16.1.12

Buat Entong


Kangen Entooong,

Entong, ini aku. Sudah sampai planet mana sekarang? Ah, serunya berkelana. Nomor ponselmu masih kusimpan. Hmm, rasanya tak perlu mengirim pesan singkat untuk tau kamu di mana, dengan siapa, dan sedang apa. Cukup dengan hening beberapa saat, lalu mencoba menurunkan kelopak hingga kedua bulu mataku saling mengatup. Kemudian meng-call back lintasan saraf otak, mencoba membangkitkan neuron-neuron yang masih menyimpan beberapa agenda kita di tahun 2009, juga di separuh 2010. Pun tentang ihwal ini, aku yakin, kamu bukan penderita ‘ingatan jangka pendek’.

Bagi perempuan lain yang mungkin senasib denganku, rasanya kadang kurang adil memang. Saat aku tau bahwa kamu telah memiliki kekasih, rasanya mirip tersentak jarum kecil. Tetap sakit, meski hanya sedikit. Ah, terlalu klasik sih ya, kalau usia bukan parameter dewasa, tapi aku—dulu—pernah berjanji dengan diri sendiri, bahwa bila saatnya tiba, aku harus menemukan pendamping hidup dengan rentang usia dua atau tiga tahun lebih tua. Namun, sepertinya karma memenangkan peperangan atas ego di episode tahun itu.

Oh iya, Tong.. ’jangan harap aku angkat tangan, lalu menyerah, kemudian sandiwara ini usai’. Satu setengah tahun menurutku cukup untuk tau ‘betapa bocahnya kamu’. Eh, maaf ya, selalu telat balas smsmu, bukan terabaikan, tapi karena detak jarum jam selalu mengambil alih atas kumpulan detik yang kupunya. Fuh.. jangan khawatir, aku punya jurus andalan untuk bisa kembali melihat rekahan senyummu saat kita bertemu. Ah, apa kubilang, kamu luluh! Aku menang! Kamu kalah, hahaha.

Ngomong-ngomong, terima kasih ya Tong, masih mau dekat denganku, meskipun kamu—katanya—punya kekasih. You know? I’m on comfortable zone, for now—aku tak akan bertanya, ‘and for tomorrow?’, biar saja. Jika nanti tiba takdirnya untuk berpisah, semoga kamu rela—dan aku juga, tentunya.

Hmm, Kamis pagi itu, aku meneleponmu, kenapa sih nggak diangkat? Ah, kamu di mana?

Beberapa saat kemudian, aku menarik napas panjang dan memutuskan meninggalkan kelas seharian setelah menerima telepon dari orang tak dikenal. Anehnya, dia telepon dengan ponselmu. Selama perjalanan, aku komat-kamit baca ayat Tuhan, menyamarkan agar tetap terlihat tegar. Segala sms yang masuk ke ponsel, sengaja kuabaikan, demi kamu. Tanpa sadar, sampailah aku di sebuah bangunan putih-putih, penuh dengan orang-orang berbaju seperti petugas kesehatan. Ya, aku belum sempat melihatmu waktu itu. Lalu, tiba-tiba tanpa penjelasan apa pun, orang-orang itu langsung membawamu keluar, katanya biar di autopsi di rumah sakit lain. Dalam hati: “Petugas sinting! Buat apa coba, orang masih hidup pake di autopsi segala?”.  

Somebody please tell me kalau kamu masih hidup! Dan anehnya, pas aku tanya petugas ‘kamu dibawa ke mana’, aku justru disuruh ke kamar jenazah. Damn! Setelah aku sampai di depan pintu, Oh My God! Kenapa kamu bersimbah darah? Kamu diapain sih sama petugas radiologi ini, sampai nggak bangun begitu?

Tadinya aku mikir kalau ini lagi syuting sinetron, tapi ternyata Sutradaranya masih belum nge-cut scene itu sampai sekarang. Ya Tuhan, ini ya, yang namanya kejutan? Hmm, terlalu berkesan. 

Aku masih nyimpen nomor ponselmu, Tong :) hihi. Maaf ya, aku hanya berani mencintaimu lewat surat. Semoga Tuhan selalu di sisimu. Salam buat malaikat-malaikat di sana, sampaikan kalau aku masih menunggu penggantimu. 

Sampai jumpa.

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...