19.9.13

One Day Trip Bandung

Mudah-mudahan temen-temen nggak bosen ya, pas baca postingan, tripnya Bandung mulu. Hahaha. Berawal dari Copie (temen kosan) yang tanya-tanya soal Bandung ke saya. Saya pun balik tanya, dalam rangka apa dia ke Bandung, dan kapan, dengan siapa *lengkap ye!* ternyata, rencana Copie ke Bandung adalah dalam rangka menemani sepupu dari mantan bosnya. Sebut saja, bos Copie (M), sepupu bosnya (T). Keduanya orang Jepang, bedanya si M alumni Sastra Jepang UI—sehingga dia fasih bahasa Indonesia, sedangkan si T hanya bisa bahasa Jepang. Nah, si Copie ini bisa bahasa Jepang—padahal doi alumni Sastra Inggris, hahaha. Makanya Copie dimintai tolong oleh bosnya untuk nge-guide si T keliling Bandung—meskipun hanya sehari.

Setelah Copie menjelaskan panjang lebar tentang 5W1H ke Bandung, saya pun mulai melancarkan serangan dadakan. Sebagai orang yang sering banget bolak-balik Bandung *halah* saya cukup banyak bicara dan ngasih masukan ke Copie. Tempat wisata, tempat makan, dan tempat beli oleh-oleh. Oh iya, saya sama sekali nggak pernah menyarankan dan menyebut mall untuk dikunjungi selama di sana. Karena ya, namanya mall, kurang lebih sama aja isinya. Ujung-ujungnya, saya mulai merayu Copie untuk menanyakan ke bosnya, saya boleh ikut atau nggak?! Hahaha. Tetep ye, tujuannya ngikut. Setelah meyakinkan Copie kalau saya tau banyak tempat di Bandung, dia pun menghubungi bosnya. Sehari, dua hari, akhirnya email dari Copie pun dibalas oleh bosnya. Jawabannya adalah, boleh ikut. Yeaaaay! :D

Kami berangkat hari Kamis pagi, sekitar pukul 6.00. Malam sebelumnya—tentunya—udah riweuh asik nyari plus nyatet tempat mana aja yang harus dikunjungi. Saya dan Copie naik taksi dari Depok menuju Cibitung, kurang lebih 2 jam perjalanan. Daaaan, tumben, saya mabok berat. Pusing, mual, tapi tetep saya tahan biar nggak muntah. Dari awal udah diniati nggak akan minum obat mabok. Namun, karena baru sampai Cibubur aja udah mual banget, terpaksa minum deh satu kapsul—dalam keadaan belum sarapan, belum ada makanan apa pun yang masuk ke perut. Dalam hati, ini sayanya yang lebay—gini doang mabok—atau emang sopirnya yang masih ngantuk dan kasar nyetirnya?! Pas sampai Cibitung, turun dari taksi, Copie cerita kalau dia juga merasa, si sopir agak-agak nggak bener bawa mobilnya. Dia aja pusing—biasanya nggak. Seriusan, saya lemes banget pas turun dari taksi. Selama perjalanan sebenarnya saya udah coba minta kecilin AC-nya, dan terakhir minta dimatiin AC-nya karena udah nggak kuat. Ngomong aja nggak shanggup! Bagi orang-orang yang sering mabok, pasti tau deh rasanya seperti apa. Makan nggak enak, minum nggak enak, semua jadi nggak enak karena perut-otak-badan nggak enak.

Semenjak di dalam taksi, saya udah berimajinasi kalau mobil yang bakal kami naiki nanti tuh enak, aroma mobilnya nggak bikin mabok, sopirnya baik banget, dan nyaman. Ya, namanya juga orang maboks, suka punya bayangan yang paradoks.

Perjalanan menuju Bandung cukup lancar. Tepat pukul 10.00 kami sampai. Tujuan pertama kami saat itu adalah Museum KAA. Berhubung kami—tepatnya saya dan Copie—belum sarapan, maka saya pun mengusulkan agar makan di SugaRush, Braga. Namun, kami belum berjodoh, SugaRush masih tutup. Jadilah mampir ke Wendy’s. Yasudahlah, yang penting makan karena telanjur sangat lapar. Pas jalan pulang menuju Museum KAA, ternyata SugaRush buka. Aaaaaaaaaaaaak! Kapan-kapan lagi deh mampirnya.

Setelah makan, kami menuju Museum KAA, dan Museum Pos Indonesia. Seperti biasa, muter-muter jalan berkali-kali. Hahaha. Maaf ya, Copie, saya memang hafal Bandung, tapi nggak hafal jalan :p
Tetsuya, Copie, di Museum KAA
Idha
Begitu pukul 13.30, Copie melontarkan usulnya untuk mengunjungi saudaranya di Kebun Binatang Bandung. Daaaan, si orang Jepang-nya mau ternyata. Yasudah, akhirnya kami ke sana. Setelah beli tiket masuk untuk tiga orang, saya izin ke toilet dan sholat Dzuhur, rencananya abis itu nyusul mereka berdua di dalam. Kemudian, ponsel saya tak berapa lama bergetar, tanda sms masuk. Bukan dari Copie, tapi dari orang lain. Mau ketemuan, tapi debat dulu, debatnya panjang pula! Hahaha. Ya, setidaknya ngobatin rindu lah ya, meskipun sekadar 20 menitan :‘) di waktu yang sempit dan mendesak itu kadang malah berjodoh. Selama ini saya punya banyak waktu berlama-lama, tapi ya, ada aja yang bikin nggak jadi ketemu. Oh, life!

