mau membenahi hal/masalah
besar? Ngapain sih ngurusin masalah-masalah yang terlalu rumit di daun dan
batang? Sementara akarnya masih gersang? (perumpamaan yang menarik, haahhaha)
Akan sangat panjang dan melebar kalo gw terus-menerus memaksa membahas tentang ini. Gw hanya menawarkan kail dan sedikit umpan, barangkali ada yang berminat memancing di halaman depan. Silakan! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar