Seperti biasa, tradisi anak rantau setelah puasa: mudik ‘mulih udik’ atau lebih akrab dikenal
pulang kampung. Alhamdulillah kali ini saya berhasil mengantongi tiket kereta
eksekutif untuk pulang ke Tegal—beli sebelum puasa bahkan, karena khawatir
kehabisan. Sedikit lega. Namun, entah mengapa, saya sedih. Mungkin karena suatu
alasan—yang tidak bisa saya ceritakan di sini. Selain itu, biasanya sih ada
yang nganter. Sekadar menemani sampai Stasiun UI atau Stasiun Gambir. Kali ini
nggak ada.
Dulu ada cerita lucu, hmm, agak mengesalkan mungkin—lebih tepatnya. Pernah
ada yang nawarin jemput saya di kosan, dan ikut nganter sampai Stasiun UI.
Cuma, waktu itu dia sangat ngaret. Padahal, jadwal kereta nggak bisa
ditoleransi. Saya terpaksa naik ojek sampai Stasiun UI. Waktu itu, dia sama
sekali nggak bisa dihubungi, pada saat-saat genting sekalipun. Begitu saya naik
kereta, beberapa menit kemudian, dia baru sms saya, ngasih tahu kalau dia udah
sampai Stasiun UI. Hih! Ini tuh, macem judul film “Pacar Ketinggalan Kereta”.
Sampai Gambir, saya masih agak kesal. Bahkan, sampai kereta Cireks jalan, malah
mbrebes mili. Campur aduk rasanya.
Tahun berikutnya, saya juga sempat dekat dengan seseorang. Kebetulan
dia sedang di Jakarta. Dan, dia pasti tahu setiap saya mau pulang kampung.
Malam sebelumnya, kami sms-an. Nah, sms terakhir saya waktu itu isinya tentang
ajakan untuk ketemuan—terakhir sebelum saya pulang. Gambir, pukul 10 pagi.
Begitu kira-kira smsnya. Sampai pagi hari, tidak ada respons dari dia. Saya
mencoba menunggu sampai pukul 10.30 di Gambir. Tetap saja belum ada tanda-tanda
kedatangannya. Pukul 10.45 saya menyerah, memutuskan untuk naik ke peron
Cireks. Yasudah, tak ada kabar apa pun. Sedih sih. Keesokan harinya, saya coba
sms. Ternyata, katanya, tidak ada sms apa pun dari saya yang masuk ke
ponselnya. Hmm, baiklah. Sampai tulisan ini ditulis, saya belum berniat ngasih
tahu dia, bahwa malam sebelum saya pulang, saya sempat sms ngajak ketemuan di
Gambir pukul 10. Biarlah.
Nah, mudik berikutnya, sempat dua kali—kalau tak salah—ditemani Dwi
sampai Gambir. Hihihi. Makasih ses!
Teman, tidak untuk mudik tahun ini. Namun, pagi-pagi, sebelum saya
berangkat ke Gambir, kejutan datang. Aga dan Esthi sowan ke kosan. Bawa
kudapan. Kata mereka, kudapannya buat buka puasa di kereta nanti. Aaaaaak,
super deh! Manis banget sih kalian :’) makasih banyak.
Begitu kira-kira lika-liku mudik saya selama beberapa tahun
belakangan. Mudah-mudahan, mudik tahun depan juga punya cerita seru yang
berkesan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar