Langsung ke konten utama

Perkara Kacamata

Ibu saya pernah berkata, di era 70-an, ketika beliau remaja, sempat dilarang mengenakan kacamata oleh ayahnya (kakek saya).

katanya begini: 
"Royal temen ana kacamatanan ana apa. Wis, ora usah reka-reka, dinungi jamu wortel be ngko mari.

It means, meskipun saat itu Ibu dalam keadaan minus sekian, beliau tidak diperkenankan berkacamata. Kata Kakek saya, hanya buang-buang uang saja. Lebih baik uangnya digunakan untuk hal lain, seperti membeli sembako, dan kebutuhan lain yang lebih penting. 

Saya tau cerita ini sekitar tujuh tahun lalu, tepat ketika saya divonis menderita miopi. Bedanya, Ibu tidak se-melarang-itu. Beliau tidak melarang saya berkacamata. Akan tetapi, selalu mewanti-wanti agar tidak menyia-nyiakan mata. Maksudnya, meskipun telah mendapat pertolongan sementara dari makhluk yang bernama kacamata, saya harus tetap menjalani ritual: mengonsumsi segala hal yang dapat menunjang kesehatan mata. Misalnya, setiap hari wajib meminum air perasan wortel. Tentunya, saya sendiri yang memarut, memeras, lalu saya minum. 

Apa nggak bosan? Emang rasanya enak? Ya, namanya juga 'jamu', bagaimanapun rasanya, harus tetap masuk ke dalam tubuh setiap hari. Apalagi, ritual ini nggak mudah dijalani. Saya harus menjepit hidung dengan telunjuk dan ibu jari tangan kiri, kemudian tangan kanan bertugas mempertemukan bibir saya dengan bibir gelas. Setelah habis terteguk, lantas dilanjutkan dengan meminum air putih atau apapun yang manis, sebagai 'tamba'. Begitulah kira-kira.

Variasi obatpun semakin banyak dari tahun ke tahun. Mulai dari cara tradisional hingga cara paling modern. Teh, kapsul, serbuk, tetes mata, sampai operasi lasik yang tercanggih di abad ini juga telah tersedia di sini. Selain itu, seiring dengan berkembangnya pola hidup dan status dalam kehidupan, mungkin memang ada 'era' berkacamata menjadi sebuah gaya hidup. Tentunya, tidak semua orang, hanya berlaku bagi orang-orang yang memang 'membutuhkan kacamata untuk menemani hidupnya' (meskipun dikaruniai mata normal, red.). 

So, berkacamata untuk kebutuhan kesehatan atau hanya sekadar gaya, itu pilihan masing-masing. Asalkan bijak menggunakannya. Satu lagi, kebersyukuran atas setiap kecukupan yang kita punya, ini juga penting. 

:)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIJUAL SEPATU COLLETTE

Hai, kali ini saya mau jual sepatu nih: - Jenis: Sepatu Collette (*namanya tetap sepatu, karena bagian belakangnya tertutup—meskipun model bagian depannya slipper ) - Ukuran: 39 - Warna: abu-abu, merah muda - Harga: Rp160.000,- (harga asli Rp189.900,-) berikut penampakannya: Sepatu baru, belum pernah dipakai. Cocok banget buat temen-temen yang suka hangout, tapi tetep gaya. Nyaman, bahannya semi-beledu (*kata nonbakunya ‘beludru’). Kenapa mau dijual? Karena butuh tambahan uang untuk beli sepatu trekking, hahaha. Eh, tapi serius. Bakal seneng banget kalau ada yang berminat dan bantu saya menyelesaikan perkara jual-beli sepatu ini.  Info lebih lanjut, bisa hubungi saya via twitter/facebook: @idhaumamah  atau  Mursyidatul Umamah , terima kasih banyak :)

Merdeka di Gunung (Anak) Krakatau

Dirgahayu RI ke-68! Bagi saya, 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Akhir pekan 16—18 Agustus pun terasa panjang, biasanya kan nggak terasa, tiba-tiba udah Senin lagi. Rasanya tak berlebihan bila saya menyebut mereka keluarga baru. Entah ini keluarga baru saya yang ke berapa. Pastinya, saya nyaman bersama dan berada di dekat mereka. 25 orang pemberani yang punya nyali luar biasa; dengan karakter yang unik; juga tingkah laku yang cukup gila. Hahaha. Kami berhasil menaklukkan Gunung (Anak) Krakatau. Ya, bagi saya semuanya berhasil—meskipun ada beberapa yang lebih super lagi melanjutkan perjalanan sampai puncak. Kadar ‘berhasil’ setiap orang memang berbeda. Bagaimanapun itu, harus tetap mengucap Hamdalah. Sekadar pengetahuan, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Kemudian, tahun 1927 lahirlah Anak Krakatau. Medan Gunung Anak Krakatau ini tidak terlalu sulit. Beberapa meter pertama kita akan menemui pohon-pohon kecil di kanan kiri jalur. Sisanya pasir putih dan bebatuan. M

RENUNGAN

Monday May 04th 2009, 10:50 pm Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “para malaikat disini mengatakan bahwa, besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara hamba hidup disana? Hamba begitu kecil dan lemah,” kata si bayi. Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu,” “tapi, di surga, apa yang hamba lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi hamba untuk bahagia,” demikian kata si bayi. Tuhan pun menjawab, “malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan membuatmu jadi lebih bahagia,” Si bayi pun kembali bertanya, “dan apa yang dapat hamba lakukan saat hamba ingin berbicara kepada-Mu Tuhan?” “malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.” Demikian Tuhan menjawab. Si bayi masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “hamba mendengar, bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yan