4.12.11

Komedian



Bismillah,

Pagi empat Desember! UI lagi padet-padetnya acara di tanggal ini, bro. ada Bedah Kampus, dan JGTC (Jazz Goes To Campus). Wow, semoga saksesful ya keduanya, aamiin. Daaan, lagi-lagi gw lebih memilih stay di kosan, nonton siaran ulangnya Ryan, Ernest, dan Akbar di Stand Up Comedy, sembari serius ngutak-atik bahasa Ibrani. YES! Begitu cintanya gw sama dua hal ini.

Ngutip dari pernyataannya Mas Indro WARKOP, “pelawak/komedian itu wawasannya luas”. Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kepada siapa pun, gw pun mengamini apa yang Mas Indro ucapkan. Kenapa? Karena kadang hal-hal kecil yang ada di sekitar kita, dan tidak kita sadari, justru jadi jurus yang cukup ampuh bagi mereka untuk dibikin lelucon. Gimana caranya? Bisa saja dengan menghubungkan hal itu dengan hal lain, ceng-cengan, old jokes, atau hal-hal yang lebih pop dan fresh. Nggak semua orang bisa ‘nemu’ poin/benang merah yang bisa dijadikan komedi. Apalagi kalo materi komedinya yang cukup ‘berisi’. Maksudnya, sajiannya berbeda dari komedi-komedi biasanya, tapi tidak sedikit pun mengurangi rasa ‘ngakak’ penonton.

Hal lain, kalo menurut gw adalah bagaimana cara menyampaikan. Lagi-lagi ya, komunikasi. Misalnya, temen gw nonton acara komedi, dan saat temen gw nonton si komedian nyampein materi komedinya, dijamin deh sakit perut, bahkan kadang sampe standing applause. Namun, beda halnya ketika si temen gw itu nyampein ulang komedi yang dibawakan si komedian kemarin itu ke gw, nggak jarang juga terdengar jayus, garing, norak, atau ‘hah? Lo ngomong apa sih? Nggak ngerti gw, nggak paham’, kalo yang ini lebih JLEB ya?! Kira-kira gitu lah. Pernah nggak lo ngalamin itu? Kikuk rasanya, mau ngelucu, jadi nggak lucu. Padahal, dari awal sebelum kita mau nyampein itu komedi, kadang udah GR duluan, ‘kayaknya kalo gw bilang tentang hal ini, mereka akan ketawa deh’, entah sekali duakali, kadang ada aja gitu selintas pikiran macam itu. Ada ekspektasi-ekspektasi tertentu yang kita harapkan, sebelum kita bertindak. Duileee..

Allah menganugerahkan kita pancaindera, sudah seharusnya yang berjumlah dua ini kita gunakan lebih intens dari yang jumlahnya kurang dari dua. Terlalu sia-sia kalo dua telinga, dan dua mata ini cuma digunakan seadanya, padahal Allah dan alam sekitarnya menyediakan banyak hal bermakna. 

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...