Sebuah pilihan bukan untuk dikorbankan,
tapi untuk dilanjutkan.
Mengapa? Karena eh karena, merusak pikiran..
(kalo itu tadi, liriknya Bang Haji Rhoma) :P
Mari kita kaji! *serem,
terdengar berat pembahasannya* padahal ini adalah hal yang sangat dekat
dengan manusia. Hampir setiap hari, setiap jam, menit, bahkan detik pun
kadang-kadang jadi korban pemaksaan dari sebuah ‘pilihan’. Bisa juga, kita
memilih satu di antara beberapa hanya karena gengsi semata. Pernah? Bersyukurlah
jika sampai sekarang pilihannya punya ‘jiwa’ di dalamnya, tapi istighfarlah
jika memang belum menemukan yang sebenarnya ‘dicinta’. Apa pun keyakinannya,
doa tetap diselipkan di sela-sela kesibukan, ya.
Kita
nggak akan pernah tau persis, akan seperti apa nantinya pilihan yang kita pilih
itu. Berisiko? Tentu. Kalo ngutip kata-kata Cune “Selamat Mengangkasa”, memang
lo tau, selama lo menuju angkasa akan ada apa aja? Tomorrow is mystery, dear. Kalo boleh gw bilang, proses menuju
pilihan adalah saat kita harus ‘ready for
win’ terhadap beberapa hal yang akan kita temui di depan. Baik yang
sengaja, maupun tidak. Bahkan, hal-hal yang sebenarnya tidak kita harapkan untuk
datang, harus tetap kita menangkan. Bagaimana caranya? Cuma diri sendiri aja
yang tau, karena kita lah yang menyimpan senjatanya.
Belum
lagi, ketika lo udah puyeng-sepuyeng-puyengnya puyeng memutuskan sebuah
pilihan, eh, ada aja kontra. Mungkin kalo yang kontra itu temen agak jauh, atau
temen-temen biasa, masih bisa diterima, tapi yang agak berat justru
kontradiktif dari orangtua. Kebayang kan gimana migrainnya tiba-tiba datang? Hihi.
Ridho Allah kan ridho orangtua juga, makanya di sinilah letak tantangannya. Di sini
ujian tahap pertama. Bagaimana caranya kita menjelaskan ke mereka secara
baik-baik, tanpa suara meninggi, tanpa nada yang lebih keras, tanpa dendam
kesumat. Hiahahaha. Intinya ngangge
unggah-ungguh lah sama orangtua.
Pilihan
itu salah satu prinsip, sangat prinsipil bahkan untuk beberapa hal yang
berpengaruh besar. Bagi orang-orang yang telah melewati seperlima abadnya,
pasti tau bagaimana rasanya memperjuangkan ‘sesuatu’ demi keberlangsungan hidupnya,
juga untuk keluarga ke depan—tentunya; dan untuk jangka waktu tertentu. Jadi,
kuncinya adalah berani. Berani bertanggung jawab terhadap risiko-risiko, juga
berani bersikap. Buang jauh-jauh si gengsi, kembali fokus pada apa yang kita
cari. Hidup kita bukan milik siapa-siapa, apalagi milik orang-orang yang
kontra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar