Langsung ke konten utama

Sarjana Humaniora

Setelah sekian lama dag-dig-dug tak karuan, akhirnya awal Juni lalu pun tereksekusi. Siang itu saya dieksekusi. Bukan oleh para panitera dan penguji, melainkan oleh para iksiwan dan iksiwati. (sedap kan, ada rima dalam kalimatnya, hahaha). Sebenarnya udah dari tanggal 29 Juni lalu, jadwal sidang untuk para—katanya sih kaum intelektual—iksiwan iksiwati. Tersebutlah Ucup dan Sisca yang mengawali parade S. Hum ini. Mereka berada di garda depan. Kemudian, teman-teman lain pun menyusul pada hari-hari berikutnya. Selamat! Selamat! Selamat! S. Hum! S. Hum! S. Hum! Mungkin enam kata inilah yang sedang akrab dinikmati pancaindra akhir-akhir ini.

Bahagia, haru, lelah, menjadi satu dengan frasa ‘tak mau pisah’. Ya, memang beginilah. Lalu bagaimana lagi? Itu sih terserah. Nikmati saja dulu lalalili yang ada di depan mata, selanjutnya mau apa, itu sih hak prerogatip kita. Ya nggak?

Bahagia.
Lega. Gimana nggak? ‘anaknya udah berojol’ atau ‘telurnya baru pecah’. Semacam inilah analoginya. Mulai dari yang ngerjainnya cuma satu semester, dua semester, sampai empat semester, semuanya lega. Beda nggak rasanya? Kalo ini, hanya si aktor/aktris dengan Sang Sutradara yang lebih tau. Kita makmum saja. Bahagia karena telah mencapai titik aman paling awal—mungkin. Bahagia karena berhasil melawan batas diri yang selama ini selalu menempel setiap pagi. Hihihi. Mungkin ada bahagia-bahagia yang lain? Silakan saja :)

Haru.
Tentu saja. Orangtua mana yang tak bangga melihat anaknya sarjana? Manusia mana yang sanggup menolak untuk membahagiakan orangtuanya? Haru. Jelas. Banyak doa yang setiap hari terselip di antara bibir-bibir tak berdaya. Menjelang pagi berdoa; beranjak siang berdoa; menjemput malam pun masih berdoa. Mungkin doa-doa orang tercinta melambung di udara, lalu dilabuhkan di atas sana. Terima kasih untuk selipan doanya :')

Lelah.
Kalo nggak lelah, bukan hidup namanya. Jangan anggap lelah telah membuat orang menjadi lemah. Justru karena dirinyalah, kita memaksa diri untuk—sementara—bertahan, bangun, lalu berlari. Terima kasih. Karena lelahlah, kita jadi terbiasa ditempa. Ya. Sampai jumpa ;)

**PS: berjuta terima kasih atas green tea dingin, kopi panas, telur asin, telur busuk, air perasan, kecap, piloks, dan ramuan-ramuan dahsyat lainnya yang telah kalian alirkan ke sekujur tubuh ini tadi siang. Oh iya, terima kasih juga atas lakban, tambang, tali rafia, isolasi bolak-balik, sedotan, dedaunan, sampah, rerumputan, juga unsur-unsur lain yang sangat mujarab, yang berhasil kalian sisipkan di sekujur badan. IT WAS AMAZING! Hahahaha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68! Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah. Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. M