Jujur,
gw belum juga mendapatkan jawaban dari Tuhan atas pertanyaan “mengapa kita dipertemukan
di semester akhir?”.
Awal kuliah dulu, kita memang kenal, tapi ya hanya
sekadar—mengenal teman sekelas—layaknya judul cerita di buku pelajaran
anak-anak SD. Cuma saling tegur sapa, mengucap selamat pagi saat baru masuk kelas, selamat makan di Kansas, dan sampai
jumpa saat jam pulang tiba.
Ah! Betapa klisenya hidup kita di kampus
budaya. Kalo kata Krisdayanti ‘menghitung
hari, detik demi detik, masaku nanti apa kan ada’, semacam mempertanyakan
hidup setelah fase ini.
Mungkin
Tuhan punya tujuan lain mempertemukan kita di masa-masa akhir begini:
sebenarnya gw sangat muak dengan alasan ini, sangat basi. Namun, gw pun tak
mengelak apabila pernyataan ini mutlak. Semoga kita bisa saling bersyukur, ya.
Jari
kita tidak akan cukup menghitung seberapa lama lorong waktu dan
kekosongan-kekosongan ini telah kita lewati. Tugas ini kita beri saja kepada para
penggila eksak, biar mereka yang menikmati angka-angka berjalan melingkar di
lintasan sarafnya.
Setuju? *tos gelas Es Tehnya Mas Agus*
:D
Gw
rasa, keintiman kita tidak perlu dipertanyakanlah, ya. Mungkin yang lebih cadas
dipertanyakan adalah: kapan wisuda?kapan nikah? Err, ini juga ‘The
Truly Klise’.
Jen,
lo harus janji sama gw, kalo nanti kita berpisah, yang pisah hanya physically ya, bukan mentally. Raganya mah boleh ke
mana-mana, tapi kalo untuk ‘ikatan partner-in-crime’
sebaliknya, sangat diharamkan. Deal!
Huh, gw tarik dan buang napas dulu ya sebentar..
Janjian
ambil matakuliah, makan bareng, nugas bareng, noilet bareng, ngeceng bareng,
naksir bareng, galau bareng, tinggal tidur sekasur aja nih yang belum pernah
bareng. Apakah lo pernah merasa lelah menapaki klisenya kehidupan ini? Saat gw
merasa demikian, lo adalah obatnya. Pabrik obat generik terkenal mana pun belum
punya produk andal semacam ini, gw rasa.
Untung gw bilang hal ini ke lo ya,
yang udah kenal luar dalam dan pahit manisnya mulut gw, kalo gw bilang ke cowo,
bisa mimisan kali itu anak *hmm, yang ini terlampau GR, I’m sorry
my men ;p*
Nggak
terasa ya Jen, teman-teman sehidup seperjuangan udah menyandang S. Hum. Mungkin
mereka telah siap dengan ‘the real life-nya’.
Kalo kata lo, setelah keluar dari kampus dan bukan lagi mahasiswa, kita turun
kasta, nggak akan dianggap kaum intelektual lagi, nggak akan seringan biasanya
menjawab pertanyaan orang: ‘kuliah di mana?’, karena dulu orang-orang menyebut
kita MAHASISWA, apalagi nama kampus kita. Rasa takut pasti ada, manusiawi
justru. Setiap orang yang pernah mencicipi bangku panas di level tertentu pasti
akan merasakan sisi itu. The grey side..
Apalagi
yang kita khawatirkan kalo bukan the
comfort zone? Kansas, IKSI, PK, Ipul, Lapak 13, Martabak mie, klaster,
pusat perbelanjaan—a.k.a Gedung IX, dan hot
issue perseteruan kampus. Di ‘rumah baru’ kita nanti, memang nggak akan
setiap detik bisa ketemu mereka, bahkan mereka ini tiada duanya karena Tuhan
tidak menciptakan duplikatnya. Namun, satu hal yang harus kita simpan adalah
bahwa kita pernah bersama mereka. Gw sangat bersyukur, gw dilempar ke FIB sama
Tuhan—kalo kata orang, FIB itu IKJ-nya UI—mungkin ada benarnya.
Belajar menghargai
perbedaan yang beragam. Mulai dari mahasiswa yang udah sebulan nggak mandi,
nggak ganti baju, jeansnya bolong sana-sini, kaos kumal-kusam, beralas kaki
jepit paling murah, rambut gondrong keriting semata kaki, setelan celana
pendek, tank top, dan tentunya Hamba
Allah—yang pasti kita rindukan, sampai mahasiswa tampilan mas-mas eksekutif
muda, rambut klimis, wangi radius satu kilometer, sepatu harga selangit, dan
orang-orang yang katanya jijik kalo makan di Kansas, harus kita akui, merekalah
pewarna alami kita selama tiga tahun terakhir.
Inget
ya Jen, gw akan selalu ada buat lo. Pun setelah kita keluar dari IKJ-nya UI
ini. Meskipun kita berdua nggak jarang beda ideologi, beda pendapat, beda pemikiran,
yang kadang sampai bikin kita nggak bareng ke mana-mana seperti biasanya—karena
kisruh kecil yang nggak penting—hingga beberapa hari, bagaimanapun lo masih best mate gw. Terima kasih banget atas
pengertian lo yang luar biasa, kita beda agama, tapi saling toleransi—lo nungguin
gw kelar sholat, bahkan ingetin sholat—luar biasa, gw doang nih yang belum
pernah nemenin lo ke Gereja :)
Kadang gw heran, kok ada ya orang sesabar dan selembut lo, meskipun sedang
dalam keadaan yang seharusnya nggak dilembutin. Gw baru ketemu perempuan macam
lo gini yang tertarik sama feminisme setelah beberapa bulan kuliah. Mempertahankan
argumen-argumen keperempuanan atas teori-teori yang udah lo ‘amin-i’. Yah, meskipun yaa kadang-kadang
sometimes lo terlihat dominant in childish untuk saat-saat
tertentu. Gw mah dibikin enak aja, tanpa perlu ngomelin/negur lo secara keras, dan
menganggap kalo lo lagi ‘kumat’ begitu sebagai bentuk ujian praktik proses
pendewasaan gw. Huahahaha.
Gw
memang bukan orang yang bisa mengobati di saat kegalauan maksimal lo datang. Gw
hanya ingin menemani di saat lo seperti itu. Nggak selamanya nasihat bisa jadi
obat, iya toh? Fuh, lulus di tahun berapa pun karena alasan apa pun, yang
terpenting bagi gw adalah bahwa gw punya banyak cerita dari lo yang bisa gw
bawa pulang ke ‘rumah baru’ gw nanti jika saatnya telah tiba. Oh iya, tahun ini
kita harus menyelesaikan resolusi kita ya: tulisan kita dibikin buku. Entah masih
draft, atau masih di otak—syukur syukur
siap cetak—we must try it! No offense! *nelen ludah, baca bismillah*
The last, “buat apa wisuda kalo belum
ada pendampingnya!” dan semoga jargon (koleksi-seleksi-resepsi) kita lancar
jaya tentram damai sejahtera sadayana
:D
Shalom,
IDHA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar