Langsung ke konten utama

One Day Trip Bandung

Mudah-mudahan temen-temen nggak bosen ya, pas baca postingan, tripnya Bandung mulu. Hahaha. Berawal dari Copie (temen kosan) yang tanya-tanya soal Bandung ke saya. Saya pun balik tanya, dalam rangka apa dia ke Bandung, dan kapan, dengan siapa *lengkap ye!* ternyata, rencana Copie ke Bandung adalah dalam rangka menemani sepupu dari mantan bosnya. Sebut saja, bos Copie (M), sepupu bosnya (T). Keduanya orang Jepang, bedanya si M alumni Sastra Jepang UI—sehingga dia fasih bahasa Indonesia, sedangkan si T hanya bisa bahasa Jepang. Nah, si Copie ini bisa bahasa Jepang—padahal doi alumni Sastra Inggris, hahaha. Makanya Copie dimintai tolong oleh bosnya untuk nge-guide si T keliling Bandung—meskipun hanya sehari.

Setelah Copie menjelaskan panjang lebar tentang 5W1H ke Bandung, saya pun mulai melancarkan serangan dadakan. Sebagai orang yang sering banget bolak-balik Bandung *halah* saya cukup banyak bicara dan ngasih masukan ke Copie. Tempat wisata, tempat makan, dan tempat beli oleh-oleh. Oh iya, saya sama sekali nggak pernah menyarankan dan menyebut mall untuk dikunjungi selama di sana. Karena ya, namanya mall, kurang lebih sama aja isinya. Ujung-ujungnya, saya mulai merayu Copie untuk menanyakan ke bosnya, saya boleh ikut atau nggak?! Hahaha. Tetep ye, tujuannya ngikut. Setelah meyakinkan Copie kalau saya tau banyak tempat di Bandung, dia pun menghubungi bosnya. Sehari, dua hari, akhirnya email dari Copie pun dibalas oleh bosnya. Jawabannya adalah, boleh ikut. Yeaaaay! :D

Kami berangkat hari Kamis pagi, sekitar pukul 6.00. Malam sebelumnya—tentunya—udah riweuh asik nyari plus nyatet tempat mana aja yang harus dikunjungi. Saya dan Copie naik taksi dari Depok menuju Cibitung, kurang lebih 2 jam perjalanan. Daaaan, tumben, saya mabok berat. Pusing, mual, tapi tetep saya tahan biar nggak muntah. Dari awal udah diniati nggak akan minum obat mabok. Namun, karena baru sampai Cibubur aja udah mual banget, terpaksa minum deh satu kapsul—dalam keadaan belum sarapan, belum ada makanan apa pun yang masuk ke perut. Dalam hati, ini sayanya yang lebay—gini doang mabok—atau emang sopirnya yang masih ngantuk dan kasar nyetirnya?! Pas sampai Cibitung, turun dari taksi, Copie cerita kalau dia juga merasa, si sopir agak-agak nggak bener bawa mobilnya. Dia aja pusing—biasanya nggak. Seriusan, saya lemes banget pas turun dari taksi. Selama perjalanan sebenarnya saya udah coba minta kecilin AC-nya, dan terakhir minta dimatiin AC-nya karena udah nggak kuat. Ngomong aja nggak shanggup! Bagi orang-orang yang sering mabok, pasti tau deh rasanya seperti apa. Makan nggak enak, minum nggak enak, semua jadi nggak enak karena perut-otak-badan nggak enak.

Semenjak di dalam taksi, saya udah berimajinasi kalau mobil yang bakal kami naiki nanti tuh enak, aroma mobilnya nggak bikin mabok, sopirnya baik banget, dan nyaman. Ya, namanya juga orang maboks, suka punya bayangan yang paradoks.

Perjalanan menuju Bandung cukup lancar. Tepat pukul 10.00 kami sampai. Tujuan pertama kami saat itu adalah Museum KAA. Berhubung kami—tepatnya saya dan Copie—belum sarapan, maka saya pun mengusulkan agar makan di SugaRush, Braga. Namun, kami belum berjodoh, SugaRush masih tutup. Jadilah mampir ke Wendy’s. Yasudahlah, yang penting makan karena telanjur sangat lapar. Pas jalan pulang menuju Museum KAA, ternyata SugaRush buka. Aaaaaaaaaaaaak! Kapan-kapan lagi deh mampirnya.

