16.4.14

Cerita Papandayan (5): What Happens, Next?

Berhubung tulisan sebelumnya cuma sampai “touch down Terminal Guntur”, kali ini gw akan ngelanjutin terusannya. Pasti penasaran dong dengan What Happens berikutnya? Hahaha. Ya kalau nggak penasaran, gampang, tinggal close aja tab nya. Kelar!

Kami bertiga sebenernya udah tau, apa yang mesti dilakukan setelah tiba di terminal: naik angkot menuju Cisurupan. Yang jadi masalah adalah, kami hanya bertiga. Sementara kapasitas angkot kurang lebih 10-12 orang. Maka dari itu dibutuhkan ‘kenalan’ demi perjalanan yang lebih lancar.

Gw, Dita, dan Wina lalu merapat ke samping Mesjid sekitar. Kenapa? Karena dingin banget ternyata bok. Hahaha, bukan hanya itu, para pendaki lain juga ngaso di situ, jadi kami cukup aman dan lahan kenalan semakin lebar. Mulailah Dita ngajak ngobrol sepasang anak manusia yang kami curigai-mereka-sedang-pacaran. Maksudnya, mereka jalan kemari hanya berdua, sengaja untuk menghabiskan waktu bersama yayang. Huhuy!

Usut punya usut, teman Dita ternyata teman dari si Romi juga. Diketahui belakangan, namanya Romi. Cewenya bernama Vania. Yaudahlah kita saling menyebut nama dan bersalaman. Setelah kenal, Romi dan Yuli mengenalkan tiga temannya pada kami. Ternyata, mereka baru kenal saat itu juga. Lucu deh! Nggak ketebak amat. Kami berdelapan sekarang. Asyik, rame! Tiba-tiba salah seorang—yang bernama Rudin—mempersilakan kami loading barang bawaan ke angkot. Wow, syukurlah, kita nggak usah repot-repot ngelobi abang angkot plus nawar harganya.

Begitu naik, dan duduk di sebelah sopir, gw buka daypack. Ngecek hp, lalu merasa ada yang janggal. Iya, hp gw cuma satu. Harusnya ada dua. Gw langsung minta tolong Dita dan Wina untuk missed-call-in. Kata mereka masih aktif nomornya. Oke, stay positive, semoga hp gw jatuh di dalam carrier pas gw ngambil jaket tadi. Beberapa menit angkot jalan, tiba-tiba menepi. Yap, tepat. Angkotnya mogok.

Begitu turun, gw langsung ngubek-ngubek daypack, dan hasilnya masih nihil. Gw nggak bisa ngubek-ngubek carrier karena masih diikat di atap angkot. Pasrah. Pas ditelepon masih aktif padahal. Huft!

Angkot mogok parah, jadi kami diminta menunggu mobil pick-up yang akan menjemput dan mengantar kami sampai ke basecamp. Sembari menunggu, kami bertiga jalan-jalan, beli ini itu di dalam pasar. Telor, mi instan, tempe, sayur, berbagai bumbu, dan kudapan pun dibeli untuk bekal selama camp nanti.

Dingin terus menusuk tulang-tulang kami di atas mobil pick-up. Namun, indahnya lanskap dini hari membuyarkan semuanya. Sekeliling kami memang sangat gelap, tapi bintang-bintang di langit rela menjadi atap. Azek! Kalau nulis beginiannya makin malam, kadang memang makin jadi. Jadi bagus. Hahaha.

Langit dan sekitarnya semakin mengagumkan ketika jarum jam menunjuk angka 5. Ya, pukul 5—6 pagi adalah pemandangan luar biasa. Kita bisa melihat dengan jelas Gunung Cikuray, lanskap Kota Bandung, dan garis-garis oranye cokelat melintang di antara pegunungan. Subhanallah!

Sekitar pukul 6 pagi, kami sampai di basecamp Gunung Papandayan. Registrasi, istirahat sejenak, sarapan, foto-foto, berdoa, dan berangkaaaaat! Akhirnya kami sampai juga di sini. Gw—khususnya—super speechless karena wishlist bulan ini tercapai :’)

FYI, kami jalan berenam saja menuju Pondok Seladah. Yang dua orang pacaran tadi udah duluan soalnya. Okelah, no probs. Dengan mengucap bismillahirrahmaanirrahiim, kami pun memulai perjalanan menuju camp di Pondok Seladah. Semoga lancar perjalanannya.



