3.2.12

We Can Called: Shithappen!


Halo, Nyet, kamu apa kabar?

Sori, nggak sopan. Sekali-kali kan nggak papa, ke kamu ini. Hahaha. Kamu masih inget aku nggak ya? Udah berapa puluh tahun kita nggak tatap muka? Cinta kamu udah melanglang buana ke mana aja? Jangan asal ditebar sembarang ya, hati-hati nyasar! Kemarin, aku belum sempat nulis buat kamu, jadi sekarang pun nggak papa kan?!

Tepat sepuluh tahun lalu, kita masih sebangku. Ini juga karena ibu guru, reshuffle teman bangku sesuka si Ibu. Eh, aku malah disisipin di sebelah kamu. Shithappen ini, namanya. Apalagi momen-momen serba kebetulan yang terlalu spontan. Terlalu banyak ya sepertinya. Lomba bareng, petugas upacara bareng, ngibarin bendera bareng, les bareng, ronda bareng aja yang belum. Oh iya, satu lagi yang menurutku ini romantisisme paling geli sedunia: kalo aku pake dress coklat muda bunga-bunga plus celana hitam, pasti kamu lagi pake kemeja pendek warna coklat dipadu celana kebanggaanmu itu. Kejadian ini masih nempel banget di otak. Ah, shit men! Kenapa sih selalu begitu? Aku masih nggak ngerti sampai sekarang.

Oke, sepertinya dari tadi seolah-olah aku terlalu benci sama kamu. Hmm, terima kasih ya, kotak musik bentuk gitar warna merah jambu yang kamu kasih saat ulang tahunku. Masih aku simpan kok, tapi namanya juga disela-sela cinta—mungkin terselip benci—jadi, itu benda sempet jatuh—aku lupa karena apa—dan rusak. Musiknya udah nggak sebagus dan sejernih dulu. Bisa aja ini pertanda kalo cinta kita memang nggak sebersih dulu. Huahahaha. Maksudnya, cinta kita ternoda. Cuih banget ya kata-kata sebelum ini. Buatku, terlalu kotor untuk dikenang, tapi terlalu ‘sok-suci’ untuk dilupakan. Ya, sekarang terserah kita mau apa. Toh, waktu juga nggak pernah menunjukkan kapan kita 'dikukuhkan', maupun 'dipisahkan'. Semuanya berjalan begitu saja. Kita sama-sama nggak ingin terlihat butuh, makanya kita berpisah tanpa salam jumpa, tapi juga tak seperti musuh. Aneh, tapi nyata.

Welcome to the jungle: real life. Sumpah, aku bersyukur banget nggak kuliah di kampus yang sama dengan kamu. Kamu ingin tau, kenapa? Malam itu, saat kamu main ke rumah, sok-sok silaturahim, ngobrol-ngobrol bentar yang nggak berguna, dan yang bikin aku masih benci kamu sampai detik ini: kata-kata terakhir kamu yang.. ah, emang ‘Monyet’ banget nih kamu. Sorry to say, but that’s really not important at all. Itu sih kalo kamu masih ingat ya, kalo nggak pun, nggak masalah.

Well, sebenci apa pun aku sama kamu, yakinlah kamu tetep temen sebangku yang cukup baik lah. Huehehehe. Nanti kalo kita ketemu, please banget mulai dari awal ya, aku nggak ingin masa lalu itu mengganggu silaturahim kita. Kamu, aku, sama-sama manusia biasa yang setiap saat melakukan dosa. Jadi, aku pun nggak punya hak menghakimi kamu selamanya. Lebih baik kita menulisi kertas-kertas baru dengan tinta warna-warni agar hidup lebih berarti. Sampai bertemu di waktu yang telah Tuhan atur untuk kita berdua. Semoga nanti baik-baik saja, ya. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...