7.1.12

Journey to The West: First Day

Bismillah,


Hallo, selamat UAS, bagi sekte-sekte yang masih saja merayakannya, semoga berkah, aamiin. Pada kesempatan kali ini, gw akan memulai dengan first-day-trip-on-paradise, haha *lebay*


Ehm, ceritanya nih waktu kami tiba di Stasiun Bandung—pukul setengah satu dini hari—bener-bener gambling banget setelah itu menuju ke mana. Maksudnya ke tempat kosan temennya itu bagaimana caranya, dan ke arah mana, gitu. Jalan makan pun diambil—sebenarnya ini jauh dari koherensi kalimat sebelumnya sih yang ngomongin rute, dan justru nyambung ke perut. Baiklah, akhirnya kami mengisi perut dengan bubur ayam—yang kebetulan nemu tukang bubur ayam, karena awalnya kami mencari semacam warkop. Bubur ayam tanpa kuah. Si mamang hanya ngasih dua mangkok untuk setiap pesanan, satu berisi bubur ayam spesial pake ayam-telor-dan lain-lain, mangkok yang satunya berisi karupuak. Sedap! Pas gw akan memulai makan, dalam hati ‘kok ini nggak pake kuah sih, apa si mamangnya lupa ya?!’ nggak lama kemudian, temen gw—yang juga makan makanan serupa—nyolek “ini buburnya emang nggak berkuah ya?” dengan polosnya. Gw “gw nggak tau deh, apa iya ya? Apa mamangnya lupa kali ya,” kami berdua masih bingung, dan nggak ada satu pun yang berani untuk tanya ke siapa pun. Pas gw mau ngambil karupuak di deket gerobak, gw melihat ada kuah agak kuning kecoklatan yang berada dalam toples kaca. “beuh, ini apaan? Kuahnya ya? (sambil ngaduk-ngaduk itu kuah dengan penuh percaya diri)”. Nggak lama, si mamang dateng “neng, kalo mau ambil sambel, teh, mangga nya..” hmm, gw mengiyakan sembari agak mikir lama.


Setelah itu, kami naksi (naik taksi, pen.) menuju Titimplik, alias Tikukur, belakang Telkom. Bagian haha hihi yang kalo diceritain dan ditulis di sini nggak kelar-kelar, gw sekip aja ya, and next, we break the through, halah, apa sih. Pagi itu kami mulai melancong ke Gedebage, ibaratnya kalo di Jakarta mah Sensi (SenenSiti). Sebelumnya tapi foto-foto dulu di huruf D-A-G-O. Beuh, muter-muter bolak-balik ke sana-kemari sampai lo nggak tau tempat mana yang belum lo sambangi, dan udah nggak inget—ini tempat udah didatengin belum ya tadi? Ya gitu lah. Sekitar tiga jam kami habiskan untuk menggauli Gedebage. After hasrat batin terpuaskan dengan belanja-belanji ala ciwi-ciwi perempewi, kami langsung capcus ke Padasuka. Ya, tujuan utama kami ke Bandung sebenarnya adalah watching off air StandUpNite di Saung Udjo. Meskipun peristiwa pelik salah angkot masih terjadi juga selama perjalanan yang sesungguhnya nggak jauh ini, kami tetap stay cool. Hueueue. Sore itu mendung, agak gelap, dan sendu, tentunya #aiih. Pada akhirnya, makanan beruntung selanjutnya yang kami masukkan ke perut adalah serial nasi Timbel. Yummy. Sempat terjadi perdebatan yang cukup sengit di antara kami bertiga—jalan kaki/naik ojek, mengingat nggak tau jaraknya seberapa jauh, dan saat itu udah gerimis, serta payung yang hanya satu. Finally, kami jalan kaki. Kata orang-orang hanya lima ratus meter. Cus deh!


Alhamdulillah nggak terlalu jauh ternyata. Setelah sampai ke Saung Udjo, kami bingung. Ya. Nggak ngerti apa-apa, dan nggak tau harus gimana *galau maksimal*, sembari liat-liat, jeprat-jepret objek, update status, lirik sana-sini *eaa, kebiasaan*, kami berusaha untuk tidak terlihat seperti orang bego, huhuhu. Hmm, setelah tanya-tanya, ternyata oh ternyata, masih pukul lima sore, dan kami telah menukarkan bukti transfer dengan tiga tiket StandUpNiteBDG4. Huaaah, lega rasanya.


Berpikir, dan terus berpikir biar kami nggak jenuh di situ, si temen gw pun berniat main ke tempat temennya di Padasuka. Usut punya usut, kami ngojek. Ya, daripada nyasar, lebih baik nyampe *ya iyalah, jayus deh kadang* bo! Kata temennya temen gw, rumahnya cuma 5 menit dari Saung Udjo, bujubuneng! Jauuuh yee.. nanjaknya belum, belak-beloknya juga masih ada, turunannya masya Allah banget, cocok banget kayak filosofi hidup. Pas udah sampai sana, whuuaaa, amazing! Dingin, disuguhi tahu cocol, teh anget, beuh! Jaya banget pokoknya. Kalo kata si itu mah, sesuatu. Serius, sesuatu banget. Kami bertiga di situ hingga pukul menunjukkan 18.55 *lo tau kan, gw paling nggak bisa telat, di acara apa pun, bukan karena gw anak MB* sempet kesel dan agak bete sih, tapi yaa lagi-lagi kali ini gw menoleransi emosi sendiri. Bismillah, tarik napas, niat ingsun nggak mau menyia-nyiakan momen malam ini di StandUpNiteBDG4.


Beruntunglah, kami masih bisa masuk karena tiket telah digenggaman. Buat orang-orang yang beli OTS, sepertinya agak susah masuk karena semua space sudah penuh, bre. Gila, gila banget! Sekitar 700-an orang ada di dalem. Bahkan sampai gelar tiker, karpet buat ngeleseh. Mau nggak mau kami bertiga ngeleseh lah ya, orang udah nggak ada tempat duduk yang kosong. Huhh! Pas acara mulai, gw cukup kaget plus seneng karena ternyata para komik duduk persis di belakang tempat kami ngeleseh. Ada hikmahnya ya. Di situ ada Ryan, Ernest dan his wife, Mosidik, Mongol, Dhika, Gilbhas, Danny, Boris, dan lain-lain—yang gw lupa. Oh iya, plus MC yang ganteng tapi jayusnya Subhanallah sekali ya pemirsa, si Theo.


Semua komik emang sakit jiwa gw rasa. Kalo lagi show off air nggak ada saringannya, semuanya dikeluarin. Gokil. Bokep semua malam itu, bales-balesan, sampai pipi pegel, kepala gw migrainnya kambuh, ini semua gara-gara show off-nya mereka. Take a bow. Mau komik lokal, maupun yang sering nongol di tipi, nggak ada bedanya, semuanya bokep to the max banget lah pokoknya. Setiap komik punya cara masing-masing yang sangat unik untuk bikin StandUp mereka patut untuk dikasih tawa, juga bahak, bahkan tepuk tangan berdiri *ya, makin lengkap sudah jayusnya, Dha!* sempet memfoto komiknya pas giliran maju, dan tentunya spesial pake cinta, khusus Ryan, gw yang turun tangan pegang kamera temen gw dan pindah ke bagian depan, tak lain dan tak bukan adalah agar lebih muantap jos gandos, Gan! Lebih dekat, dan lebih nyata. Lanjutkan!


Sekitar empat jam haha hihi jungkir balik sampai nangis—karena ketawa, malam itu nggak terasa udahan aja gitu. Tiba-tiba pukul sebelas malam. Wow! Yeah, this is end of our first journey on the West. Namun, acara kelar, gw masih belum kelar, hahaha. Apa itu? Foto-foto sama komiknya dong, masa sama Mang Udjo-nya K teteuup yeh, Ryan and Ernest. Jauh-jauh sampai ngejar Bandung, sama doi-doi juga mainannya. Ah, tapi tapi, tapi kali ini beda pas aku foto sama Ryan (sambil senyum-senyum geli tersipu tersepona) *yang udah mulai mual, keluarin aja, trus yang mau obat nyamuk cair buat menunjang muntah, cari sendiri ya di swalayan/toserba* sip!


Alhamdulillah, sangat sesuatu *gw belum menemukan padanan kata yang maknanya lebih dari itu*, and the next berikutnya, kami bertiga langsung pulang. Udah keburu gila, kepalang tepaaar juga, capek ngakak. Namun, tahukah apa yang terjadi saat sampai kosan teman? Gerbang depan dikunci, good, and great! 00.30 WIB saat itu. Ada beberapa opsi: lompat pagar, ngetuk pintu sampai ibu kosan denger—dan setelah itu mungkin marah dan akan ngomel-ngomel, atau nggak manggil temen sebelah kamar kami—Reza, kami memanggilnya ‘Eja’, sok-sok akrab padahal ketemu aja nggak. FYI, itu kosan isinya lelaki sejati semua *eh, kayaknya ada yang kurang sejati sih, gossiip* dan yang cewe hanya si temen gw itu. Mampus kan! Udah nggak ada penghuni aslinya—temen gw, penghuni asli kamar, lagi sibuk ngurus kerjaan. Intinya serba nggak enak, serba salah, dan serba susah. Hmm, tapi nggak mau juga nginep di masjid Unpad/ITB .


Amazing, wonderfull, crazy, and bokep! Salam. Viva La Komtung!

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...