21.8.13

Mudik Tahun Ini

Seperti biasa, tradisi anak rantau setelah puasa: mudik ‘mulih udik’ atau lebih akrab dikenal pulang kampung. Alhamdulillah kali ini saya berhasil mengantongi tiket kereta eksekutif untuk pulang ke Tegal—beli sebelum puasa bahkan, karena khawatir kehabisan. Sedikit lega. Namun, entah mengapa, saya sedih. Mungkin karena suatu alasan—yang tidak bisa saya ceritakan di sini. Selain itu, biasanya sih ada yang nganter. Sekadar menemani sampai Stasiun UI atau Stasiun Gambir. Kali ini nggak ada.

Dulu ada cerita lucu, hmm, agak mengesalkan mungkin—lebih tepatnya. Pernah ada yang nawarin jemput saya di kosan, dan ikut nganter sampai Stasiun UI. Cuma, waktu itu dia sangat ngaret. Padahal, jadwal kereta nggak bisa ditoleransi. Saya terpaksa naik ojek sampai Stasiun UI. Waktu itu, dia sama sekali nggak bisa dihubungi, pada saat-saat genting sekalipun. Begitu saya naik kereta, beberapa menit kemudian, dia baru sms saya, ngasih tahu kalau dia udah sampai Stasiun UI. Hih! Ini tuh, macem judul film “Pacar Ketinggalan Kereta”. Sampai Gambir, saya masih agak kesal. Bahkan, sampai kereta Cireks jalan, malah mbrebes mili. Campur aduk rasanya.

Tahun berikutnya, saya juga sempat dekat dengan seseorang. Kebetulan dia sedang di Jakarta. Dan, dia pasti tahu setiap saya mau pulang kampung. Malam sebelumnya, kami sms-an. Nah, sms terakhir saya waktu itu isinya tentang ajakan untuk ketemuan—terakhir sebelum saya pulang. Gambir, pukul 10 pagi. Begitu kira-kira smsnya. Sampai pagi hari, tidak ada respons dari dia. Saya mencoba menunggu sampai pukul 10.30 di Gambir. Tetap saja belum ada tanda-tanda kedatangannya. Pukul 10.45 saya menyerah, memutuskan untuk naik ke peron Cireks. Yasudah, tak ada kabar apa pun. Sedih sih. Keesokan harinya, saya coba sms. Ternyata, katanya, tidak ada sms apa pun dari saya yang masuk ke ponselnya. Hmm, baiklah. Sampai tulisan ini ditulis, saya belum berniat ngasih tahu dia, bahwa malam sebelum saya pulang, saya sempat sms ngajak ketemuan di Gambir pukul 10. Biarlah.

Nah, mudik berikutnya, sempat dua kali—kalau tak salah—ditemani Dwi sampai Gambir. Hihihi. Makasih ses!

Teman, tidak untuk mudik tahun ini. Namun, pagi-pagi, sebelum saya berangkat ke Gambir, kejutan datang. Aga dan Esthi sowan ke kosan. Bawa kudapan. Kata mereka, kudapannya buat buka puasa di kereta nanti. Aaaaaak, super deh! Manis banget sih kalian :’) makasih banyak.
Begitu kira-kira lika-liku mudik saya selama beberapa tahun belakangan. Mudah-mudahan, mudik tahun depan juga punya cerita seru yang berkesan. 

Kartu Pos

Gila aja lo, 2013 masih aja kirim-kiriman kartu pos!
Adakah yang pernah dihujat begitu? Santai, kamu tidak sendirian, saya juga salah satu korban. Anyway, bagi saya sih, kartu pos adalah salah satu media konvensional yang cukup setia hingga kini. Mungkin sebagian besar manusia meninggalkannya, tapi tidak demikian halnya pada kartu pos. Dia masih hidup, khusus menemani segelintir manusia-manusia yang nggak mau move-on dari klasiknya zaman. Bukannya kami tidak melek teknologi, kami hanya mencoba mempertahankan budaya yang telah ada. Setidaknya, sampai anak-cucu kami bisa ikut mengenal kartu pos. Selembar kertas penuh kata yang bisa mewakili ide—yang tentunya ingin kita sampaikan melalui ‘cara lain’.

Nah, dulu saya sempet nulis juga kok tentang kartu pos. Ceritanya mau sok-sok-an kirim kartu pos penyemangat gitu deh ke salah satu laki-laki spesial. Huahahaha. Cuma ya itu, nggak nyampe ternyata. Nyasar kali kartu posnya. Yaaaa, belum jodoh. Itulah risikonya.

Beberapa minggu lalu, saya cukup beruntung karena dikirimi kartu pos dari seseorang di twitter. Saya nggak kenal dia intinya. Lah, trus tahu dari mana? Saya tahu dari twitter @uswahabibah, di linikalanya ada RT-an dari akun @EHESTI. Usut punya usut, setelah saya telusuri linikala doi, saya tertarik. Tertarik gimana maksudnya? Hmm, begini, si @EHESTI ini lagi di luar negeri—saya juga nggak tahu sih doi lagi ada di negara mana tepatnya—sempet beberapa kali menawarkan kepada followers, ada yang mau dikirimi kartu pos nggak. Kebetulan, @EHESTI masih punya kartu pos dari beberapa negara, seperti Polandia, Austria, Czech, Hungaria, dan sebagainya—ada juga tawaran kartu pos dari Indonesia waktu itu. Saya iseng tanya, masih boleh dikirimi atau nggak, ternyata boleh. Aaaah, senang! Trus iseng tanya lagi—kali ini agak ngelunjak—boleh 3 kartu pos nggak, ternyata boleh lagi. Huahahaha. Makasih, Kak @EHESTI.

Oh iya, si @EHESTI ternyata alumni Sastra Jepang UI ’03. Identitas ini diketahui setelah @uswahabibah nimbrung dalam percakapan twitter saya dan @EHESTI. Uswah nggak terima karena saya manggil @EHESTI dengan embel-embel ‘Kak’. Perlu dicatat bahwa Uswah lebih tua dari @EHESTI, doi anak 2001, men. Sedangkan, saya aja kalau manggil Uswah nggak pakai ‘Kak’, ini juniornya dia malah saya panggil ‘Kak’. Nyahahaha. Masalahnya, kalau jadi ‘Kak Uswah’ tuh terkesan manis anaknya, nggak rela saya!

Berikut kartu pos yang dikirim dan beberapa nukilan yang ditulis oleh @EHESTI:
penampakan 3 kartu pos
(tampak depan) Birkenau - Polandia
(tampak belakang)
(tampak depan) Vienna
(tampak belakang)
(tampak depan) Budapest - Hungaria
(tampak belakang)

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...