Cerita Papandayan (4): What Happens, Jakarta - Garut?


Sumringah adalah ketika gw dan Dita sampai di depan Terminal Kampung Rambutan (TKR). Wina udah sampai sana duluan, doi nunggu kami sembari makan dan lalalili. Menurut Mba Nanda—senior pendaki—kita nunggu aja di depan terminal, nggak usah masuk. Telepon-teleponanlah kami dengan Wina.

Dia bilang “di dalem aja sekalian, Dha. Nanti malah nggak dapet tempat duduk yang enak kalo nunggu di luar, karena udah keburu penuh.” Ya bener juga sih. Apalagi gw butuh duduk di depan alias tepat di belakang sopir biar nggak mabuk. Mabuk cinta. Cih!

FYI, yang belum akrab dengan sikon TKR, pasti bingung. Beuh, ini terminal luasnya mayan bok. Kalau kita tengak-tengok ketauan bingungnya, mampus lah kita, habis itu dompet, hp, dan barang berharga lain nggak kerasa ilangnya. Akhirnya sok-sok an lah kami jalan terus menuju ke dalam terminal. Pokoknya ngikutin arah jalan orang-orang yang—pakaian, gestur, dan tampangnya—cukup meyakinkan. Dan, kalaupun mau nanya sesuatu, tanyakanlah hal-hal yang mau ditanyakan kepada para penjual makanan/minuman di kedai pinggiran, niscaya akan lebih aman. Hahaha. Berasa Bang Napi syariah deh ini :D

Kami bertiga janjian ketemu di depan Indomaret di dalam TKR. Jauh juga nyari Indomaret-nya.
Gw : “Bang, Indomaret di sebelah mana ya?”
Abang : “Lurus aja neng. Tadi temen-temennya udah pada dateng kok, bawa tas gede.”
Hah, temen-temennya? Ahahahaha. Gw iya-in aja lah ini. Pas sampai di depan Indomaret, ternyata emang banyak orang ber-carrier duduk-duduk di sana. Wuih, ramenyo! Makin seneng lah karena gw pikir, perjalanan ini pasti seru.

Alhamdulillahnya lagi kebagian tempat duduk paling depan. Iya, depan sopir. Ya keleeeus! Udahlah, ini mah nggak diridhoi dari segi mananya coba?

Usut punya usut, gegosipan om sopir, kenek, dan antek-anteknya, jalur menuju Garut macet total. Hal ini disebabkan Rancaengkek buanjir, tjuk! Si sopir terus berusaha mencari jalan keluar agar kami semua tidak terkena macet.

Dia terlihat menelepon rekan-rekan seperjuangannya berkali-kali lewat smartphone kecenya (*ini penting). Mereka sih ngobrolnya dalam bahasa Sunda, lengkap dengan dialek dan aksennya. Intinya mah mastiin kalau jalur utama Jakarta—Garut benar-benar tidak layak dilalui. Ya gimana mau layak. Kata abangnya nih, kita berangkat jam 10 malam, sampai Garut jam 11 pagi. Makanya doi cari jalur alternatip (*pake p) yang lebih manusiawi.

Ternyata oh ternyata, sopirnya ngambil jalur simpang Buah Batu, lewat Jl. Moh. Toha, Majalaya (Bandung). Superwow! Kalau kata Wina dan Dita: daebak! Hahaha. Tapi emang sepanjang jalan, sopirnya nggak pernah kehabisan akal untuk ‘lewat mana’. Kalaupun lewat jalur x, y, z, si sopir pasti woro-woro dulu ke para penumpang, biar penumpangnya nggak kaget.

Alhasil, kami semua sampai di Terminal Guntur – Garut jam 3 pagi. Daebak!

Cerita Papandayan (3): Kenapa Nggak Yakin?

Pada tulisan gw sebelumnya, gw kan sempat ragu ke Gunung Papandayan karena beberapa hal teknis: gw bukan pendaki lah, belum pernah lah, dan lain-lain. Nah, ada alasan lain yang bikin gw nggak yakin.

Pertama, temen gw—Citra, anak pencinta alam, yang minjemin gw carrier; daypack; sepatu; senter; plus buku panduan pencinta alam—berkali-kali ngomong ke gw kalau dia khawatir. Dia tau kalau gw jalan bersama orang-orang yang belum pernah naik, gw nge-lead, dan kabar terakhir yang dia dengar: ternyata gw tetep jalan bertiga dengan cewe-cewe ajaib nan perkasa. “Duh, Kak Idha, kok gw khawatir ya.” – Citra.

Kedua, gw sama sekali nggak ngasih tau orangtua gw kalau gw mau pergi—apalagi naik gunung. Gw nggak izin ke mereka—bahkan—karena gw tau, gw nggak akan diizinin jalan. Namanya orangtua, pasti maunya yang aman-aman aja untuk anaknya. Mana akhir-akhir ini lagi banyak kabar gunung batuk. Beuh, gw bisa dislepet jarum neraka sama ayah dan ibu gw nanti :’(

Ketiga, Kamis malam sebelum gw jalan, gw beli banyak pempek untuk dimakan bareng anak-anak kosan. Ya ini mah karena gw lagi pengen aja makan ramean. Kata Citra: “kok lo seakan-akan mau ngucapin selamat tinggal sih, Kak Idha?” kan, gimana gw nggak deg-degan coba?!

Ibu jamu yang biasa jadi langganan gw juga bilang, “ati-ati ya, Mbak. Semoga slamet!
Pak Lulu, warung makan langganan gw juga sms ke gw: “hati-hati, Mbak. Semoga senang. Jangan lupa fhoto-fhotonya.” Ini gw nulisnya beneran yang disms sama Pak Lulu lho :’)

Duh, ini pada kenapa? Ya emang sih, gw bersyukur karena didoakan oleh mereka. Cuma ya, tetep deg-deg-ser. Bismillah, gw pergi dengan niatan yang baik. Kalaupun memang sudah batasnya, silakan ambil. Begitulah yang gw ucapkan, dan mohon pada Tuhan.

Jujur, gw sempat sangat amat nggak tenang banget hati dan pikirannya karena banyak hal. Pokoknya sholawat nabi aja yang gw komat-kamitin sepanjang gw merasa gelisah. Dengan begitu, gw merasa lebih baik, dan dekat dengan Tuhan.

Yakin nggak yakin, Jumat malam pukul 9, kami bertiga sampai juga di Kampung Rambutan—meeting point sesuai itinerary.

Cerita Papandayan (2): Drama

Kali ini gw nggak akan membahas teori drama dalam bahasa Indonesia, apalagi ngasih kuliah beberapa SKS ke pembaca tentang jenis-jenis drama dan periodisasinya. Ya siapa juga yang mau-maunya dikasih kuliah sama lo, Dha?!

Oke, lupakan.
Anyway, masih ingat kan tulisan gw yang judulnya Why Not? Nah, insya Allah akan gw lanjutkan. Syukur-syukur ada yang nunggu, kalau nggak ada ya nggak apa juga, terima aja Dha! Bungkus.

Kok judulnya Drama sih?
Karena trip Papandayan ini banyak banget dramanya. Gw sampai bingung, pusing, migrain, rindu. Eh, yang terakhir mah typo ding :’))

Awalnya gw seneng karena respons anak-anak di grup whatsapp Krakatau oke banget. Pas gw data, ada 17 manusia yang ‘ngacung’ untuk ikut. Dari 17 itu, ada anak-anak Krakatau, beberapa temannya teman, dan lain-lain. H-7 sebelum berangkat, Zakiyah sempat bilang gini: “kok ini nggak ada info lanjutan Papandayan ya?” saat itulah gw masuk dan langsung menyerang doi dengan dua pasang martil di tangan: “belum, Zak. Nunggu fiksasi anak-anak, baru aku bikinin grup khusus.”