Pertemuan ini sama sekali nggak direncanakan sebelumnya, on the spot aja. Gambling, ketemu syukur, nggak juga nggak apa. Setelah Copie sms, saya langsung cabut lagi. Cari tempat makan, dan akhirnya kami ke Potluck Kitchen. Akhirnya juga, saya—yang udah beberapa kali ke Potluck—baru kali ini sempet lempar koin ke kolam harapan. Hahaha. Saya, Copie, dan Tetsuya—orang Jepang itu—berdoa dulu sebelum melempar  koin ke dalam kolam. Semoga Allah mendengar dan mengabulkan permintaan kami, aamiin. Btw, saya baru tahu kalau Sop Iga Potluck itu ueenaks bangets. Biasanya kan, biasanya, makanan Indonesia yang masuk ke kafe-kafe, kadang kurang lezat. Nah, yang ini beda. Mantap deh pokoknya. Nggak percaya? Coba aja nanti!

Berhubung kami kayaknya betah banget keliling Bandung, jadi rencana pulang sore ditunda, entah sampai kapan. Hahaha. Pastinya nggak akan nginep sih. Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan ke money changer dan Babe—finally—setelah bimbang, mau ke Saung Udjo atau nggak. Karena, Saung Udjo tutup pukul 6 sore kalau weekdays. Di Babe udah banyak berubah, barang-barangnya makin banyak, makin variatif. Bisa banget jadi alternatif tempat beli souvenir.

Fuh, nggak terasa udah pukul 10 malam. Kami memutuskan untuk pulang, ke Cikarang—rumah bos Copie. Huaaaaa, sampai Depok jam berapa ini? hmm. Pas udah sampai Cikarang, kami masih diajak makan sama si M. Ya ya, makan tengah malam judulnya. Alhasil, sampai Depok pukul 2 pagi. Saya dan Copie naik taksi biru yang sopirnya ngantuk. Keliatan masih muda, masih 20 tahun-an. Saya kasih permen jahe, biar nggak ngantuk. Eee, tetep aja ngantuk. Bahkan, di tol sempet 100 km/jam dalam keadaan jalan agak gelap dan hujan deras. Beuh, gimana nggak ketar-ketir tuh. Menantang! Alhamdulillahnya, pas deket Tol Jagorawi, si sopir bisa diajak ngobrol dan bercanda. Ya, sampai kami turun di depan Es Pocong. Makasih, Mas sopir.

11.9.13

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih:
- Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper)
- Ukuran: 39
- Warna: abu-abu, merah muda
- Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-)
berikut penampakannya:




Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini. 

Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah atau Mursyidatul Umamah, terima kasih banyak :)

Another ‘Birthday Gift’

Beberapa minggu yang lalu, saya dikasih hadiah ini oleh seseorang. Katanya sih, dalam rangka ulang tahun saya—padahal ulang tahun saya cuma sekali, 31 Mei. Nah, kalau begini, serasa ulang tahun berhari-hari :’)


Gemini. Ya, saya bangga jadi Gemini Girl. Katanya sih, supel; senang berteman; dan jago flirting—entah ini harus senang/gimana. Hahaha. Sekalian minta maaf deh, kepada orang-orang yang pernah saya flirting-in :p

Tuh kan, pembahasannya ke mana-mana. Dalam tulisan saya kali ini, saya mau berterima kasih virtual kepada Dedep (partner in crime—Gemini). Sama-sama Gemini, yeah! Makasih ya, Dep. Cup-cup muach! Nggak sabar liat rok birunya dikenakan pas lu sidang, hahaha.

5.9.13

Another 'Kocak' at PLK UI

Dari judulnya, kira-kira saya mau cerita tentang apa nih? Tentang PLK UI lah pastinya. Hahaha. Tepatnya, koplak momen yang saya alami. Seperti apa? Yuk, mari!

Begini ceritanya, dua minggu yang lalu, saya diribetkan dengan urusan utang-piutang dengan beberapa orang. Sederhana kok, bukan prahara utang yang ada di sinetron. Kondisi saya saat itu adalah punya rekening BSM dan BNI, tapi saldonya cuma sekitar belasan ribu di BSM *ciyan*, dan ratusan ribu di BNI, sementara saya harus melakukan transaksi transfer antarbank yang jumlahnya lebih dari puluhan ribu. Jalan terakhir yang saya lakukan: sms ke orang-orang yang punya utang ke saya. Done, tapi ya tetep harus nunggu transferan. Memang harus superdupersabar. Satu lagi, saya itu paling nggak suka nagih utang. Cuma 10ribu, 20ribu, tapi namanya uang, ya tetep berguna dong. Apalagi di saat-saat ‘butuh banget’.

