Bagaimana menurut sang waktu?
Begitu liat
judulnya, pada punya jawaban apa? Jawabnya dari hati ya :)
Yakinlah, setiap
jawaban punya latar belakang yang cukup prinsipil. Like me.
Bukan benar/salah,
di FIB nggak diajarin ilmu itu. *rasis fakultas, maap*
Justru hidup jangan
terlampau pusing dengan kebenaran, lama-lama bosan, lalu pingsan.
Hakikatnya,
alasanlah yang mengajarkan kita untuk lebih bijak bertutur kata, dan bertegur
sapa dengan pelajaran—yang mungkin masih akrab dengan kekhilafan.
Bagi gw, ada
toleransi-toleransi yang cukup dibatasi oleh egoisisme yang memang manusiawi. Namun,
seperti halnya gw—yang gampang pasang muka kesel kalo ada sesuatu yang belum
sreg—hanya bisa mendera diri dan nurani untuk selalu memaafkan
kekhilafan-kekhilafan yang terlalu banyak diulang, meskipun orang-orang ini
teman dekat seperjuangan. Bukan, bukan menyalahkan atau menyesalkan sedikit
keterlambatan, melainkan soal belajar menghargai hal-hal yang ‘ternyata krusial’.
Sadar atau belum, beginilah realita yang masih kurang ‘terdengar’ umum.
Gw pribadi nggak
berharap muluk dan/apalagi banyak. Hanya ingin membiasakan yang baik bagi
hidup. Kasihan kalau seterusnya—entah sampai kapan—badan belum pernah merasakan
tabungan kebaikan. Jadi, sudahkah menemukan sebuah jawaban atas pertanyaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar