21.5.14

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” (maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya)

Nah, di tulisan gw sebelumnya, terakhir yang kita bahas adalah melewati sungai kecil. Bener nggak? Yuk mari dilanjutkan misinya!

Setelah duduk-duduk sejenak alias istirahat minum dan ngemil cokelat, kami melanjutkan perjalanan menuju Pondok Pesantren Al-Ikhlas. Zzz, nggak lah. Pondok Seladah maksudnya. Perjalanan ini terasa melelahkan karena banyak rehatnya, hahaha. Katanya cuma 2 jam, tapi ini udah hampir 4 jam nggak sampai-sampai :’(



Makanya khan gw bilang di awal, rentang waktu jalan itu tergantung orangnya. Kalo mau nyampe besok subuh juga bisa, terserah lo aja.

Medan terus menanjak meskipun jalurnya aman untuk dilewati. Ya namanya juga gunung, pasti nanjak. Kalo lurus-lurus doang mah namanya tol. Demi kemaslahatan napas yang lebih baik, kami memang memutuskan lebih sering berhenti sejenak. Repot juga kalo ada yang (sampai) pingsan. Cowoknya cuma satu, nggak ada sinyal, nggak ada yang bawa peralatan buat bopong orang juga soalnya.

Satu lagi, sebenernya jalur ini sempat kami abadikan dalam potongan-potongan gambar kamera. Sayangnya, kamera tersebut error, dan semua memori pun hilang. Sedih. Ah, sudahlah.



Setelah medan aman tadi, kita akan menemukan jalur menanjak yang cukup sempit, licin, dan berbatu. Hmm, di sini sensasinya paling oke. Karena jalurnya sempit (hanya cukup untuk satu orang space-nya), kalo capek, mau nggak mau mesti tetep jalan ke atas karena ada pendaki-pendaki lain di belakang rombongan kita. Fuh! Mayan juga memaksa diri demi ini.

Anyway, jalur tadi cukup panjang lho guys. So, siapkan stamina lebih di sini. Jalur sulit berhasil dilewati, kini saatnya menikmati jalur kebahagiaan. Hahaha. Meski nggak nanjak-nanjak amat, setidaknya cukup bersahabat untuk melepas ketegangan betis dan paha. Cuma berjarak sekitar beberapa ratus meter, sampailah kita di Pondok Seladah. Alhamdulillah :'))

Kami segera mencari space untuk membangun dua tenda. Yap, Pondok Seladah adalah tempat kami menghabiskan malam sebelum menuju puncak. Aaaak, dan gw excited mendirikan tenda kali ini.



15.5.14

Cerita Papandayan (6): Menuju Pondok Seladah

Perjalanan ini pun dimulai. Yaelah dari kemarin juga udah dimulai sih, haha. Eh, tapi kali ini menurut gw perjalanannya bener-bener dimulai. Menurut orang-orang kebanyakan, dari basecamp menuju Pondok Seladah itu cuma 2 jam. Okelah, deket nih brarti, pikir gw.

Baru beberapa meter jalan, udah jepret sana-jepret sini. Biasa, kelakuan orang kota liat pemandangan alam dikit aja bawaannya pengen foto, trus upload di socmed. Yeahahaha. Btw, jangan harap di sini ada sinyal. Setjanggih apa pun ponsel lo, kalo baterainya penuh tapi nggak ada sinyal mah, jadi nggak asjik. Soalnya nggak bisa upload. Ya memang cuma itu permasalahannya :D



Meskipun jalur awal termasuk jalur yang mudah, medannya tetep nanjak lho ini. Yang jarang olahraga, yang berumur dan jarang olahraga siap-siap aja mulai ‘capek’. Gw aja agak ngos-ngosan—tapi gw tahan, gengsi mak!

Beberapa ratus meter pertama, kita melewati sedikit pepohonan di kanan kiri jalan, bebatuan, dan kawah. Nah, ini yang paling menarik. Kawahnya masih aktif, jadi belerang pun setiap saat mengepul di udara. Makanya kita sangat butuh masker di sini. Masker atau slayer atau kain apa pun untuk menutup hidung. Masker bengkoang boleh nggak Kak? Boleh sih, abis itu lo meninggal pelan-pelan tapi :/



Ritual wajib tak pernah ketinggalan. Foto-foto. Sembari kami beristirahat, minum, ngemil cokelat, dan atur napas, kami juga aktif mengecek sinyal. Dan, di antara kawah belerang ini ada sinyal pemirsa, ada sinyaaaaaal! Kesempatan buat upload banget. Gila juga ya ini anak-anak modern. Mungkin kelak bakal ada perumpamaan: aku nggak butuh apa pun, aku cuma butuh sinyal -__-

Tantangan di jalur ini adalah, kita nggak bisa istirahat dan berdiam terlalu lama karena aroma belerangnya sangat menyengat. Sayangnya gw kelewat ngos-ngosan, jadi gw sering break sendirian, duduk di bebatuan sekadar minum dan narik napas panjang. Sedangkan, temen-temen yang lain udah kepalang duluan. Untungnya ada satu lelaki yang notice ke gw. Mungkin dia kasihan ngliat gw engap. Jadi, selama jalan dia membiarkan gw berjalan di depan, dia belakangan. 



Bahkan, gw sempat iseng menawarkan carrier gw ke Bang Rud. Maksudnya biar dia bawain carrier gw. Hahaha. Tujuan gw mah awalnya bercanda, tapi dia nanggepin serius. Pas ditimbang-timbang carrier gw dengan tangannya, sepertinya doi nggak sanggup. Ya iyalah, orang belasan kilo. Akhirnya gw cuma menawarkan tenda gw dipindah ke tasnya. Fuh, mayan sih agak entengan. Namun, lagi-lagi gw bertanya ke doi, yakin nggaknya bawain tenda gw. Abisnya nggak enak juga kan, gimana pun ini tetep tanggungan yang mesti gw bawa sampai tujuan.

Namanya cowo, biasanya kan kebanyakan gengsi, jadi ya tenda gw akhirnya dibawain. Alhamdulillah. Thank you, Bang!

Setelah melewati kawah belerang, kami menyebrangi sungai kecil, juga tanjakan batu yang cukup sempit dan curam. Saran gw, nggak usah tergesa-gesa kalo pas di sini, selow aja. Yang paling seru adalah, di medan ini kita bisa ngeliat lanskap hamparan hijau dan kawah dari atas. 



Nah, seperti apa kelanjutannya? Ada di tulisan berikutnya. See you!

Cerita Papandayan (7): Selamat Datang, Pondok Seladah!

Hai guys, ketemu lagi dengan gw di acara “Mengulas Papandayan” ( maklum, anaknya suka mimpi jadi pembawa acara kondang soalnya ) Nah, d...