Sampai di sini, aman. Gw bikinlah itu, grup Trip Papandayan. Gw mulai masukin kontak anak-anak yang ‘ngacung’ tadi. Cuma 14, sisa 3 0rang yang nggak mau dimasukin ke grup. Katanya nanti dulu, masih ragu. Halah, paling ujung-ujungnya juga cancel (dalam hati, red.). Gw pun deg-degan karena masih ada 14 orang yang harus gw urus nanti. Fuh!

Sembari gw terus mencari informasi, cari wangsit dan sumber energi, diam-diam gw ragu. Yakin nih mau jalan? jangan dipaksakan lah, Dha. (dalam hati, red.). Meskipun itinerary udah beres, apa-apa yang mesti dibawanya yang belum beres. Beuh. Tenda, kompor, nesting, gas, peralatan dan perlengkapan masak, dan sebagainya yang harus disiapkan kalau mau naik gunung.

Ribet? Ya, lumayan lah. Masih bisa gw atasi. Karena peralatan outdoor jarang ada yang punya, dan kalaupun punya-boleh dipinjam, pas lagi dipinjam orang lain, akhirnya kami memutuskan untuk sewa. Sewa tenda, kompor, nesting. Gw googling, tanya teman yang pernah nyewa, dan gw pun ke sana—tempat penyewaan alat-alat outdoor. Alhamdulillah deket, di Kelapa Dua.

H-5, beberapa orang mundur karena alasan lembur. Baiklah, tersisa 8 orang: 6 perempuan dan 2 lelaki. Berarti butuh 3 tenda, biar safe. H-3, ada lagi yang batal ikut karena alasan lembur (lagi). Sisa 7 orang: 5 perempuan, 2 lelaki. Oke, hari Kamis (H-1) gw ke tempat penyewaan. Sewa 2 tenda, 3 kompor, 1 nesting, plus gw kasih DP (sementara pakai uang gw).

Kamis malam. Satu orang batal karena nggak dapet izin orangtua. Tersisa 6 orang: 4 perempuan, 2 lelaki. Huft lah! Meski demikian, tidur gw tetep nyenyak. Jumat pagi, bangun dengan setumpuk jiwa positif dan senang karena malam ini berangkat ke Garut. Ahey! Gw mulai packing. Mulai dari pinjam carrier ke teman pendaki, sepatu treking, dan peralatan yang nggak gw punya. Alhamdulillah semua yang dibutuhkan ada.

Setelah makan siang, gw terima whatsapp dari salah seorang yang akhirnya juga terpaksa membatalkan keikutsertaannya. Damn you! Alasan kerjaan. Fine. Sisa berapa pemirsah? Gw bosen nulisnya, hahaha. Hmm, tinggal 4 perempuan dan 1 lelaki. Feeling gw nih ya, ini cowo satu bakal cancel. Terbukti. Setelah gw umumin di grup kalau ada yang batal, lelaki satu-satunya pun batal. Sisa 4 perempuan. Gw timbang-timbang, dengan segala kerusakan mood gw, akhirnya gw cancel trip ini. Resmi gw umumin di grup. End. Whoop, no!

Gw akhirnya nge-whatsapp Wina dan Dita. Mau jalan atau nggak? Wina jawab: “jalan aja yuk!” njir, ini anak. Begitu gw tau Wina jawab “jalan aja yuk!”, tiba-tiba mood gw berubah drastis. Kenapa nggak dijadiin aja ya?! Pikir gw. Mendadak bodo amat. Mau cuma bertiga, mau nggak ada cowo, bodo amat. Jalan mah jalan aja. Hajar! Nanggung, cing.

Gw pun mengiyakan ajakan Wina. Dita juga masih mau lanjut. Wow! Baiklah. Gw ajak Ciyrun, doi mau ternyata. Ahhahahaha. Berempat! Senyum lebar deh gw. Jumat sore gw ke tempat penyewaan ngambil tenda-kompor-nesting. Finally, 1 tenda 2 kompor, 1 nesting. Alhamdulillah pembatalan jumlah nggak kena charge.

Kelar packing, baca whatsapp dari Ciyrun. Doi ragu-ragu, kemudian memutuskan untuk batal aja. Oke. Bertiga! Gw-Wina-Dita. Lets go!
Idha - Wina - Dita
Yes, we are the random girls, with random trip, and random things :’)

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...