12.2.12

Memilih Pilihan


Sebuah pilihan bukan untuk dikorbankan,

tapi untuk dilanjutkan.

Mengapa? Karena eh karena, merusak pikiran.. 
(kalo itu tadi, liriknya Bang Haji Rhoma) :P
Mari kita kaji! *serem, terdengar berat pembahasannya* padahal ini adalah hal yang sangat dekat dengan manusia. Hampir setiap hari, setiap jam, menit, bahkan detik pun kadang-kadang jadi korban pemaksaan dari sebuah ‘pilihan’. Bisa juga, kita memilih satu di antara beberapa hanya karena gengsi semata. Pernah? Bersyukurlah jika sampai sekarang pilihannya punya ‘jiwa’ di dalamnya, tapi istighfarlah jika memang belum menemukan yang sebenarnya ‘dicinta’. Apa pun keyakinannya, doa tetap diselipkan di sela-sela kesibukan, ya.

Kita nggak akan pernah tau persis, akan seperti apa nantinya pilihan yang kita pilih itu. Berisiko? Tentu. Kalo ngutip kata-kata Cune “Selamat Mengangkasa”, memang lo tau, selama lo menuju angkasa akan ada apa aja? Tomorrow is mystery, dear. Kalo boleh gw bilang, proses menuju pilihan adalah saat kita harus ‘ready for win’ terhadap beberapa hal yang akan kita temui di depan. Baik yang sengaja, maupun tidak. Bahkan, hal-hal yang sebenarnya tidak kita harapkan untuk datang, harus tetap kita menangkan. Bagaimana caranya? Cuma diri sendiri aja yang tau, karena kita lah yang menyimpan senjatanya.

Belum lagi, ketika lo udah puyeng-sepuyeng-puyengnya puyeng memutuskan sebuah pilihan, eh, ada aja kontra. Mungkin kalo yang kontra itu temen agak jauh, atau temen-temen biasa, masih bisa diterima, tapi yang agak berat justru kontradiktif dari orangtua. Kebayang kan gimana migrainnya tiba-tiba datang? Hihi. Ridho Allah kan ridho orangtua juga, makanya di sinilah letak tantangannya. Di sini ujian tahap pertama. Bagaimana caranya kita menjelaskan ke mereka secara baik-baik, tanpa suara meninggi, tanpa nada yang lebih keras, tanpa dendam kesumat. Hiahahaha. Intinya ngangge unggah-ungguh lah sama orangtua.

Pilihan itu salah satu prinsip, sangat prinsipil bahkan untuk beberapa hal yang berpengaruh besar. Bagi orang-orang yang telah melewati seperlima abadnya, pasti tau bagaimana rasanya memperjuangkan ‘sesuatu’ demi keberlangsungan hidupnya, juga untuk keluarga ke depan—tentunya; dan untuk jangka waktu tertentu. Jadi, kuncinya adalah berani. Berani bertanggung jawab terhadap risiko-risiko, juga berani bersikap. Buang jauh-jauh si gengsi, kembali fokus pada apa yang kita cari. Hidup kita bukan milik siapa-siapa, apalagi milik orang-orang yang kontra. 

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...