Sudah lama kita
bersama, berapa tahun ya kira-kira? Kalau tak salah, sekitar empat tahun. Persis
selepas SMA, kau mulai dekat. Sulit rasanya pisah barang sehari-duahari. Seperti
ada yang kurang kalau “ada aku tanpa kamu.” Empat tahun, bukan waktu yang
singkat. Setia ke mana-mana, saat kuliah, latihan marching band, jalan-jalan ke
Bandung, ke manapun.
Sampai-sampai,
beberapa orang bertanya, “kenapa sih kamu
selalu nempel terus? Macam nggak ada yang lain aja, Dha!” Lalu aku jawab, “kalau aku nyaman, kenapa nggak?!”
Kemudian, di waktu yang lain, ada pula yang sedikit mengeluhkan, “ganti kenapa, Dha? Bosen tau, itu-itu mulu!”
Saat itu, aku
mulai belajar menerima, mengikhlaskan apa-apa yang terlontar. Bodo amat lah! Ini
hidup saya! Hingga akhirnya, ada satu kesempatan yang memaksa untuk melepasnya,
menggantinya dengan yang lain, yang lebih berwarna—katanya. Aku pun melakukan
hal demikian. Pujian? Tentu banyak berdatangan dari mulut orang-orang yang
selama ini mengeluhkan. Namun, yang masih mengganjal adalah lelaki itu—yang sekarang
entah ada di mana. Oknum yang satu ini dengan sangat berani mengatakan hal
sebaliknya. Begini katanya, “aku nggak
suka, kamu nggak garang lagi kalau begini.” Aku kalah!
Keesokan harinya,
aku langsung kembali pada yang lama. Kembali mengenakan warna hitam sebagai
penutup mahkota, alih-alih mengenakan warna merah muda yang mendatangkan banyak
pujian dan disukai orang-orang. Ya, meskipun sudah ratusan kali nasihat “berganti
warna” ini menghujamku, mau gimana lagi. Aku lebih percaya pada lelaki yang
lebih suka melihatku terlihat garang. Nyatanya, aku lebih (ditakdirkan) memilihmu, The Black One. Terima kasih juga, hai lelaki!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar