10.7.10

Pada Pukul 20.58

Aku memasuki kamar 206, mengganti pakaian. Kubasuh wajahku dengan air suci. Setelah itu kunyalakan notebook dan kupasang modem ZTE. Nada dering Sunburn cukup mengagetkanku, nyaring memekakkan telinga. Ternyata dari ponselku, kuangkat, dan..

ketika satu kotak terbuka oleh luka, kadang luka-luka yang lain turut berduka.
merenggut senyawa indah senja yang sedari tadi menganga.
aku melihatnya,
aku juga mendengarnya,
bahkan aku merasakannya,
apalagi saat kausebut "aku tak terima!"
hh, manjamu meradang..
sungguh, aku tak suka.

emosi menggelegak pun tiba-tiba ada, entah dari mana datangnya.
tak kuseka sedikit pun air mata di sela-sela, kubiarkan mataku penuh binar kaca.
biar dia mengira, kalau aku hanya main-main saja.
tak mengapa, aku suka, karna ini permainan nyata.
rasa itu hanya ada di jiwa-jiwa maya, jadi tak terlalu langka.

sebendung embun mungkin akan tertegun saat kauanggun.
demi satu nama, keangkuhan pun menuntun.

manusia memang tak selalu sempurna, namun aku tercipta untuk menyempurnakan yang dicipta.

Sampai aku menjelaskan mengapa.. (tut tut tut..) pada percakapan kami yang terakhir, dia yang memutus ponselnya. Aku sih, terima-terima saja. Selama dia masih waras dan tidak gila, aku memakluminya. Tanganku masih dalam posisi menggenggam, menempel sedikit pada daun telinga. Plak! Ponselku tergelepak di lantai kamar. Lagu Dance of The Barones menambah dramatis peristiwa malam itu. Anjing gila macam apa kau ini? (dalam hati)
Lelaki, tapi seperti bukan lelaki. Manja, cengeng, cepat naik darah, amarah yang tak terarah. Hanya secuil istilah, tapi malah dijadikan masalah. Mana tulang rusuk Adam yang katanya membuatmu gagah? sama sekali tidak terlihat dalam dirinya. Aku geram! namun, aku tak ingin mengotori rusuk kiri Adam untuk muram. Terlalu pengecut menurutku, untuk ukuran perempuan sepertiku. Bahkan, kadang aku lebih gagah darimu.
Aku telah melupakan telepon durja detik itu. Kutarik selimut coklat susu untuk menutup tubuhku yang pilu, berharap cepat menemukan hari esok di kebun-kebun sejuk nan semu.

sunburn, like the sun...

Ponselku kenapa berbunyi lagi? agak kesal, dan cukup terganggu. Nama yang tertera di layar ponsel ternyata... Ya! si pemutus telepon tadi, meneleponku kembali. Apa maumu anak kucing? (pikirku)
Kuangkat, "halo.." dengan intonasi datar. Ia meminta maaf atas peristiwa sebelumnya, lalu ia menyebut dirinya "khilaf". Ah! alibi. Salah, ya salah saja. Kuhiraukan ia menjelaskan panjang lebar sebab dan akibatnya. Aku tak ingin mengecewakannya hanya karna hal sepele ini. Kuakhiri percakapan itu segera, "Oke!" hingga akhirnya menemui titik terang. Selesai sudah perhelatan tak penting ini. Melayani anak kucing yang manjanya setengah mati. Ya, kali ini ditutup dengan kalimat "i am sorry".

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...