Langsung ke konten utama

Cerita Papandayan (3): Kenapa Nggak Yakin?

Pada tulisan gw sebelumnya, gw kan sempat ragu ke Gunung Papandayan karena beberapa hal teknis: gw bukan pendaki lah, belum pernah lah, dan lain-lain. Nah, ada alasan lain yang bikin gw nggak yakin.

Pertama, temen gw—Citra, anak pencinta alam, yang minjemin gw carrier; daypack; sepatu; senter; plus buku panduan pencinta alam—berkali-kali ngomong ke gw kalau dia khawatir. Dia tau kalau gw jalan bersama orang-orang yang belum pernah naik, gw nge-lead, dan kabar terakhir yang dia dengar: ternyata gw tetep jalan bertiga dengan cewe-cewe ajaib nan perkasa. “Duh, Kak Idha, kok gw khawatir ya.” – Citra.

Kedua, gw sama sekali nggak ngasih tau orangtua gw kalau gw mau pergi—apalagi naik gunung. Gw nggak izin ke mereka—bahkan—karena gw tau, gw nggak akan diizinin jalan. Namanya orangtua, pasti maunya yang aman-aman aja untuk anaknya. Mana akhir-akhir ini lagi banyak kabar gunung batuk. Beuh, gw bisa dislepet jarum neraka sama ayah dan ibu gw nanti :’(

Ketiga, Kamis malam sebelum gw jalan, gw beli banyak pempek untuk dimakan bareng anak-anak kosan. Ya ini mah karena gw lagi pengen aja makan ramean. Kata Citra: “kok lo seakan-akan mau ngucapin selamat tinggal sih, Kak Idha?” kan, gimana gw nggak deg-degan coba?!

Ibu jamu yang biasa jadi langganan gw juga bilang, “ati-ati ya, Mbak. Semoga slamet!
Pak Lulu, warung makan langganan gw juga sms ke gw: “hati-hati, Mbak. Semoga senang. Jangan lupa fhoto-fhotonya.” Ini gw nulisnya beneran yang disms sama Pak Lulu lho :’)

Duh, ini pada kenapa? Ya emang sih, gw bersyukur karena didoakan oleh mereka. Cuma ya, tetep deg-deg-ser. Bismillah, gw pergi dengan niatan yang baik. Kalaupun memang sudah batasnya, silakan ambil. Begitulah yang gw ucapkan, dan mohon pada Tuhan.

Jujur, gw sempat sangat amat nggak tenang banget hati dan pikirannya karena banyak hal. Pokoknya sholawat nabi aja yang gw komat-kamitin sepanjang gw merasa gelisah. Dengan begitu, gw merasa lebih baik, dan dekat dengan Tuhan.

Yakin nggak yakin, Jumat malam pukul 9, kami bertiga sampai juga di Kampung Rambutan—meeting point sesuai itinerary.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68! Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah. Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. M

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan