Langsung ke konten utama

Kamu: Yang Hampir Memutuskan Mei


Hai, Mini :)

Maaf—lagi-lagi aku selingkuh. Berlama-lama dengan kedua alat komunikasi handal itu, juga media sosial yang beberapa minggu baru kukenal. Ah, aku yakin kamu lebih tau, aku betah berlama-lama seperti ini karena apa, atau lebih tepatnya gara-gara (si)apa. Problema yang harus dikerucutkan adalah bahwa (si)apanya ini kebetulan nggak cuma satu.

Hah!
Hampir dua minggu sudah, sepi dari peradaban si a man who can we called—waktu itu namanya manggala apa cadatha ya?! Err, lupa. Yang pasti bukan mawar, bejo, atau tono. Dia—yang lebih dulu mengisi sela-sela rutinitasku dengan sejuta cara—yang selalu ‘maksa’ agar aku bisa meremin mata beberapa detik, lalu nipisin bibir, tanda bingung—nggak tau harus ngapain. Hahaha. Kesimpulan yang antiklimaks, sodara-sodara! Lagian, ngecek laman Kamu, Min, tiap hari, tapi nggak berani ninggalin jejak buat kita. Nggak berani apa belum berani ya, Min? yeah, mari mencoba positif lah.

Ibaratnya, aku itu deterjen warna. Cuma karena aku tumpahin dikit aja, langsung bela-belain ngosongin tabung mesin cuci biar nggak ketumpahan deterjen—lagi. Sekali-kali memberanikan diri memakai deterjen lain itu perlu loh, biar tau kualitasnya seperti apa. Apakah bajunya lebih lembut, biasa aja, atau jadi lebih kasar? Wangi cuciannya cocok sama si pemilik apa nggak? Sesimpel itu aja, nggak usah lah dibuat repot, menyiksa diri itu bukan jalan terbaik. Nah, setelah kamu mencoba, lalu suka, silakan saja, tapi kalau memang kurang suka wanginya, disimpan baik-baik, atau dikasih ke orang yang lebih membutuhkan juga boleh. Bahkan, kalau ingin ngebuang bungkus yang masih ada isinya juga monggo, tanpa harus diinjak terlebih dahulu, dibakar, apalagi digoreng sampai gosong. Tuh kan, lagi-lagi tentang penyiksaan. Setelah menyiksa diri sendiri, lalu menyiksa orang lain. Yaa, kalo situ udah baligh, dosanya ditanggung sendiri ini, dinikmati aja selagi masih bisa.

Ehm, segini dulu aja. Kalau terlalu lama, khawatir keluarnya sumpah serapah yang nggak berguna. Maaf ya, terima kasih. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan

Sedikit Tentang Nulis

Beberapa hari lalu, gw sempat mencoba memulai untuk menulis cerpen. Meskipun tema yang ditawarkan masih seputar cinta-patah hati, tetep aja, buat gw nulis cerpen itu butuh ide yang kaya, juga referensi yang cukup. Mungkin gini, nulis itu gampang, nulis apapun. Nulis cerpen juga bisa kok ngasal. Nah, kalo yang ngasal-ngasal mah gw bisa. Huahahaha. Yang butuh perjuangan itu nulis yang idealis, kaya ide, alurnya logis, dan enak dibaca. Walaupun gw udah kenyang teori-teori sastra, dalam hal ini nulis nggak banyak butuh teori. Ibaratnya, teori itu hanya menyumbang 5%. Justru 95% sisanya adalah kreativitas penulis dalam mengontrol dan mengolah, juga memilih kata yang tersedia di dalam otak kita. (*yang setuju, RT yaaa!) Huahahahaha.. Nggak semua penulis (‘orang yang menulis’) bisa langsung tarakdungces lancar bikin kalimat pertama di awal. Ada juga yang memang butuh mood bagus biar idenya mulus. Ada juga yang harus diputusin kekasihnya dulu, baru bisa ngalir nulisnya. Ehm, tapi gw buk