Kangen Entooong,
Entong, ini aku. Sudah sampai
planet mana sekarang? Ah, serunya berkelana. Nomor ponselmu masih kusimpan.
Hmm, rasanya tak perlu mengirim pesan singkat untuk tau kamu di mana, dengan
siapa, dan sedang apa. Cukup dengan hening beberapa saat, lalu mencoba
menurunkan kelopak hingga kedua bulu mataku saling mengatup. Kemudian meng-call back lintasan saraf otak, mencoba
membangkitkan neuron-neuron yang masih menyimpan beberapa agenda kita di tahun
2009, juga di separuh 2010. Pun tentang ihwal ini, aku yakin, kamu bukan
penderita ‘ingatan jangka pendek’.
Bagi perempuan lain yang mungkin
senasib denganku, rasanya kadang kurang adil memang. Saat aku tau bahwa kamu
telah memiliki kekasih, rasanya mirip tersentak jarum kecil. Tetap sakit, meski
hanya sedikit. Ah, terlalu klasik sih ya, kalau usia bukan parameter dewasa,
tapi aku—dulu—pernah berjanji dengan diri sendiri, bahwa bila saatnya tiba, aku
harus menemukan pendamping hidup dengan rentang usia dua atau tiga tahun lebih
tua. Namun, sepertinya karma memenangkan peperangan atas ego di episode tahun
itu.
Oh iya, Tong.. ’jangan harap aku angkat tangan, lalu menyerah,
kemudian sandiwara ini usai’. Satu setengah tahun menurutku cukup untuk tau
‘betapa bocahnya kamu’. Eh, maaf ya, selalu telat balas smsmu, bukan terabaikan,
tapi karena detak jarum jam selalu mengambil alih atas kumpulan detik yang
kupunya. Fuh.. jangan khawatir, aku punya jurus andalan untuk bisa kembali
melihat rekahan senyummu saat kita bertemu. Ah, apa kubilang, kamu luluh! Aku
menang! Kamu kalah, hahaha.
Ngomong-ngomong, terima kasih ya
Tong, masih mau dekat denganku, meskipun kamu—katanya—punya kekasih. You know? I’m on comfortable zone, for now—aku
tak akan bertanya, ‘and for tomorrow?’,
biar saja. Jika nanti tiba takdirnya untuk berpisah, semoga kamu rela—dan aku
juga, tentunya.
Hmm, Kamis pagi itu, aku
meneleponmu, kenapa sih nggak diangkat? Ah,
kamu di mana?
Beberapa saat kemudian, aku
menarik napas panjang dan memutuskan meninggalkan kelas seharian setelah
menerima telepon dari orang tak dikenal. Anehnya, dia telepon dengan ponselmu. Selama
perjalanan, aku komat-kamit baca ayat Tuhan, menyamarkan agar tetap terlihat
tegar. Segala sms yang masuk ke ponsel, sengaja kuabaikan, demi kamu. Tanpa sadar,
sampailah aku di sebuah bangunan putih-putih, penuh dengan orang-orang berbaju
seperti petugas kesehatan. Ya, aku belum sempat melihatmu waktu itu. Lalu, tiba-tiba
tanpa penjelasan apa pun, orang-orang itu langsung membawamu keluar, katanya
biar di autopsi di rumah sakit lain. Dalam hati: “Petugas sinting! Buat apa coba, orang masih hidup pake di autopsi segala?”.
Somebody please tell me kalau kamu masih hidup! Dan anehnya, pas
aku tanya petugas ‘kamu dibawa ke mana’, aku justru disuruh ke kamar jenazah. Damn! Setelah aku sampai di depan pintu,
Oh My God! Kenapa kamu bersimbah darah? Kamu
diapain sih sama petugas radiologi ini, sampai nggak bangun begitu?
Tadinya aku mikir kalau ini lagi syuting
sinetron, tapi ternyata Sutradaranya masih belum nge-cut scene itu sampai sekarang. Ya Tuhan, ini ya, yang namanya kejutan? Hmm, terlalu berkesan.
Aku masih nyimpen nomor ponselmu, Tong :)
hihi. Maaf ya, aku hanya berani mencintaimu lewat surat. Semoga Tuhan selalu di
sisimu. Salam buat malaikat-malaikat di sana, sampaikan kalau aku masih
menunggu penggantimu.
Sampai jumpa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar