20.3.12

Hanya Belum Terbiasa

Bismillah,
Di sesi ini, gw ingin sekali mencurahkan kegelisahan gw tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah publikasi suatu acara/kegiatan. Malam lalu, gw sempat bermain sembari berbagi lewat tagar #edisidalamnegeri di akun twitter gw *ya masa akun twitter Jupe!*.

Bermula dari seringnya nunggu bikun di halte fakultas, memaksa gw untuk berjumpa dengan berbagai poster acara dari bermacam lembaga/komunitas. Dari mulai acara yang diusung oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan, Fakultas/BEM Fakultas, BO/BSO, UKM, hingga lembaga tingkat UI. Mengapa gw gelisah? Karena ada sesuatu yang menurut gw bisa menjadi ganjalan yang tak kunjung padam. Tsaah! Iya, karena terus-menerus ada dan terjadi, di UI lagi! Gw, sebagai calon alumni UI, mau nggak mau dituntut kritis atas dasar suka sama suka, lah? Hmm, maksudnya naluri untuk ‘gatel komentarin’ tuh ada.

Lanjut, bre! Dari beberapa poster yang gw temui, hanya beberapa yang menggunakan Indonesia Full Version. Sebutlah, dari jurusan gw, lalu acara yang sempat gw pegang—tetapi hilang, dan beberapa lowongan pekerjaan. Nah, dari kesemuanya, kebanyakan memang cenderung menggunakan bahasa asing, sebut saja Marwan. Bukan, bahasa Inggris maksudnya. Kenapa? Mau protes? Marah? Demo? Bakar rumah? *nggak nyantai, namanya juga komedi, lumrah* Menurut gw, manusia tumbuh berkembang, salah satunya karena faktor bahasa. Kali pertama lo keluar dari rahim ibu, lo juga dapet anugrah dari Tuhan untuk bisa berbahasa. Namun, dengan cara yang sangat mendasar. Masih menggunakan simbol, yakni dengan menangis. Oek.. oek.. oek (onomatope dari bunyi tangisan). Inilah sebabnya gw katakan penting dan mendasar, karena dari situlah manusia memulai lingkaran kehidupan.

Gw memang bukan mahasiswa psikologi yang belajar dan paham benar seluk-beluk teori perkembangan manusia. Namun, gw hanyalah mahasiswa yang tumbuh dari kampus sastra, sekadar belajar dari gejala manusia melalui peristiwa. Dapat gw katakan bahwa setiap gw bertemu manusia/suatu benda, maka itulah guru kehidupan gw yang sesungguhnya. Sadis! Hahaha. Jadi serius gini. Hmm, berhubung gw semester ini bertemu dengan mata kuliah Sastra Anak, paling tidak, dalam diri gw telah tumbuh tanda tanya-tanda tanya kecil, yang sedang gw selisik jawabannya, melalui hipotesis dari analisis gw.

Ganjalan-ganjalan yang ada di otak gw adalah, “kenapa sih, masih pake bahasa Inggris, padahal padanan dalam bahasa Indonesia-nya udah ada?” waktu itu di twitter ada yang jawab begini: “soalnya ngrasa ‘aneh’ aja gitu kalo ga pake bahasa Inggris..oooh, itu rupanya. Lalu, gw sanggahlah jawaban doi: “ngrasa ‘aneh’ itu karena kita blm terbiasa pake kata-katanya”. Kemudian, doi tidak membalas lagi, tertidur, atau mungkin pulsa internetnya tiris, haahhaha. Nggak kok, becanda, namanya juga komedi, nggak usah dimasukin ke hati. Lha terus, kalo kita aja nggak memulai-mulai membiasakan diri dari sekarang, kapan dong? Kita sendiri aja masih belum ‘berani’ untuk memulai, gimana dengan lingkungan sekitar? Kalo memang alasannya ‘abisnya nggak tau padanan katanya apa’, kan ada yang namanya referensi, salah satunya kamus. Kalo nggak punya kamus, bisa tanya ke siapa pun yang dianggap tau/ahli. Masih belum berani juga? Malu? Atau merasa lebih ‘ngena’ dan mendunia gitu kalo pake bahasa Inggris? Hidup di planet Mars aja lah kalo gitu.

Bisa karena terbiasa, pernyataan ini nggak mutlak benar, tapi sebagian besar benar. Memulai membiasakan diri agar terbiasa memang nggak gampang. Akan ada banyak hal yang harus dipertanggungjawabkan. Namun, kembali lagi pada idealisme dan pasar. Ini yang selalu menjadi pilihan untuk dihadapi. Jangan sampe kita mengingat tanggal 28 Oktober sebagai Hari Sumpah Pemuda, tanpa ada tindakan nyata. Kosong! Katanya berjanji menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia, lalu pada kenyataannya hanya pasang status di sosmed dan bilang “Selamat Hari Sumpah Pemuda”. Ironis. Banyak kok pemuda yang cerdas, yang ingin bangsanya bangkit dari keterpurukan. Bahkan banyak juga yang kreatif, juga selalu menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat kecil. Akan tetapi, hal-hal kecil yang sangat dekat dengan kita saja belum coba dibenahi, gimana mau membenahi hal/masalah besar? Ngapain sih ngurusin masalah-masalah yang terlalu rumit di daun dan batang? Sementara akarnya masih gersang? (perumpamaan yang menarik, haahhaha)

Akan sangat panjang dan melebar kalo gw terus-menerus memaksa membahas tentang ini. Gw hanya menawarkan kail dan sedikit umpan, barangkali ada yang berminat memancing di halaman depan. Silakan! :)


Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...