Setelah makan, kami menuju Museum KAA, dan Museum Pos Indonesia. Seperti biasa, muter-muter jalan berkali-kali. Hahaha. Maaf ya, Copie, saya memang hafal Bandung, tapi nggak hafal jalan :p
Tetsuya, Copie, di Museum KAA
Idha
Begitu pukul 13.30, Copie melontarkan usulnya untuk mengunjungi saudaranya di Kebun Binatang Bandung. Daaaan, si orang Jepang-nya mau ternyata. Yasudah, akhirnya kami ke sana. Setelah beli tiket masuk untuk tiga orang, saya izin ke toilet dan sholat Dzuhur, rencananya abis itu nyusul mereka berdua di dalam. Kemudian, ponsel saya tak berapa lama bergetar, tanda sms masuk. Bukan dari Copie, tapi dari orang lain. Mau ketemuan, tapi debat dulu, debatnya panjang pula! Hahaha. Ya, setidaknya ngobatin rindu lah ya, meskipun sekadar 20 menitan :‘) di waktu yang sempit dan mendesak itu kadang malah berjodoh. Selama ini saya punya banyak waktu berlama-lama, tapi ya, ada aja yang bikin nggak jadi ketemu. Oh, life!

Pertemuan ini sama sekali nggak direncanakan sebelumnya, on the spot aja. Gambling, ketemu syukur, nggak juga nggak apa. Setelah Copie sms, saya langsung cabut lagi. Cari tempat makan, dan akhirnya kami ke Potluck Kitchen. Akhirnya juga, saya—yang udah beberapa kali ke Potluck—baru kali ini sempet lempar koin ke kolam harapan. Hahaha. Saya, Copie, dan Tetsuya—orang Jepang itu—berdoa dulu sebelum melempar  koin ke dalam kolam. Semoga Allah mendengar dan mengabulkan permintaan kami, aamiin. Btw, saya baru tahu kalau Sop Iga Potluck itu ueenaks bangets. Biasanya kan, biasanya, makanan Indonesia yang masuk ke kafe-kafe, kadang kurang lezat. Nah, yang ini beda. Mantap deh pokoknya. Nggak percaya? Coba aja nanti!

Berhubung kami kayaknya betah banget keliling Bandung, jadi rencana pulang sore ditunda, entah sampai kapan. Hahaha. Pastinya nggak akan nginep sih. Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan ke money changer dan Babe—finally—setelah bimbang, mau ke Saung Udjo atau nggak. Karena, Saung Udjo tutup pukul 6 sore kalau weekdays. Di Babe udah banyak berubah, barang-barangnya makin banyak, makin variatif. Bisa banget jadi alternatif tempat beli souvenir.

Fuh, nggak terasa udah pukul 10 malam. Kami memutuskan untuk pulang, ke Cikarang—rumah bos Copie. Huaaaaa, sampai Depok jam berapa ini? hmm. Pas udah sampai Cikarang, kami masih diajak makan sama si M. Ya ya, makan tengah malam judulnya. Alhasil, sampai Depok pukul 2 pagi. Saya dan Copie naik taksi biru yang sopirnya ngantuk. Keliatan masih muda, masih 20 tahun-an. Saya kasih permen jahe, biar nggak ngantuk. Eee, tetep aja ngantuk. Bahkan, di tol sempet 100 km/jam dalam keadaan jalan agak gelap dan hujan deras. Beuh, gimana nggak ketar-ketir tuh. Menantang! Alhamdulillahnya, pas deket Tol Jagorawi, si sopir bisa diajak ngobrol dan bercanda. Ya, sampai kami turun di depan Es Pocong. Makasih, Mas sopir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan

Sedikit Tentang Nulis

Beberapa hari lalu, gw sempat mencoba memulai untuk menulis cerpen. Meskipun tema yang ditawarkan masih seputar cinta-patah hati, tetep aja, buat gw nulis cerpen itu butuh ide yang kaya, juga referensi yang cukup. Mungkin gini, nulis itu gampang, nulis apapun. Nulis cerpen juga bisa kok ngasal. Nah, kalo yang ngasal-ngasal mah gw bisa. Huahahaha. Yang butuh perjuangan itu nulis yang idealis, kaya ide, alurnya logis, dan enak dibaca. Walaupun gw udah kenyang teori-teori sastra, dalam hal ini nulis nggak banyak butuh teori. Ibaratnya, teori itu hanya menyumbang 5%. Justru 95% sisanya adalah kreativitas penulis dalam mengontrol dan mengolah, juga memilih kata yang tersedia di dalam otak kita. (*yang setuju, RT yaaa!) Huahahahaha.. Nggak semua penulis (‘orang yang menulis’) bisa langsung tarakdungces lancar bikin kalimat pertama di awal. Ada juga yang memang butuh mood bagus biar idenya mulus. Ada juga yang harus diputusin kekasihnya dulu, baru bisa ngalir nulisnya. Ehm, tapi gw buk