Di sisi lain, ATM BNI saya telah habis masa berlakunya—padahal ini yang bersaldo paling banyak. Otomatis nggak bisa diapa-apakan uangnya. Pergilah saya ke Bank BNI cabang UI Depok. Sampai sana, security-nya baik banget. Semua pertanyaan saya dijawab dengan jelas, juga solutif, sehingga saya nggak jadi ambil nomor antrean. Hahaha. Makasih banyak, Pak :D

Intinya, kalau mau perpanjang masa berlaku ATM, saya harus bawa buku tabungan dan KTP. Nah, masalahnya sekarang adalah buku tabungan saya entah di mana—bahkan ini udah dari tahun lalu, dan sampai sekarang belum ketemu. Anggap saja hilang. Jadi, security menyarankan saya agar ke PLK UI untuk melapor dan membuat surat kehilangan. Baiklah. Bersyukur nggak perlu repot ke kantor polisi. Meluncurlah saya ke PLK UI sore hari, sekitar pukul 17.00, kemudian percakapan pun dimulai.







Deuh, nggak tahan, seriusan. Keluar ruangan, masih nggak habis pikir, kenapa skill lawak beliau melebihi saya?! Biasanya saya bisa ‘skakmat-in’ orang. Sekalipun orang dewasa. Lah ini, malah saya diserang balik habis-habisan. Jadi nggak pede untuk daftar host ‘The Comment’. Ahhahahaaha.

2.9.13

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68!

Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah.

Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. Medan semacam ini cocok untuk pemula—seperti saya. Awalnya cukup deg-degan karena saya takut ketinggian, tapi lama-lama sirna juga.

Sejujurnya, kekhawatiran saya disebabkan oleh beberapa hal: pertama, saya udah lama nggak berolahraga (lari, atau olahraga yang menunjang endurance); kedua, ya karena ini adalah kali pertama naik gunung. Beberapa teman dalam rombongan sih udah pernah ke Semeru, Slamet, Sindoro, dll. Wow aja gitu! Ahahaha. Saya mah masih cupu. Doyan jalan sih, tapi bukan naik gunung. Nah, kenapa saya ikut? Karena ada beberapa teman saya yang ikut—setidaknya ada temennya. Trus, Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu tinggi, jadi saya pikir, saya pasti bisa. Selain itu, saya sih tergoda karena letak gunungnya dekat hamparan pantai, plus karena tidurnya di tenda. Hahaha. Kangen berkemah!

Trip Krakatau kali ini digawangi oleh Mba Nanda (senior saya di SINTESA). Beberapa tahun ini, dia memang sudah jalan ke mana-mana. Berbekal tulisan di blognya, saya pun memutuskan untuk mencoba bergabung. Kebetulan tanggalnya pas hari kemerdekaan, dan budgetnya juga murah. Nanti di tulisan selanjutnya akan saya rinci detilnya, siapa tahu bloggers tertarik dan punya rencana ke sana. Sempat maju mundur ikut atau nggak, tapi saya sih nekat aja, toh beberapa yang ikut juga udah ada yang berpengalaman. Jadi, kalau ada shit happened insya Allah aman, pikir saya.

FYI, kami naik dua kali. Berburu sunset, dan esoknya berburu sunrise. Hmm, saya mau pengakuan dosa dulu nih. Hehehe. Pas jalan pertama—berburu sunset, kerasa banget ngos-ngosannya. Padahal baru sepertiga jalan. Rasanya tuh macem empat kali running paket GPMB. Salah sih, nggak pemanasan dulu di hari-hari sebelum naik. Maklum, udah nggak MB hampir tiga tahun, jadi ya napasnya pendek lagi. Dulu rasanya saya tuh kuat banget, tahan banting—fisik maupun mental. Itu dulu, sekarang mulai menurun daya tahan tubuhnya. Ah, yasudah. Intinya saya nggak akan mengulang kesalahan untuk kali kedua kalau nanti naik gunung lagi. Mungkin ada juga tipe orang yang nggak butuh pemanasan—seperti yang saya bilang tadi, ada juga yang butuh—tipe seperti saya ini.

Saya suka pantai, tapi saya juga takut air, hahaha. Ada kejadian hampir tenggelam pas snorkeling, dan itu cukup membuat saya shock. Alhamdulillahnya ada yang nenangin dan nolongin, aaaaaah makasih :’) “siapa Dha yang nolongin?” ada deh, nggak akan saya sebut namanya :p “lebay lo Dha!” ya gimana, tapi seriusan waktu itu takut banget. Mana airnya asin! *ya iyalah, kan air laut*

Nah, ini baru permulaan alias mukadimah. Cerita berikutnya insya Allah ada lagi. Jangan khawatir, so… stay tune! Hahaha. 

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...